Poligami PNS: Dangkalnya makna pernikahan di Indonesia

Ayu Meutia Azevy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Poligami PNS: Dangkalnya makna pernikahan di Indonesia
Kaitan kebijakan poligami PNS di Kementerian Pertahanan menunjukkan betapa dangkalnya makna pernikahan di negeri kita.
 

Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan atas kebijakan poligami pegawai negeri sipil di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang dinilai merendahkan perempuan dan tak berprikemanusiaan.

Saya rasa hal tersebut bukanlah sebuah syarat, namun lebih terdengar seperti sebuah hak istimewa yang tidak hanya bisa merendahkan perempuan tapi juga mempertanyakan makna sebuah pernikahan secara umum di Indonesia.

Di dalam surat edaran Kemenhan No. SE/71/VII/2015, dituliskan 3 butiran yang memperbolehkan anggota pria Kemenhan untuk berpoligami dengan catatan khusus apabila istri pertama:

  1. Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
  2. Mengalami cacat badan atau penyakit yang tak kunjung sembuh
  3. Tidak dapat melahirkan keturunan

Mari kita bahas butiran-butiran ini satu-satu dan kita lihat di mana titik kerancuan dari kebijakan ini hingga menunjukkan kerapuhan pemahaman pernikahan di Indonesia.

Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri

Apa yang dimaksud dengan “kewajiban” seorang istri?  Apa hanya terbatas dengan tugas di dapur, mengurus anak, dan segala urusan rumah tangga? 

Membangun rumah tangga di zaman yang serba cepat dan sibuk seperti sekarang, kini rumah seringkali diibaratkan sebagai sebuah sarang kosong yang ditinggalkan pasangan suami-istri yang sehari-harinya bekerja. Namun, apa itu adalah sesuatu yang buruk? 

Mungkin iya. Namun jika karena untuk memenuhi tuntutan hidup, tidak ada banyak hal yang bisa dihindari selain memaklumi.

Lantas, bagaimana dengan pasutri yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak? Apa lantas mereka terbengkalai? Dan salah siapa kalau mereka terbengkalai?

//

Bulan lalu Kementerian Pertahanan mengeluarkan sebuah aturan dimana tentara diperbolehkan poligami dengan syarat-syarat:…

Posted by Andreas Harsono on Thursday, August 6, 2015

Saya merasa kewajiban dalam rumah tangga tidak hanya sepenuhnya milik seorang istri. Karena saya yakin, bahwa pernikahan itu kompromi seumur hidup. Keteraturan rumah adalah kebijakan bersama dan bukan saling tuduh menuduh antara siapa yang benar dan salah. 

Menyalahkan istri secara sepihak karena tidak becus mengurus seluruh urusan rumah tangga adalah hal yang sangat aneh dan merupakan jalan pintas untuk keluar dari sebuah masalah. Apa pun profesi sang istri, mau jadi ibu rumah tangga atau wanita karir, tidak sebaiknya seorang istri dijadikan kambing hitam dengan segala yang terjadi di dalam rumah tangga.

Pikirkan saja: Apa adil kalau seorang istri diperbolehkan berpoliandri kalau suami dinilai tidak cakap menafkahi istri secara materi and finansial sebagai kepala keluarga?

Adapun alasan ini akan selalu mudah digunakan apabila sang suami merasa kebutuhan lahiriahnya tidak terpenuhi. 

Maka benar apa yang dikatakan oleh Andreas Harsono terasa benar adanya, bahwa “… seolah-olah pernikahan itu semata-mata hanya seks”. Seharusnya hal yang terasa personal seperti ini bisa dipecahkan di antara suami dan istri secara baik-baik.

Di zaman yang penuh dengan tuntunan, pengertian dan kesabaran adalah hal yang penting dan harus dijunjung tinggi bagi sebuah keluarga. Sebijaknya tuntutan kewajiban seperti suami harus melakukan A, sedangkan istri melakukan B, itu sebaiknya dianggap sebagai formalitas semata, karena perbedaan kewajiban seperti ini bukan menguatkan sebuah pernikahan, namun hanya mengendurkannya. 

Kuncinya tentu saja ada di dalam komunikasi.  

Mengalami cacat badan atau penyakit yang tak kunjung sembuh

Atlet Australia Turia Pitt baru-baru ini umumkan pertunangannya dengan pacarnya, meski ia alami luka bakar di 65% bagian tubuhnya. Foto dari Facebook

Jadi apa ini adalah bentuk kasih sayang dan tanggung jawab seorang suami saat istrinya dalam keadaan yang buruk dan tak terduga? 

Sering kita menonton adegan pernikahan dari film Hollywood, dimana sang suami berikrar untuk mencintai sang istri selagi ia sehat maupun sakit. Mungkin di sini kita harus mulai melihat adegan ini lebih sekadar dari embel-embel manis di film. Tapi, kita juga harus menjiwai ikrar seperti ini. Diperlukan seseorang yang berhati besar untuk mendampingi pasangan mereka yang kesusahan.

Tidak dapat melahirkan keturunan

Regenerasi alias menghasilkan keturunan di dalam pernikahan di Indonesia adalah hal yang sangat sensitif. Tidak heran hal ini menjadi momok, terutama di kalangan pasutri yang baru menikah. 

Padahal, seharusnya hal seperti menunggu kelahiran anak adalah proses yang membahagiakan secara batin, lahir maupun emosi. Namun, tekanan membuat segalanya berbeda.

Di sini, lagi-lagi, saya melihat seorang istri atau wanita diposisikan seperti layaknya induk ataupun pabrik. Bukan selayaknya seorang ibu yang mengasih dan mengasuh tulus.

Ada perempuan terlahir steril, namun keadaan tersebut seharusnya tidak menjadikan mereka “kurang” perempuan. Mereka tetaplah wanita seutuhnya dan tidak ada alasan untuk direndahkan bagaimanapun.

Lagipula masih ada cara untuk memiliki anak selain mengandung, yakni dengan cara adopsi. Sedihnya, beberapa orang tua yang dikaruniai anak pun tidak menghargai apa yang mereka punya dengan cara membuang janin atau bayi. Tengok saja berita kekerasan dan penelentaran terhadap anak yang sering kita lihat di media belakangan ini. 

Kalau kita punya hati besar dan memandang ini dengan perspektif yang berbeda, kita tidak hanya mampu untuk membahagiakan kehidupan rumah tangga namun, kita juga bisa meringankan dan membahagiakan kehidupan orang lain.

Intinya, saya berharap kaum laki-laki juga mengerti perjuangan kaum wanita dan selalu mendukung mereka yang berada dibawah tekanan. Bukan malah meninggalkan, menelantarkan, atau malah berpikir untuk menikah lagi. 

Itu juga berlaku bagi kaum perempuan, sebisa mungkin kita selalu mendukung, menyemangati dan juga melayani suami dengan tulus. Tidak selalu rumah tangga berjalan mulus dan akan ada tantangan. Di situ kekuatan, kesabaran dan keihklasan Anda akan diuji. 

Saya heran kenapa pernikahan bisa dipandang serumit dan menyebalkan ini. Seyogyanya, istri dan suami saling melengkapi dan mendukung. Karena itu toh, tujuan menikah? Seharusnya bukan adu ego. —Rappler.com

Ayu Meutia adalah seorang copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pencinta puisi. Kunjungi buah pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!