Koalisi Masyarakat Sipil nilai sebagian besar capim KPK krisis integritas

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Koalisi Masyarakat Sipil nilai sebagian besar capim KPK krisis integritas
Selain soal harta kekayaan, sebagian besar visi capim juga dinilai tidak pro pemberantasan korupsi.

JAKARTA, Indonesia— Koalisi Masyarakat Sipil menyebut sebagian besar calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diragukan integritasnya, serta tidak memahami visi dan misi untuk menjadi pimpinan lembaga tersebut.   

“Integritas adalah variabel terbesar. Sayangnya sebagian besar kandidat agak bermasalah dengan itu,” kata Erwin Natoesmal Oemar dari Koalisi Masyarakat Sipil pada Rappler, Kamis, 27 Agustus. 

Koalisi Masyarakat Sipil adalah gabungan dari beberapa organisasi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesian Legal Roundtable, dan Transparency International Indonesia (TII). 

Kesimpulan itu ditarik Erwin setelah koalisi melakukan pemantauan saat seleksi 19 calon pimpinan KPK selama tiga hari, 24-26 Agustus, di Kementerian Sekretariat Negara. 

Variabel integritas antara lain meliputi taat lapor harta kekayaan atau LHKPN, tidak punya riwayat transaksi mencurigakan, punya harta yang wajar sesuai pendapatan, tidak boleh punya bisnis atau usaha di luar pekerjaan pokok, taat bayar pajak, terbuka soal asal-usul harta kekayaan, dan independen. 

Independen yang dimaksud tidak memiliki kepentingan atau tidak berhubungan terlalu dekat dengan pemegang kekuasaan atau pemodal. 

Capim lalai lapor LHKPN

Soal Laporan Harta Kekayaan Negara, dalam pantauan Rappler, ada beberapa capim yang terungkap belum atau tidak rutin melaporkan harta kekayaannya. Salah satunya adalah Nina Nurlina Pramono, mantan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation dan istri President & GM Total E&P Indonesia. Dalam sesi wawancara, pansel mempertanyakan tentang harta kekayaan Nina, serta koleksi mobil mewahnya senilai Rp 1,7 miliar yang ia beli tunai. 

Saat ditanya mengapa ia hanya melapor harta kekayaannya pada 2002, Nina mengakui kelalaiannya. “Iya saya tidak melaporkan LHKPN,” katanya. 

Nina memilliki banyak rumah di Lembang, Cinere, Jatibening-Bekasi, Malang, Bandung, dan investasi condotel di Cipanas, Jawa Barat. 

Capim lainnya yang terungkap tak patuh lapor LHKPN adalah Saut Situmorang dari Badan Intelijen Nasional (BIN). Ia diduga tidak melaporkan semua hartanya, antara lain mobil Jeep Rubicon senilai lebih dari Rp 1 miliar bernomor polisi B S4 UTS. 

Lainnya adalah mantan Kapolda Papua Irjen Yotje Mende. Yotje dicecar anggota pansel yang juga pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo soal LHKPN. Yotje terakhir melapor harta kekayaannya pada 2007.  

“LHKPN terakhir 2007 ya? Lha kok males?” kata Harkristuti.

“Waktu (jadi Kapolda) Riau saya enggak sempat. Waktu (jadi Kapolda) Papua enggak dapat, baru dapat 2 minggu yang lalu,” sahut Yotje.

“Lah kan formulirnya bisa di-download,” kata Harkristuti. 

Capim dari Tentara Nasional Indonesia, Hendardji Soepandji, diduga tidak membayar pajak motor gede miliknya. Ia membantah. “Ada, saya bayar pajaknya,” katanya.  

Visi tidak pro KPK

Selain soal kepatuhan melaporkan LHKPN, beberapa calon juga mendapat catatan di visi dan misi. Menurut Erwin, indikator visi dan misi penting untuk menilai keberpihakan mereka pada KPK. Antara lain soal penyidik independen dan kewenangan penuntutan dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Dari pantauan Rappler, beberapa calon menyatakan secara tegas tidak setuju dengan penyidik independen. Brigjen Basaria Panjaitan dan Yotje kompak berpendapat bahwa KPK belum mampu mengangkat penyidik independen. 

“Penyidik independen bisa saja dilaksanakan KPK tapi apakah KPK sudah mampu. Kalau dia mau jadi penyidik independen dia harus dilatih,” kata Yotje.  

Kata Basaria butuh waktu bertahun-tahun untuk seseorang bisa jadi penyidik KPK. Mereka juga kompak menyarankan KPK merekrut penyidik dari pegawai negeri sipil saja.

Indikator lainnya, kata Erwin, ihwal pentingnya TPPU dalam penindakan kasus korupsi. Dalam wawancara akhir kemarin, ada capim yang bahkan tidak dapat menjawab substansi UU TPPU, termasuk Nina. “Layering (penyamaran harta) itu apa ya?” katanya pada Rappler. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!