Seleksi pimpinan KPK: Nina tak bisa menjawab pertanyaan tentang UU Pencucian Uang

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Seleksi pimpinan KPK: Nina tak bisa menjawab pertanyaan tentang UU Pencucian Uang
Kata Nina, UU Pencucian Uang itu keren

JAKARTA, Indonesia—Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nina Nurlina Pramono tak bisa menjawab pertanyaan anggota panitia seleksi Yenti Ganarsih mengenai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang nomor 8 tahun 2010. 

“Menurut saya undang-undang ini keren,” kata Nina di depan pansel, di gedung Kementerian Sekretaris Negara, Selasa, 25 Agustus. 

Usai wawancara, Yenti yang ditemui Rappler mengaku kecewa dengan jawaban Nina. “Karena ini berkaitan dengan pentingnya TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Saya kecewa dengan capim yang tidak paham itu,” katanya. Menurut Yenti, seharusnya Nina mempersiapkan diri dan memperlihatkan kesungguhannya. Paling tidak, dengan membaca undang-undang. 

Nina Nurlina Pramono (57 tahun) adalah mantan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation. Suami Nina, Hardy Pramono menjabat sebagai President and General Manager Total E&P Indonesia.

Untuk mengkonfirmasi apakah benar Nina tak paham undang-undang pencucian uang, Rappler mewawancarainya kembali. Simak videonya di bawah ini: 

Kekayaan Nina ikut disorot 

Selain soal pemahaman, Nina juga ditanya tentang harta kekayaannya. Ia menyebut baru sekali melaporkan harta kekayaannya ke KPK, yakni pada 2002 lalu. Ia tak ingat betul berapa nilai harta yang dilaporkan. 

Tapi ia mengakui bahwa ia memiliki rumah di Jatibening-Bekasi, Lembang, Cinere, Malang, Bandung. Ia bahkan berinvestasi di sebuah condotel di Cipanas, Jawa Barat. 

Ia juga mengaku mempunyai beberapa mobil. “Terakhir saya beli mobil BMW senilai Rp 1,7 miliar. Cash,” katanya.  “Iya. Cash. Boleh dong setelah saya kerja 30 tahun.”

Kata Nina perolehan hartanya saat ini sudah mencapai Rp 25 miliar. 

Tersangkut proyek 100 juta pohon 

Dalam wawancara, pansel juga menanyakan tentang program 100 juta pohon senilai Rp 220 miliar saat ia menjadi direktur eksekutif Pertamina Foundation. 

“Mengapa proyeknya hanya 30 persen saja (yang direalisasikan)?” tanya salah satu anggota pansel, Supra Wimbarti. 

Menurut Nina, itu adalah kesalahpahaman dari auditor publik yang mengambil sampel hanya 0,05 persen. Dari hasil sampel itu, hanya 30 persen saja yang terealisasi. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!