Pilkada 2015: Demokrasi dan dominasi Risma di Surabaya

Ahmad Santoso

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pilkada 2015: Demokrasi dan dominasi Risma di Surabaya
Dominasi Risma kuat di Surabaya, membuat Koalisi Majapahit kesulitan membendungnya.

JAKARTA, Indonesia — Senyuman lebar ditampakan Tri Rismaharini di depan ratusan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di gedung wanita Kalibokor, Surabaya, 8 Juli silam.

Kala itu PDI-P sepakat untuk kembali mengusung wanita yang akrab disapa Risma itu melanjutkan masa kepemimpinannya di Surabaya. Risma, yang bukan kader partai, dipasangkan dengan Wishnu Sakti Buana, ketua DPC PDI-P Surabaya.

Deklarasi ini dihadiri langsung oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI-P Hasto Kristiyanto dan Ketua DPD PDI-P Jawa Timur Kusnadi.

Politik api dalam sekam

Terlihat dalam deklarasi ini, Wisnu lebih banyak diam dan tak tersenyum. Sudah jadi rahasia umum, hubungan Risma dan Wisnu seperti api dalam sekam.

Sejak mundurnya Bambang Winarno dari posisi wakil wali kota, Wisnu-lah yang mengisi kekosongan jabatan itu terhitung Januari 2014. Hubungan Risma dan wakil barunya di tampuk kekuasaan sering tak akur.

Baru beberapa bulan menjabat wakil wali kota, Wisnu mengancam akan melakukan pemakzulan. Posisi Wisnu sebagai wakil membuat Risma mengancam mundur.

Dalam deklarasi itu, ketika ditanya wartawan, Risma mengaku sudah melupakan hubungan buruknya dengan Wisnu. Benarkah itu? Entahlah, hati orang siapa yang tau. Dalam dunia politik, status kawan dan lawan bisa berubah dalam sekejap.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menerima penghargaan Kepatuhan Pelayanan Publik dari Ombudsman RI, Juli 2014. Foto dari Surabaya.go.id

Risma pun sudah resmi dianggap sebagai bagian dari partai berlambang banteng itu. Tanpa malu-malu dia menunjukan kartu tanda anggota partai yang dimilikinya. Sikap ini otomatis membuatnya harus mundur dari posisinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena PNS dilarang partisan.

”Saya mundur dari PNS sejak sebulan lalu, saya tak ingin menjadikan saya riya (pamer) dan ambisius untuk maju lagi,” kata Risma.

Bagi kader PDI-P, naiknya Risma tentu hal yang mengecewakan. Pada bulan Maret lalu, Wisnu selaku ketua DPC PDI-P Surabaya bahkan sudah gembor-gembor akan mencalonkan dirinya untuk menantang Risma. 

(BACA: Menuju pilkada Surabaya: Siapa pesaing Risma?)

Namun ambisinya bertepuk sebelah tangan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri lebih memilih Risma ketimbang Wisnu. Apa daya, keputusan itu harus diterima Wisnu dengan terpaksa. Mungkin itu sebab, dia tampak muram pada deklarasi itu.

Tetapi dalam pidatonya, Wisnu meminta seluruh kader DPC legowo dan menyukseskan pasangan ini. Dia ingin, dirinya dan Risma bisa menang telak dengan persentase suara mencapai 93%.

Dengan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya mencapai 15 kursi, PDI-P bisa maju tanpa berkoalisi. Hal serupa terjadi pada Pilkada 2010 lalu. Kala itu, Risma dan Bambang DH melenggang mulus dengan hanya memakai tunggangan Si Banteng.

Imbasnya dalam beberapa kasus, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang disusun terhambat karena tak urung disetujui disetujui oleh DPRD. Setidaknya selama 5 tahun kepimimpinan Risma hal ini terjadi tiap tahun. Ujung-ujungnya negosiasi alot terjadi.

Perpecahan di koalisi penantang Risma

Dengan menggaet Risma, kans untuk menang bagi PDI-P semakin besar.

Awal Mei lalu, saat Pusat Penelitian Politik dan Agama (Puspolitika) melakukan survei, popularitas Risma mencapai 93% dengan elektabilitas akan dipilih pemilih hingga 43%. Survei-survei internal yang dilakukan partai-partai pun mengatakan demikian.

Keputusan maju sendiri ini berimbas pada partai-partai pesaing yang membentuk kubu Koalisi Majapahit, yang berisikan Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Meski main keroyokan, buktinya koalisi ini terlihat takut melawan Risma. Buktinya sampai batas pendaftaran 28 Juli kemarin, hanya Risma-Wisnu yang baru mendaftar. Alhasil KPU pun mesti memperpanjang batas pendaftaran hingga 3 Agustus mendatang.

Jika tak ada lagi yang berani datang, sesuai dengan undang-undang pemilu yang tak mentolerir adanya calon tunggal, maka Pilkada Surabaya akan diundur jadi Februari 2017.

Popularitas Risma mencapai 93% dengan elektabilitas akan dipilih pemilih hingga 43%.

“Kita paham konstelasi di Jawa Timur dengan melihat popularitas dan ketokohan Bu Risma yang relatif sangat kuat,” ucap Ketua Badan Pemenangan Pemilu PKB Bambang Susanto.

Banyaknya partai yang bergabung memunculkan ego di masing-masing partai. Ketua DPC PKB Surabaya Syamsul Arifin mengklaim sudah dapat dukungan dari DPP.

Santer tersiar kabar, PKB akan keluar dari koalisi majapahit serta membentuk koalisi baru bersama PPP, Nasdem dan Hanura yang sebelumnya memutuskan absen. Koalisi tiga parpol ini sudah cukup untuk mengusung Syamsul.

“Rekomendasinya memang menyebutkan satu paket. Calon wali kota adalah Syamsul dan wakilnya Warsito (Sekretaris DPC Partai Hanura Surabaya). Jadi kami siap maju dengan menggandeng PKB, PPP, dan Nasdem. Kami sudah saling komunikasi,” kata Ketua DPD Hanura Jawa Timur Soedjatmiko.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga M. Syaiful Aris khawatir calon-calon yang nekat bertarung melawan Risma adalah calon boneka yang berkongkalikong dengan PDI-P agar pilkada diikuti calon lebih dari satu. “Hal ini tentunya akan merusak tatanan demokrasi,” kata dia.

Nada-nada minor ini yang membuat Nasdem menarik diri dari koalisi poros tengah. Ketua DPW Partai Nasdem Jatim Effendi Choirie mengaku partainya akan tetap absen.

“Daripada ikut dituding mendukung calon boneka, lebih baik Nasdem kibarkan bendera putih atau tidak mendukung siapapun dalam pilwali Surabaya,” kata Effendi seperti dikutip dari Berita Jatim

Pada koalisi Majapahit, PKS dan Demokrat lebih condong menyokong Dhimam Abror. Sedangkan Gerindra, Golkar dan PAN ingin mengusung pasangan Sukoto-Siswandi. Jika ditilik dari popularitas calon-calon yang ada, memang sangat sulit untuk menahan laju Risma.

Terlalu beresiko serta buang uang dan tenaga jika tetap nekat menantang Risma dalam waktu dekat. Toh, kesempatan untuk menang teramat kecil.

Lain hal jika hal itu ditunda hingga Februari 2017, pesaing Risma tentunya berharap pada perpanjangan waktu itu Risma terkena kasus yang menjatuhkan namanya. 

Sadar akan hal ini, PDI-P pun bergerak cepat, berharap pilkada digelar cepat. Desas-desus lobi memunculkan calon boneka pun bermunculan. Namun entah siapa calon boneka yang akan dimunculkan itu.

Sebelum pilkada digelar, Risma telah melakukan dominasi. Tapi harus diingat, dominasi mudah membangkitkan kebencian. Minimal perasaan iri, dengki, atau sekadar tak senang baik itu dirasakan oleh kawan ataupun lawan.

Siapkah Risma konsekuensi dominasi yang dilakukannya? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!