4 kebiasaan buruk orang Indonesia yang perlu dihilangkan

Shirley Christie

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

4 kebiasaan buruk orang Indonesia yang perlu dihilangkan
Suka traktir orang? Bawa pulang oleh-oleh setelah liburan dari luar negeri? Apakah kamu pernah melakukan hal-hal ini?

Saat kita bicara tentang negara kita sendiri, terkadang kita tidak bisa menghindari kata-kata, “Yah, ini kan Indonesia!”

Kalimat ini terasa ringan namun merendahkan, karena pada dasarnya memaklumi hal-hal yang dirasa sudah tidak bisa diperbaiki di Indonesia. Dengan pemikiran pesimis seperti ini, kita tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki keadaan atau berusaha melakukan yang terbaik di masa mendatang. Padahal, sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa mereka yang berani menggeser status quo ialah orang-orang yang mengubah dunia.

Dalam rangka menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-70, simak beberapa kebiasaan negatif yang bisa kita perbaiki dengan sedikit usaha:

1. Traktir sana-sini

Ilustrasi dari liveolive.com

Di Indonesia, ada kebiasaan yang cukup unik saat seseorang berulang tahun: ia akan diminta membelikan makanan, alias mentraktir orang-orang yang ia kenal. Tidak jelas kapan sebenarnya kebiasaan tersebut mulai diterima oleh masyarakat luas, namun ini bisa merambat ke hal-hal lain, seperti saat seseorang memperoleh bonus, promosi, atau bahkan berhenti kerja.

Kalimat sakti “traktir dong!” pun mampu membuat seseorang yang tiba-tiba punya uang ekstra menjadi bokek dalam sekejap. Ini salah satu alasan mengapa orang yang memenangkan lotere biasanya tidak menjadi lebih kaya atau bahkan jadi lebih miskin dari sebelumnya.

“Sebenarnya, ketika mentraktir teman-teman, kita mengharapkan mereka akan melakukan yang sama di waktu mendatang,” kata Rinta, 31, seorang karyawan swasta yang mentraktir beberapa mantan koleganya saat memutuskan pindah kerja tiga bulan lalu.

Ini tentu akan memberatkan kantong seandainya keputusan berhenti kerja tersebut tidak serta-merta diikuti oleh promosi jabatan atau kenaikan gaji di kantor baru.

Apa yang bisa kita lakukan: Ubah kebiasaan minta ditraktir menjadi bayar untuk diri sendiri.

2. Membawa banyak oleh-oleh sepulang liburan

Ilustrasi dari liveolive.com

Kebiasaan yang satu ini begitu berakar di Indonesia, bahkan orang-orang asing yang sudah lama tinggal di Indonesia akan mengikutinya. Beberapa negara lain di Asia, seperti Jepang dan Filipina, juga punya kebiasaan serupa.

“Jangan lupa oleh-oleh, ya!” begitu pesan yang sering kita berikan ke orang yang akan berpergian. Bahkan, beberapa orang tidak segan-segan meminta titipan barang tanpa memberikan uang di muka.

Sebuah berita di salah satu televisi swasta pernah menyebutkan kebiasaan para jemaah haji yang membawa pulang banyak oleh-oleh hingga melebihi kapasitas bagasi yang ditentukan maskapai penerbangan. Amy, 29, mengaku pernah melihat tante dan ibunya melakukan hal serupa saat keduanya pergi menunaikan ibadah haji.

“Tanteku pulang dengan membawa tiga koper besar yang hanya berisi oleh-oleh pashmina dan tasbih,” kata Amy.

Jumlah oleh-oleh tersebut mencapai lusinan dan menghabiskan jutaan rupiah. Lalu, apakah memang itu sudah menjadi hal wajib? Hanya orang tersebut yang bisa menjawabnya.

Apa yang bisa kita lakukan: Saat berlibur, sediakan anggaran pasti untuk oleh-oleh, sehingga tidak membuat dana liburan Anda membengkak. Selain itu, berlatihlah berkata “tidak” kepada permintaan-permintaan yang berpotensi menyulitkan Anda saat di perjalanan. Hidup mereka akan berjalan seperti biasa, kok, dengan atau tanpa oleh-oleh dari Anda.

3. Memanjakan anak hingga mereka menikah

Ilustrasi dari liveolive.com

Seperti di banyak negara Asia lainnya, tinggal bersama orang tua merupakan hal yang sangat wajar di Indonesia. Ini biasanya disertai dengan “tunjangan” makan, kendaraan, supir, liburan, dan lain sebagainya, hingga anak tersebut akhirnya menikah dan membentuk keluarga sendiri.

Hal inilah yang membuat anak-anak muda dari keluarga kelas menengah di Indonesia baru mengenal konsep “bekerja” dan “menghasilkan uang” setelah mereka lulus kuliah. Bagi murid SMA dan anak kuliah di Indonesia, liburan sekolah adalah waktu untuk bersenang-senang, karena hampir tidak ada perusahaan yang menawarkan lowongan pekerjaan sambilan semacam summer jobs yang dikenal di negara-negara empat musim.

Padahal, itu adalah kesempatan bagi mereka untuk belajar cara berkolaborasi dengan orang lain, serta bagaimana menghadapi tekanan dalam menyelesaikan sebuah tanggung jawab pekerjaan yang disertai konsekuensinya.

Seandainya anak-anak Anda kelak ingin bekerja di restoran fast food ataucoffee shop selama libur sekolah, apakah Anda akan mengijinkannya?

Apa yang bisa kita lakukan: Ubah konsep pemikiran bahwa pekerjaan-pekerjaan “kasar” seperti pramusaji, barista, atau baby sitter adalah hina. Bekerja – selama tidak melanggar hukum – bukanlah hal yang memalukan. Jika banyak anak muda bisa melakukannya di luar negeri, hal tersebut seharusnya juga bisa dilakukan di Indonesia.

4. Merasa minder saat bekerja dengan orang asing

Ilustrasi dari liveolive.com

Menjelang pembentukan pasar tunggal Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kita akan semakin sering bekerja dengan orang-orang asing dari berbagai belahan dunia. Untuk bisa bersaing di tingkat global, pekerja-pekerja Indonesia juga harus menguasai teknologi, ilmu pengetahuan, serta memiliki keterampilan yang memadai, misalnya dalam penguasaan bahasa asing.

Sayangnya, masih ada orang-orang Indonesia yang memiliki perasaan inferior ketika berhadapan dengan orang-orang asing – terutama ras Kaukasia, atau yang lebih populer dengan julukan bule. Anggapan bahwabule lebih memiliki pengetahuan, uang dan kekuasaan bisa jadi timbul sebagai “warisan” penjajahan selama berabad-abad sebelum tahun 1945.

“Perasaan inferior seperti itu mungkin sudah tidak ada di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi masih terasa waktu aku bekerja di Bali, misalnya,” kata Pat, 33, seorang karyawan perusahaan asing yang bergerak di bidang travel online.

Ia menjelaskan bahwa di Bali ada tempat-tempat yang memang memprioritaskan tamu asing. Selain itu, hotel-hotel tertentu biasanya cenderung mempekerjakan ekspatriat untuk posisi manajemen tingkat tinggi. Hal tersebut sangat disayangkan, karena berarti pekerja-pekerja lokal tidak bisa mengembangkan karier secara maksimal di negara mereka sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan: Lebih percaya diri dan berhenti merendahkan orang Indonesia serta budaya negara sendiri. Jika Anda adalah orang tua, mulailah siapkan mental dan keterampilan anak agar ia punya daya saing di tingkat global. Di masa depan, pintar berbahasa Inggris saja tidak cukup untuk mendukung karier seseorang. Rappler.com

Tips di atas berasal dari LiveOlive, sebuah situs yang membekali perempuan Indonesia dalam hal pengelolaan keuangan pribadi.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!