Elanto Wijoyono: Mengapa saya menghadang rombongan moge

Elanto Wijoyono

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Elanto Wijoyono: Mengapa saya menghadang rombongan moge
Warga sebagai sesama masyarakat harus bisa saling mengingatkan.
 Sabtu kemarin, saya menghadang konvoi Harley Davidson di perempatan Condong Catur, Yogyakarta.

Saya punya dua alasan untuk melakukan pencegatan. Pertama, penggunaan pengawalan sudah diatur di Undang-Undang No 22 tahun 2009 mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan hak utama menggunakan jalan. Rombongan motor tidak termasuk salah satunya.

Dari sisi legal, mungkin mereka bisa mencari alasan pembenaran, tapi dari sisi kepatutan, kami sebagai warga memandang itu sebagai penyalahgunaan.

Kedua adalah soal konvoinya. Konvoi apapun, tidak hanya moge. Cenderung ada pelanggaran pada konvoi, seperti konvoi parpol, konvoi suporter dan sebagainya, baik dengan pengawalan maupun tidak.

Seperti yang saya sering lihat di jalan, khususnya di Jogja, pelanggaran cenderung dibiarkan oleh polisi dari tahun ke tahun, dan malah diberi ruang lebih luas di jalan raya dengan meminggirkan hak pengguna jalan lain. Dari dua hal itu, sasaran tembak kritiknya memang polisi.

Pencegatan itu bukan aksi spontan. Sejak tahun lalu, saya sudah bicara dengan Direktur Lalu Lintas Polda DI Yogyakarta untuk mengatur konvoi kendaraan bermotor. Secara normatif dia menyatakan akan mengatur, tapi secara konkret tidak ada solusi di lapangan. 

Hari itu, saya juga sudah melaporkan keluhan sesuai prosedur, mulai dari melapor ke pos polisi hingga ke Polda Yogyakarta.

Perjalanan saya hari itu dimulai dengan mendatangi pos polisi di Jombor untuk meminta mereka mengatur konvoi, tapi petugas lapangan meminta saya ke Dirlantas. Sabtu siang, saya ke kantor Dirlantas Polda DIY, menunggu satu jam tapi tak ditemui, hanya bertemu asistennya.

Saya sebagai warga melaporkan keluhan, berharap ada solusi dari polisi. Saya katakan jika di lapangan petugas tidak menindak pelanggaran, saya akan menegur langsung.

Saya sendirian, tapi sempat mengumumkan di Twitter sehingga ada beberapa orang dan media yang datang ke perempatan. Sekitar pukul 15.00 saya ke pos polisi di perempatan Condong Catur, mereka ternyata sudah tahu bahwa saya akan datang.

Mereka berjanji akan mengatur sesuai aturan. Saya kembali mengatakan pada petugas di pos polisi itu (ada 5-6 orang petugas) jika mereka tak mengatur, saya akan menegur secara langsung. Tak sampai 10 menit, konvoi utama lewat. Kemudian yang terjadi seperti yang ada di video.

Awalnya polisi di pos hanya memperlambat. Kemudian kami maju dan menghadang rombongan motor. Polwan yang mengawal diam saja saat dicegat, respons agak berlebihan justru datang dari pengendara, termasuk satu pengendara berbadan besar yang berdiri berhadapan dengan saya. 

Saya bertanya, “Apakah Anda tahu fungsi patwal?”

Dia menjawab, “Untuk mengawal rombongan.”

Saya bilang, rombongan yang punya hak dikawal patwal itu harus sesuai aturan.

Dia bilang, “Lho ini juga rombongan kenegaraan.”

“Kenegaraan apa?”

“Tujuhbelasan,” katanya.

Saya tidak takut ada hal buruk terjadi karena semua tindakan sudah saya perhitungkan. Misalnya, saya menghadang di zebra cross. Jadi kalau ada sesuatu terjadi, maka sudah pasti yang menabraklah yang salah. Saya juga hanya menghadang saat lampu merah, dan sudah berkoordinasi ke polisi dari Polda sampai pos polisi di lokasi.

Saya percaya jika protes dilakukan di ruang publik, banyak yang mengawasi dan banyak pula yang mengingatkan. Tak hanya pada kasus ini, tapi juga untuk kasus yang lain. Apapun yang terjadi, selalu kami bagi ke teman dan warga.

Target saya sederhana: kalau lampu merah, mereka harus berhenti. Itu baru bisa dilakukan setelah saya bersama beberapa orang yang datang memaksa menghadang. Setelah beberapa kali lampu merah, polisi lalu lintas mau menuruti dan mengatur sesuai lampu.

Pesan sederhananya adalah: ini memang nampak sepele, cuma soal lampu merah dan soal pengawalan. Tapi kita bicara soal prinsip hukum. Ada aturan, tapi sudah tidak ditegakkan. Apalagi pelakunya termasuk aparat kepolisian, walaupun mereka bisa berlindung di balik pasal karet. Saya sendiri berpikir ini tak pantas, seharusnya warga tak perlu sejauh ini ketika aparat bisa berfungsi.

Semua yang terjadi di ruang kota dan wilayah saling terkait, termasuk semua yang terjadi di ruang publik dan di jalan raya. Beberapa rombongan kecil yang saya lihat, cukup banyak, memang tidak arogan. Jadi jangan disamaratakan semua pengguna motor besar arogan. Banyak yang lain berkendara biasa saja dan mematuhi aturan. Konvoi ini pun sebenarnya berhak memakai jalan, karena semua orang berhak membuat kegiatan. Tapi tentu saja aktivitas itu tidak boleh menganggu orang lain.

Di situlah perizinan, pengawasan dan sanksi seharusnya berperan dalam tata kelola pemerintahan wilayah. Tapi yang kita lihat khususnya di Jogja, yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan prinsip yang ada di aturan dan hukum.

Konvoi ini masih akan ada sampai Senin, tapi saya tak merasa perlu melakukan pencegatan lagi. Saya ingin melihat apakah aparat berfungsi. Kalau tidak, keterlaluan sekali jika aparat baru melakukan fungsinya setelah ada tekanan warga.

Siapa yang harus mengawal itu semua? Dalam dunia yang ideal, harapan ada di wakil rakyat. Tapi kita tahu, kita tak bisa mengandalkan mereka. Justru mereka jadi bagian dari masalah itu sendiri. Maka solusinya adalah gerakan warga.

Saya yakin sebenarnya warga sudah pernah bertindak di lokasi lain. Memang tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa bertindak ketika melihat sesuatu yang salah. Bukan soal berani tak berani, tapi mungkin tak semua orang bisa atau punya kesempatan bertindak.

Warga sebagai sesama masyarakat harus bisa saling mengingatkan. Tidak ada orang yang bisa 100 persen benar. Ukuran selalu relatif sehingga komunikasi antar masyarakat selalu diperlukan.

Dalam jangka panjang, saya sebagai warga Jogja ingin ikut membangun modal sosial Jogja, membantu menyambung antar inisiatif. Siapapun bisa melakukan itu, siapapun bisa melanjutkan. Tentu saja itu harus rutin dan harus bergulir terus, entah sampai kapan, mungkin selamanya.

Seperti dikatakan oleh Elanto Wijoyono kepada Famega Syavira Putri, Minggu, 16 Agustus 2015.—Rappler.com

 

Untuk berita terkini setiap hari, like Facebook Rappler Indonesia dan Twitter Rappler Indonesia

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!