Mengapa anak muda Indonesia terobsesi dengan pernikahan

Ayu Meutia Azevy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa anak muda Indonesia terobsesi dengan pernikahan
Mengapa generasi muda Indonesia terkesan tidak sabaran dalam nikah? Apakah mereka mudah tertipu oleh propaganda film, buku, dan lagu cinta?

Ulang tahun Republik Indonesia ke-70 tidak hanya disambut dengan semangat cinta negara — namun juga dengan meme viral yang beredar di dunia maya. Nampak logo kemerdekaan RI ke-70 kita dijadikan bahan candaan untuk menyinggung jodoh dan kaum jomblo.

Meskipun keberadaan meme ini dapat disikapi dengan ringan, tingkat ekspektasi masyarakat Indonesia tentang pernikahan memanglah tinggi dan serius. 

Apa yang membuat masyarakat Indonesia, terutama mereka yang muda begitu terobsesi dengan pernikahan — bahkan sampai memandang kondisi jomblo sebagai kondisi yang jenaka. Apa yang kita ketahui selama ini tentang sejarah dari pernikahan dan cinta?

Berdasarkan sebuah video berjudul The History of Love buatan The School of Life yang tayang di YouTube, semua bermula pada tahun 1775 SM di Mari, Syria. Pernikahan digunakan oleh Sang Raja untuk memperluas pengaruhnya. Ia menikahi seorang seorang putri dari Yamhad.

Di sini pernikahan digunakan sebagai alat untuk menyebar perdagangan dan kuasa. Tradisi ini diturunkan ke generasi selanjutnya. Pada zaman ini, cinta tidak memaknai sebuah pernikahan yang sakral. Pernikahan dipandang sempurna apabila bisa mendatangkan keuntungan dalam perluasan koneksi, ekonomi, dan pertahanan negara. 

Lain halnya dengan Rudell, seorang trubadour (penyair)dari Prancis yang memandang cinta sebagai sesuatu yang sensitif. Saat berlayar ke Tripoli, ia berjumpa dengan istri bangsawan dan jatuh cinta. Sejak itu, Rudell menulis sajak cinta tentang kebahagiaan dan kesedihan untuk wanita pujaannya.

Dari sajak yang ditulis, Rudell tidak pernah membuat sajak tentang uang, keluarga, dan kelangsungan dinasti meski ia jatuh cinta. Ia hanya menikmati perasaan cintanya kepada wanita yang ia puja. 

Sementara itu, di pandangan Raja Louie XXIV dari Prancis, cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. Ia menjaga kekuasaan dengan memiliki ratu untuk mencapai tujuan negara dan puluhan selir untuk memenuhi kebutuhannya dalam bercinta.

Pemahaman tentang cinta dan pernikahan yang kuno membuat penulis novel klasik Jane Austen menyadari kedangkalan makna dari peristiwa yang harusnya jauh lebih bermakna. 

Bagi Austen sendiri, pernikahan tidak hanya boleh didasari dengan cinta semata maupun ambisi material saja. Baginya pernikahan harus disertai dengan kasih sayang dan juga kemampuan untuk mengatur dan mengukur hal-hal praktikal. 

Karya Austen membentuk pengertian baru tentang sebuah pernikahan di abad 19 dan mendefinisikan arti pernikahan yang modern. Austen memperkenalkan edukasi baru tentang cinta. Ia percaya keseimbangan dalam percintaan itu akan mengalir dengan alamiah sendirinya.

Berbicara tentang sesuatu yang alamiah dan bersifat sains, Darwin malah memandang konsep romansa dengan pesimis. Sebagai penulis buku, The Origin of Species, ilmuwan ini mengutarakan bahwa manusia yang adalah setengah kera/primata tidak punya kemampuan untuk menciptakan hubungan romansa yang panjang.

Dan oleh karena itu, konsep pernikahan adalah sesuatu yang akan selalu gagal untuk manusia. Ia juga melihat kewajaran bagi manusia untuk melakukan hubungan seksual lebih dari satu pasangan.

Ini adalah pandangan yang mirip dengan “generasi bunga” atau “flower generation” yang lahir di tahun 1965, di Amerika Serikat, yang menggerakkan aksi menentang kehidupan modern dan menggerakkan gaya hidup yang “membumi”.

Generasi bunga ini menegakkan kebebasan bercinta bagi pasangan di luar pernikahan dan pasangan sesama jenis. Mereka memandang peraturan pernikahan yang ada sebagai represi atau penekanan terhadap kebebasan.

Namun, di tahun 2015, riset menunjukkan tingkat perceraian juga makin tinggi di negara seperti Belgia, Amerika Serikat, Inggris, Hungaria, dan Portugal. Dan rata-rata pasangan yang bercerai ini adalah mereka yang lahir dari “generasi bunga”.

Mungkin selama ini kita tertipu oleh propaganda dari film, buku, lagu-lagu cinta, dan bahkan produk media sosial, yang menyuarakan kisah manis yang mengelu-elukan cinta. Maka wajar saja, generasi muda Indonesia terkesan tidak sabaran dalam menikah, karena terdoktrin dengan ungkapan manis saja.

Di mana sebenarnya, pernikahan pada dasarnya membutuhkan kompromi dan didorong oleh pengorbanan. Dengan memutuskan untuk menikah bukan hanya berarti kita terikat dengan semua hal-hal yang terasa baik saja, namun juga sebaliknya. 

Tidak semua idealisme pernikahan kita akan tercapai, karena tidak semua kisah cinta berjalan mulus. Namun, pandangan-pandangan tersebut tidak harus menjadi momok untuk menjalin hubungan cinta serius. Karena, adanya rintangan dalam kehidupan adalah sesuatu yang wajar.

Sementara itu, tidak ada kondisi yang mulia atau lebih baik antara mereka yang sudah hidup berpasangan maupun yang masih sendiri. Semuanya bergantung dari cara pandang masing-masing dalam memaksimalkan potensi kita sebagai individu dalam kehidupan.

Maka seperti kata Austen, cinta akan mengalir dengan sendirinya. —Rappler.com

Ayu Meutia adalah seorang copywriter di sebuah agensi kreatif independen di Jakarta dan pencinta puisi. Kunjungi buah pemikirannya di adjoemoetia.blogspot.com.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!