Bisakah kamar tidur menjadi zona tanpa ponsel?

Shakira Sison

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bisakah kamar tidur menjadi zona tanpa ponsel?
Tanpa ponsel dalam jangkauan tanganmu dan dengan pasanganmu ada tepat di sampingmu, kamu akan menyadari bahwa hal terpenting dalam hidupmu adalah orang yang bernafas di sampingmu.

Beberapa tahun lalu ketika smartphone menggantikan BlackBerry dan situs media sosial mulai membuat aplikasi telepon selular (ponsel) pertama mereka, kamar tidur kita mulai disinari oleh cahaya ponsel di waktu-waktu yang tak lazim. Istri saya dan saya sendiri mulai menggapai ponsel kami secara refleks setiap pagi saat bangun tidur.

Bahkan setelah kita membuatnya dalam keadaan silent, kita akan menghabiskan beberapa menit pertama dalam hari kita sesaat setelah bangun untuk mengecek siapa yang memerlukan kita, tugas apa yang harus dikerjakan, dan notifikasi Facebook — semua sambil tetap berada di tempat tidur. Saya akan berpaling dari istri saya dan menghadapkan wajah saya ke layar ponsel, merespons pesan singkat dan email, menulis post, membagikan artikel, dan membaca pesan.  

Akhirnya, kami mulai berargumen tentang bagaimana ponsel mendominasi kamar tidur kami. Malam-malam kami diakhiri dengan memeriksa ponsel satu kali lagi untuk terakhir kalinya, lalu lagi dan di waktu yang lain. Ponsel itu bergetar ketika kami sedang bangun, menyela diskusi malam hari yang sedang kami lakukan (atau bahkan akibatnya, membuat kami tak memiliki diskusi pada malam hari).

Kecanduan media sosial

Ilustrasi oleh: Kanako Shimura

Sudah menjadi rutinitas kita untuk memulai pembicaraan dari siapa yang mengirimkan pesan kepada kita atau apa yang di-post oleh seseorang. Facebook, alih-alih menjadi media yang mengandung bagian-bagian dari kehidupan seseorang, mulai merasuki hidup kita dengan detil kehidupan orang lain yang mereka bagikan di media sosial itu.

Setelah perbedaan pendapat yang cukup “panas” tentang bagaimana saya selalu terikat dengan ponsel saya (yang tentu saja, saya bantah dengan menyebutkan kebiasaan buruk istri saya dengan ponselnya), saya mulai menyingkirkan ponsel saya dari kamar tidur untuk selamanya. Saya mulai mengisi baterainya di kamar lain semalaman dalam keadaan silent.

Awalnya, istri saya mengatakan bahwa langkah ini tidak perlu dan reaksi saya berlebihan, tapi melihat tangan saya “bebas” di waktu tidur dan siap berinteraksi (atau paling tidak tidur tanpa suara telepon sebagai latar belakang), istri saya pun kemudian juga melakukannya.

Tidak ada layar di kamar tidur

Untuk pertama kali dalam beberapa tahun, tak ada layar di kamar tidur kami — tak ada TV, gadget, dan ponsel. Waktu tidur adalah waktu yang “suci” di mana kami hanya memiliki satu sama lain sebagai teman dan tertidur dalam keadaan seperti itu.

Pesan singkat, post di Facebook, artikel baru, dan email terkait pekerjaan, semua berada di luar kamar. Hal terakhir di pikiran kami sebelum tidur, bahkan mimpi kami, akhirnya terdiri dari isi diskusi kami berdua sebelum tidur. Tak ada kilat cahaya dan actionable items yang mengganggu tidur kami. Pagi dimulai dengan musik klasik yang lembut sebagai alarm, tanpa ada stimulus eksternal sama sekali.

Bagaimana jika terjadi situasi darurat? Orang-orang terdekat kami memiliki nomor telepon rumah kami dan ketika itu berdering, itu adalah tentang panggilan yang sangat penting. Hal lain bisa menunggu hingga pagi.

Kita hidup dalam kehidupan dengan ritme yang sangat cepat, dengan tuntutan untuk selalu tepat waktu. Ya, ada beberapa hal yang kami lewatkan selama 7 jam berjauhan dengan ponsel, dan kami sering merasa senang karenanya. Tapi apa yang tak hilang adalah gangguan terhadap waktu tidur kami dari dunia di luar kami berdua.

Kami jelas tidak merindukan waktu kami saling menyatakan keberatan satu sama lain karena pasangan kami sibuk dengan getaran ponsel atau percakapan dengan orang lain di kamar tidur kami sendiri. Sisa 17 jam lain dalam sehari yang kami miliki sudah cukup dipenuhi oleh komunikasi eksternal.

Kebiasaan yang kami dapatkan

Seperti kebanyakan keluarga yang memiliki peraturan bahwa selama waktu makan tak ada orang yang boleh mengangkat telepon, kamar tidur tanpa ponsel adalah kebiasaan yang harus dikembangkan. Saat kita tumbuh dewasa, waktu makan mulai kita anggap sebagai satu-satunya waktu khusus di mana setiap anggota keluarga dapat saling bicara satu sama lain. Ini merupakan sebuah contoh sederhana dan tak pernah dipertanyakan.

Ada tempat-tempat di mana kita harus menyingkirkan ponsel demi kenyamanan mereka yang ada di sekitar kita. Bioskop, gereja, dan beberapa ruang kelas adalah zona tanpa ponsel dan tak ada yang memprotes hal tersebut. Bahkan, wajar saja untuk memberikan wajah yang kurang enak sebagai bentuk protes di tempat-tempat ini kepada mereka yang tidak menyingkirkan ponselnya.

Apakah sulit untuk mengembangkan kebiasaan mewujudkan kamar tidur tanpa layar ponsel? “Hanya agar mengantuk,” begitu kata kita sambil menjangkau ponsel kita di malam hari. Ini biasanya berarti lebih dari dua kali permainan Candy Crush. Kenyataannya, kita hanya tertidur ketika mata kita kelelahan memandang cahaya terang.

Meningkatkan kemesraan

Saat interaksi antar pasangan dalam seminggu hanya terbatas di antara shop talk (perencanaan logistik maupun diskusi terkait pekerjaan), sisa 30 menit sampai satu jam tanpa gangguan yang kita miliki di malam hari dikenal sebagai waktu untuk meningkatkan kemesraan.

Sejumlah studi menyimpulkan bahwa waktu yang kita habiskan bersama cahaya layar di malam hari meningkatkan potensi insomnia, akibat kurangnya fokus dan kelelahan baik pada orang dewasa maupun anak-anak sepanjang hari.

Banyak orang tua yang mengharuskan anaknya menyerahkan ponsel mereka di malam hari karena anak-anak dan remaja cenderung untuk membalas pesan singkat dan notifikasi media sosial sepanjang malam. Orang dewasa juga seharusnya membatasi penggunaan gadget mereka sendiri.

Berdasarkan pengalaman, saya belajar bahwa benar-benar ada perbedaan yang sangat besar antara bangun di pagi hari menghadap pasangan kita dibandingkan layar ponsel yang akan segera mulai “mengomel” kepada kita. Ini mengingatkan pasangan-pasangan tentang betapa bahagianya untuk bisa benar-benar hadir bagi pasangan kita tanpa diinterupsi oleh hal-hal eksternal.

Terkait pekerjaan, semua orang memiliki persoalan mendesak mereka sendiri, tapi penyesuaian prioritas menunjukkan kepada pasangan kita siapa yang lebih utama. Ini jika mereka belum melupakan bagaimana cara berinteraksi satu sama lain dan berdiskusi tanpa melibatkan post, video, atau gambar dari ponsel mereka.

Sepertiga hidupmu

Kita menghabiskan seperempat sampai sepertiga hidup kita di tempat tidur. Untuk banyak dari kita yang bekerja, waktu di antara pergi tidur dan terbangun itulah satu-satunya waktu kita bisa hadir secara fisik untuk pasangan kita. Bahkan ketika pikiran kita sedang bermimpi, selalu ada kenyamanan tersendiri dari pelukan pasangan kita hingga kita akan tanpa sadar menjangkaunya sambil tertidur.

Jangan mengganggu waktu yang “suci” itu dengan cahaya ponselmu, suara, atau getarannya. Tanpa ponsel dalam jangkauan tanganmu dan dengan pasanganmu ada tepat di sampingmu, kamu mungkin akan menyadari bahwa hal terpenting dalam hidupmu adalah orang itu, yang bernafas di sampingmu. —Rappler.com 

Shakira Andrea Sison adalah penulis esai yang telah dua kali menjadi pemeang Palanca Award. Saat ini ia bekerja di bidang keuangan dan menghabiskan waktu di luar pekerjaannya untuk menulis cerita sambil melakukan perjalanan dengan kereta bawah tanah.

Latar belakang pendidikan Shakira adalah kedokteran hewan dan sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan ritel di Manila, sebelum dipindahkan ke New York pada 2002. 

BACA JUGA
Antara jip dengan minibus, itulah BR-V
Kumpulan meme dollar setara Rp 14 ribu
Aturan membatasi ponsel bagi anak

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!