Peringatan kemerdekaan bagi mereka yang terpinggirkan

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Peringatan kemerdekaan bagi mereka yang terpinggirkan
Ketika ditanya apa arti kemerdekaan buatnya, ibu itu hanya tertawa. 'Merdeka? Dalam keadaan seperti ini?'

JAKARTA, Indonesia — Siswa kelas 9 SMP berbaju merah berdiri tegak di depan Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu, 16 Agustus. Dengan suara lantang, dia membacakan teks “Proklamasi ke-Indonesiaan Kaum yang Dipinggirkan”.  

“Dalam segala kegagalan negara saat ini untuk menjamin hak kami sebagai warga negara, kami adalah tetap warga negara yang sah dari Republik Indonesia dan mendukung sepenuhnya Proklamasi Republik Indonesia 1945, Pancasila, dan UUD 1945,” kata Edward Matthew, anak yang sebelumnya sudah menulis surat ke Presiden Joko “Jokowi” Widodo, memintanya untuk membuka GKI Yasmin. 

“Hal-hal yang berhubungan dengan segala perbedaan agama dan keyakinan di antara warga negara, seharusnya dikelola negara dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, dalam rumah besar bersama bagi semua yang bernama Indonesia, yang mengakui dan menerima perbedaan sebagai rahmat Tuhan yang Esa,” ucapnya.

Edward Matthew membacakan teks "Proklamasi ke-Indonesiaan Kaum yang Terpinggirkan" dalam Upacara Peringatan Kemerdekaan RI ke-70, disamping Ketua Komnas Perempuan Azriana. Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Tak lama setelahnya, bersimpuh di bawah terik matahari, seorang ibu membacakan puisi refleksi kasus intoleransi dalam peringatan kemerdekaan Indonesia. 

“Ibu, mereka selalu menyebut Tuhan, namun mengapa aku ketakutan? Mengapa mereka bengis seperti setan?” ibu berkebaya putih ini mengutip ucapan seorang anak. “Tuhan ora sare, anakku!”

“Jika kau besar nanti, anakku, ingat pesan ibu selalu. Di manapun dirimu berada, apapun agama dan etnis di sana, apapun paham yang ada, cintai manusia saja.”

Ibu itu, Renata Anggraeni, merefleksikan perasaan anak-anak dari GKI Yasmin yang selalu ketakutan menghadapi massa ketika mereka masih beribadah di trotoar depan gereja. Sejak gereja mereka disegel, mereka kerap berhadapan dengan massa intoleran. 

Renata Anggraeni dari GKI Yasmin membacakan puisi refleksi kasus GKI Yasmin. Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Tak jauh dari tempat dia bersimpuh, seorang ibu berhijab hitam mengusap matanya. 

“Saya tidak tahan menghadiri acara seperti ini, membuat saya sedih,” kata Emilia Renita, seorang aktivis Syiah.

“Islam itu tak cuma menjadi rahmat bagi sesama, Islam itu membawa keadilan bagi mereka yang tertindas. Karenanya Islam seharusnya juga membela mereka, GKI Yasmin, dan HKBP Filadelfia. ”

Dengan mata merah, Emilia berkata, “Sampai kapan kita mau seperti ini? Empat tahun Syiah berjalan melawan penindasan, 7 tahun bagi GKI Yasmin, dan 10 tahun perjuangan Ahmadiyah. Sampai kapan? Korupsi dibiarkan terus, tapi penindasan terhadap kebebasan beribadah terus dilakukan.”

Ketika ditanya apa arti kemerdekaan buatnya, dia hanya tertawa.

“Merdeka? Dalam keadaan seperti ini?”

Penganut Syiah Emilia Renita, kiri, berdoa bersama untuk kemerdekaan beribadah para korban intoleransi. Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Korban intoleransi terus bertambah

Renata dan Emilia tidak sendirian di sana. Sekitar 100 orang dengan agama dan aliran yang berbeda-beda berdiri bersama dalam peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Acara yang diselenggarakan oleh GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia itu juga dihadiri perwakilan dari Ahmadiyah dan Syiah. 

Doa penuh harapan untuk kebebasan beribadah disampaikan oleh pendeta yang mewakili Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Doa itu disambung lantunan ayat Al-Qur’an yang dibawakan oleh perwakilan dari Syiah.

GKI Yasmin awalnya berjuang sendirian. Gereja ini disegel Pemerintah Kota Bogor pada 2010. Mereka beribadah di rumah-rumah jemaat secara bergantian, dan tiap dua minggu sekali di depan istana Negara di Jakarta.

 

Setahun kemudian, HKBP Filadelfia menyusul beribadah di seberang Istana. Gereja ini memang belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Prosesnya dihambat.

Pada 2010, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gereja ini dan memerintahkan Pemerintah Kota Bekasi untuk membuka segel dan memberikan IMB untuk gereja ini. Meski sudah dimenangkan pengadilan, Pemkot Bekasi menolak untuk membukanya.

Cerita Syiah lain lagi. Di Sidoarjo, Jawa Timur, puluhan penganut Syiah tinggal dengan keadaan yang memprihatikan di Rusun Puspa Agro.

Mereka dipaksa tinggal di pengungsian, karena intoleransi yang terjadi di kampung halaman mereka di Madura. Sudah bertahun-tahun mereka di sana, kehilangan rumah, ladang, dan pekerjaan.  

Mereka yang jadi korban intoleransi ini akhirnya menyatukan tangan, menggabungkan diri dalam jaringan lintas iman. 

“Saya jadi kuat karena saya melihat teman-teman dari GKI Yasmin dan Filadelfia,” kata Emilia. 

Harapan penyandang tuna netra dan Komnas Perempuan terhadap Jokowi

Mutiara, penyandang tuna netra dari Panti Asuhan Elsafan, berharap Jokowi akan membuka segel GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Mutiara, seorang penyandang tuna netra berusia 25 tahun, bernyanyi untuk GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, menyuarakan lirik untuk tetap “berdiri di tengah badai.”

“Saya memang tidak bisa melihat mereka, tapi saya mendengar dengan jelas, dan dalam hati saya menangis,” kata Mutiara pada Rappler. “Saya minta bantuan sama Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi mereka.”

Mutiara mengharapkan Presiden Jokowi untuk memastikan jemaat dua gereja tersebut bebas menjalankan kewajiban.

“Sila pertama (dari Pancasila), Ketuhanan yang Maha Esa. Saya berharap pemerintah kita, termasuk presiden, mohon dukungan untuk kedua jemaat ini untuk beribadah pada Tuhan dan menjalankan kewajiban agama,” ujarnya.

Ketua Komnas Perempuan Azriana juga menyuarakan hal yang sama. 

“Kami mohon maaf kepada jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Syiah, Ahmadiyah, karena negara belum dapat memastikan dengan baik bahwa Anda semua dapat beribadah sesuai agama dan kepercayaan Anda masing-masing, padahal negara ini sudah 70 tahun merdeka,” kata Azriana.

Ia mengatakan, Komnas Perempuan akan segera bertemu dengan Kementerian Dalam Negeri untuk membahas beberapa hal, termasuk GKI Yasmin. 

“Pemerintah sudah berganti, kami melihat ada peluang baru. Jokowi punya concern yang lebih baik,” katanya.

Jemaat HKBP Filadelfia bergabung bersama GKI Yasmin beribadah di Tugu Proklamasi, Minggu, 16 Agustus. Foto oleh Camelia Pasandaran/Rappler

Apakah korban intoleransi masih berharap? 

“Tuhan mencintai kita, aku percaya pemerintah masih punya hati,” kata Emilia. “Aku percaya mereka tidak akan mengalah terus pada minoritas.” 

“Jokowi mesti menegakkan keadilan. Kami kan tidak mengambil hak siapapun,” ungkapnya.

Jemaat HKBP Filadelfia yang telah bertahun-tahun beribadah di depan Istana juga masih berharap. 

“Meski belum ada respon dari Bupati (Bekasi), kami tetap melakukan usaha untuk mendapatkan hak kami,” kata Ardus Simanjuntak, pengurus gereja, pada Rappler.

“Dua minggu sekali kami masih beribadah di istana, mengharapkan pemerintah untuk bisa menegakkan keadilan untuk kami.”

Menyanyikan harapan yang tersisa

 

Di tengah perjuangan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, 3 penyandang tuna netra dari Panti Asuhan Elsafan mengingatkan jemaat bahwa Indonesia adalah tanah air bersama lewat lagu Indonesia Pusaka.

Selain mereka, kelompok musik Simponi yang aktif bernyanyi untuk kampanye sosial, juga menyanyikan harapan agar Indonesia bisa jadi rumah bersama semua agama. 

“Saya Muslim, tidak tahu apakah saya muslim Sunni, Syiah, atau Ahmadiyah,” kata Berkah Gamulya, manajer Simponi.

“Yang saya tahu Islam yang toleran, Islam yang ramah, bukan marah, menghormati sesama manusia. Surga itu luas sekali, enggak perlu rebutan, enggak perlu berantem.” 

Lalu lagu Pancasila Rumah Kita pun melantunkan harapan itu. 

 — Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!