Investor Tiongkok sesalkan rendahnya kualitas proyek di Indonesia

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Investor Tiongkok sesalkan rendahnya kualitas proyek di Indonesia

EPA

Meskipun didorong untuk investasi oleh pemerintahannya, investor juga menghitung kelayakan proyek. Mengapa investasi di Indonesia dianggap berisiko tinggi?

Kalangan pengusaha Tiongkok yang memiliki investasi di Indonesia ikut menyesalkan rendahnya efektivitas dan kualitas sebagian dari proyek infrastruktur di Indonesia.Isu mengenai hal ini muncul dalam berbagai bentuk investasi pengusaha asal Tiongkok di Indonesia, termasuk dalam pembangunan pembangkit listrik sampai pengadaan bus. 

Dalam kunjungan ke Tiongkok mengikuti pertemuan puncak pemimpin ekonomi negara APEC pada November 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga menyindir rendahnya kualitas produk dari Tiongkok 

“Kualitas pembangkit listrik yang rendah disebabkan pekerjaan dilakukan bukan oleh perusahaan yang ahli di bidang konstruksi pembangkit listrik. Mereka biasanya hanya pedagang ekspor-impor suku cadang pembangkit listrik,” kata Huang Zonghua, direktur kerjasama internasional Shenhua Gouhua Electric Power Company, di Beijing, pada 27 Juli.  

Shenhua Gouhua adalah salah satu dari perusahaan yang memiliki reputasi baik di bidang pembangkit listrik, dan mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah Tiongkok dalam penerapan inovasi pembangkit listrik tenaga batubara dengan emisi hampir nol (near zero emission).

Saya mengunjungi kantor pusat divisi pembangkit listrik Shenhua Gouhua di distrik Chaoyang, dan juga pembangkit listrik mereka di provinsi Hebei, bagian utara Tiongkok, berbatasan dengan ibu kota Beijing. Tahun lalu, kantor berita resmi Tiongkong, Xinhua, menempatkan Shenhua Gouhua sebagai bagian dari 10 perusahaan pembangkit listrik terbaik di Tiongkok.  

“Pelaksanaan proyek dengan kualitas rendah biasanya dilakukan melalui jasa pihak perantara (broker),” kata seorang pejabat tinggi di National Development and Reform Comission (NDRC), yang saya temui di Beijing setelah saya melihat aktivitas pembangkit listrik Shenhua Gouhua di Hebei.  

NDRC adalah semacam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Indonesia, dan memiliki posisi terpenting dalam menentukan program dan proyek pembangunan di Tiongkok, termasuk kerjasama internasional.  

“Indonesia adalah mitra ekonomi yang sangat penting bagi Tiongkok. Kami memiliki pepatah, ‘Jangan sampai gara-gara rusak sebuah sendok, sayur sop semangkok menjadi tidak enak dimakan’,” kata pejabat senior ini.  

Kalau di Indonesia kita mengenal pepatah “Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”. Mirip.

Presiden Jokowi mengakui bahwa rendahnya kualitas produk dalam proyek terkait investasi dari Tiongkok bukan semata kesalahan pihak Tiongkok. Pihak mitra di Indonesia, termasuk pemerintah pusat dan daerah, ikut bersalah karena membuka jalan bagi proyek berkualitas rendah.  

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mengatakan buruknya kualitas bus TransJakarta asal Tiongkok karena ulah oknum pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2013. Dia mengaku sejak menjadi wakil gubernur telah meminta agar bus yang didatangkan berasal dari produsen ternama.

“Kami di sini bahkan tidak mengenal merek bus itu,” kata seorang pengusaha Tiongkok di Beijing.  

Beberapa tahun lalu, sebuah merek sepeda motor asal Tiongkok sempat merebut minat konsumen Indonesia karena harganya yang lebih murah dibanding sepeda motor produksi Jepang yang lebih dahulu merajai pasar Indonesia. Produk itu kemudian menuai kekecewaan karena pelayanan pasca pembelian (after sales service) yang buruk, termasuk penyediaan suku cadang.  

“Hal-hal seperti ini sungguh kami sesalkan, dan mengganggu hubungan investasi dengan Indonesia,” kata pengusaha itu.

“Kami di sini bahkan tidak mengenal merek bus (produsen TransJakarta),” kata seorang pengusaha Tiongkok.

Indonesia mengincar investasi dan pembiayaan proyek tak kurang dari 60 miliar USD dari Tiongkok. Saat kunjungan kedua ke Tiongkok, Maret 2015, Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping menyaksikan penandatanganan komitmen kerjasama antara dua lembaga yang mewakili pemerintahannya masing-masing, yakni kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dan NDRC.

Kedua negara akan melibatkan perusahaan plat merahnya untuk kolaborasi pembangunan infrastruktur yang menjadi motor pembangunan ekonomi pemerintahan Jokowi.

Masalahnya, menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, sejak 2005, dari komitmen investasi yang disampaikan pengusaha Tiongkok, hanya 7% yang direalisasikan. Franky mengatakan salah satu penyebabnya adalah BKPM tidak memiliki kantor perwakilan di Tiongkok.  

“Peran perwakilan itu penting. Di Jepang kita punya, di Korea Selatan punya, di Belanda dan London ada, sementara di Singapura jadi satu dengan Malaysia,” kata Franky.

Pengusaha Tiongkok menganggap penyebab rendahnya realisasi datang dari kedua pihak.  

“Dari sisi investor, tentu kami berharap investasi menghasilkan laba. Meskipun didorong pihak pemerintah, kami berhitung juga sebelum merealisasikan investasi itu,” kata seorang pengusaha infrastruktur di sini.  

Pengusaha Tiongkok mengatakan, salah satu problem paling rumit dalam berbisnis di Indonesia adalah soal biaya-biaya tambahan. “Pembebasan lahan juga rumit,” kata dia.  

Sejumlah pengusaha Tiongkok mengaku tidak mendapatkan banyak keuntungan dalam investasi di Indonesia. Seringkali pemenang tender ditentukan oleh penawar termurah. Akibatnya spesifikasi diturunkan.

Hal lain adalah kemampuan para pekerja Indonesia. Investor sulit mencari tenaga kerja terdidik untuk menjalankan proyek terutama sesudah selesai masa kontruksi dan instalasi. Ini memengaruhi efektivitas proyek. 

Soal “ganti pemerintah dan pejabat ganti peraturan” juga dikeluhkan.

Meskipun risiko berbisnis di Indonesia tergolong tinggi, minat investasi dari Tiongkok tidak surut, apalagi kedua pemerintah saat ini tengah menjalin kemitraan.  

Shenhua Gouha, yang saat ini menggarap pembangkit listrik di Muara Enim, Sumatera Selatan, berminat ikut dalam proyek pembangunan 35.000 megawatt yang dicanangkan pemerintahan Presiden Jokowi.  

Shenhua Gouhua beroperasi di Indonesia sejak 2008 melalui PT GH Energi Musi Makmur, membangun pembangkit dengan kapasitas 2 x 150 MW. Sejak beroperasi komersil, sepanjang 2014 kedua unit beroperasi secara stabil, belum pernah ada kasus harus mematikan operasi dengan ketersediaan operasional 98,21 persen. —Rappler.com

 Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis

 

 

Baca juga: Naik ‘high speed train’ Shanghai-Beijing

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!