SEA Games

Kontroversi kepemilikan tanah Kampung Pulo

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi kepemilikan tanah Kampung Pulo
Warga klaim mereka memiliki bukti kepemilikan tanah berbekal surat tagihan pajak bernama verponding. Sementara BPN membantah

JAKARTA, Indonesia—Tokoh Masyarakat Kampung Pulo, Jatinegara, S Sholeh Husein Alaidrus, merupakan salah satu penghuni pertama di bantaran Kampung Pulo, Jatinegara. Ia pernah menikmati masa Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin. 

Sholeh bertutur pada Rappler apa yang dia klaim sebagai asal-usul kepemilikan tanah di bantaran Kali Ciliwung tersebut. 

“Tanah di sini kan asalnya verponding. Setelah itu pada tahun 1979 setiap warga mengurus sertifikat tanahnya di kelurahan,” katanya saat ditemui di sebuah musala di wilayah Kampung Pulo, Jumat, 21 Agustus. Saat itu gubernur yang menjabat adalah Tjokropranolo. 

Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau bangunan pada masa lampau, yang saat ini disebut sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB). 

Untuk mengurus tanah tersebut menjadi hak milik, warga datang ke Kelurahan Kampung Melayu, termasuk Sholeh yang hendak menjual sebagian tanahnya. Di kelurahan itulah untuk pertama kalinya Sholeh mengaku ditawari sebuah draft baru dari kelurahan.

Draft-nya itu sama: surat pernyataan jual beli di atas tanah negara,” katanya. Di surat itu Kelurahan juga memberikan keterangan verponding tapi tanpa nomor dan dibubuhi tanda tangan RT, RW, serta kelurahan. 

“Orang zaman dulu itu kalau ada tanda tangan lurah girang banget, perasaannya sudah disahkan,” katanya. 

Salah satu sertifikat hak kepemilikan tanah milik warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur yang baru saja digusur pada 20 Agustus 2015 lalu. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Warga gagal klaim tanah di BPN

Tapi kata Sholeh, di sinilah awalnya warga kehilangan data kepemilikan tanahnya. “Karena saat ditanya nomor berapa verponding-nya? Tidak tahu. Karena memang tidak diberi nomor oleh kelurahan,” katanya. 

Sholeh menuturkan bahwa banyak yang bernasib sama dengannya. Apalagi setelah mereka mendengar Kampung Pulo akan digusur. Tepatnya sejak zaman Sutiyoso. 

Menurut dia, sebagian dari mereka kemudian mengurus peningkatan surat ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan berhasil. Tapi tak semua warga beruntung, ada juga warga yang masih memproses kepemilikan tanahnya. 

Karena itu saat penggusuran, Sholeh meminta staf BPN lewat Lembaga Kemitraan Kelurahan untuk turun dan mengecek nomor Surat Hak Milik tanah warga. “Ternyata ada nomornya,” klaim Sholeh. 

Sandyawan Sumardi yang merupakan pegiat di Ciliwung Merdeka, lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga Kampung Pulo sejak tahun 2000, menyatakan hal yang sama. Menurutnya, 3 bulan sebelum penggusuran, warga Kampung Pulo ramai-ramai kumpulkan semua dokumen yang mereka miliki.  

“Semua dokumen itu sudah kami serahkan ke Pemprov, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, hingga Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan,” katanya.  

Sandy menyimpulkan bahwa tanah itu bukan tanah negara. Ia mengaku kecewa dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama yang mengklaim tanah di Kampung Pulo sebagai milik negara.  

Bukan hanya soal dokumen, warga juga mengklaim mereka telah mengumpulkan beberapa bukti, bahwa mereka membayar jutaan rupiah untuk mengurus kepemilikan tanah.

“Katanya mengurus verponding itu gratis, nyatanya warga harus membayar kutipan hingga Rp 30 juta. Bayangkan warga yang miskin harus membayar biaya segitu,” katanya. 

BPN bantah

Menanggapi hal ini Wakil Wali Kota Husein M yang ditemui saat mengunjungi warga Kampung Pulo menolak berkomentar jauh. “Saya hanya bersilaturahmi,” katanya. 

Saat ditanya soal kepemilikan tanah warga yang diverifikasi BPN, ia juga enggan menjawab. “Itu makanya ada kewenangan sendiri ada BPN soal tanah. Soal status tanah itu BPN. Lembaga yang diserahi tanah itu BPN,” katanya sambil meninggalkan kerumunan warga.

Terkait hal ini, Kepala BPN Jakarta Timur Gunawan mengatakan lembaganya awalnya melakukan pendataan pada 2014. Hasilnya ada 527 bidang yang diukur dan diperiksa statusnya.  

Tapi saat pengukuran, BPN mengaku tak ada warga yang menyodorkan sertifikatnya. “Sudah ditanyakan ke warga, ada yang punya sertifikat atau tidak? Tidak ada yang menyampaikan,” katanya.  

Gunawan menambahkan saat itu memang ada warga yang menyampaikan terkait verponding. Namun saat datang ke kantor BPN, mereka tidak membawanya. 

“Bukan verponding-nya, tapi hanya akte jual beli di bawah tangan. (Pernyataan sendiri) saya membeli tanah verponding no sekian, hanya tulisannya saja bukan verponding-nya.”

Mereka lalu diminta cek di kantor wilayah, tapi tidak ada yang datang untuk mengurusnya. —dengan laporan dari Adelia Putri/Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!