Putra Wiji Thukul: Selamat ulang tahun, Pak!

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Putra Wiji Thukul: Selamat ulang tahun, Pak!
Putri Wiji Thukul tagih janji Presiden Jokowi

 

SOLO, Indonesia – Ingatan Fajar Merah mungkin samar tentang wajah asli Wiji Thukul, sosok ayah yang tak pernah ia lihat lagi sejak 19 tahun lalu. Ia masih berusia tiga tahun ketika Wiji Thukul pergi dan menghilang.

Fajar, anak bungsu penyair cadel yang yang lantang melawan penguasa Orde Baru lewat sastra itu, tak pernah lupa hari kelahiran ayahnya. Tak seperti tahun sebelumnya, tepat di hari ulang tahun ke-52, Fajar memberikan kado istimewa bagi sang ayah.

“Selamat ulang tahun Pak, di mana pun engkau berada, hidup atau mati, semoga dalam keadaan damai,” kata Fajar. 

Hampir tengah malam, lagu Kebenaran Akan Terus Hidup bergema di gedung Innovation Center Universitas Sebelas Maret. Ratusan anak muda yang datang dari Solo, Malang, Yogyakarta, dan Bandung ikut beryanyi bersama Merah Bercerita, grup band indie yang dibentuk oleh Fajar Merah (gitar dan vokal) dan ketiga temannya — Gandhi Asta (gitar), Yanuar Arifin (bas), Lintang Bumi (drum).


Lagu itu merupakan musikalisasi puisi Wiji Thukul yang digarap dengan apik oleh Merah Bercerita, selain Derita Sudah Naik Seleher, Bunga dan Tembok, dan Apa Guna. Merah Bercerita mengabadikan 10 lagu dalam keping cakram yang diluncurkan malam itu. Semuanya liriknya memiliki kedalaman makna.

Empat dari 10 lagu adalah karya sastra Wiji Thukul yang dilahirkan kembali dalam komposisi musik. Album perdana yang digarap sejak setahun lalu itu sebenarnya sudah selesai direkam Januari, tetapi Fajar sengaja baru meluncurkan pada 26 Agustus, bertepatan dengan ulang tahun ayahnya. 

“Ini kami persembahkan sebagai kado istimewa untuk bapak,” ujar Fajar. 

Fajar tidak sendiri, karena beberapa musisi dan grup band indie lainnya — Jungkat-Jungkit, In Made, KM 09, Soloensis, Iksan Skuter, Sisir Tanah — ikut mendukung dan memeriahkan acara peluncuran album sekaligus peringatan ulang tahun Wiji Thukul itu.

Komunitas Akar Daun, yang berisi para seniman muda kampus ikut meramaikannya dengan pameran seni rupa dan ilustrasi bertajuk “Narasi Ilusi Zaman”, yang merupakan visualisasi lagu-lagu Merah Bercerita.

Saifuddin Hafiz, perupa Solo dan juga teman dekat Wiji Thukul, yang memberikan pengantar pada peluncuran album menyebut ada “Wiji Thukul” dalam Merah Bercerita. Album itu adalah penafsiran Fajar tentang idealisme ayahnya dan sebagai bentuk tanggung jawab moral sang anak untuk memberi “ruh” pada kata-kata mati puisi peninggalannya.

 

Penampilan Merah Bercerita dalam peluncuran album untuk Wiji Thukul. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Musik Merah Bercerita juga merupakan ekspresi dan kecamuk batin seorang anak yang sudah 19 tahun tak pernah bertemu bapaknya, sementara persoalan hukum sampai sekarang tak jelas ujungnya. Kegelisahan, kegetiran, kesepian, doa, harapan, semuanya menjadi satu. 

“Lewat album ini Fajar Merah bertutur dan berdialog dengan dirinya sendiri, keluarga, publik, dan juga negara,” kata Saifuddin.

Fajar mengaku sudah terlalu lelah berharap pada pemerintah atas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan nasib keluarga korban. Karenanya, meskipun sangat rindu pada sang ayah yang amat ia kagumi, Fajar enggan lagi menagih janji pemerintah untuk mengusut kasus penculikan ayahnya.

“Siapa saja pemerintahnya, selalu sama, tak bisa diharapkan. Dari tahun ke tahun tidak ada kemajuan dan kejelasan tentang korban dan keluarganya,” kata Fajar seusai acara. 

“Meskipun bapak tidak ada, semangatnya ada di sini di dalam jiwa kami.” 

Ia lebih memilih terus menyuarakan semangat Wiji Thukul lewat musik. Tidak melulu pada musikalisasi puisi, Fajar juga menggali ide sendiri meskipun secara genetis ekspresi kegelisahannya terhadap lingkungan sosial tetap satu nada dengan ayahnya. Merah Bercerita memilih menyampaikan pesan kemanusiaan dan menolak ketidakadilan.

Lagu Anak, misalnya, adalah gambaran Fajar sebagai anak yang mencintai dan merindukan kedua orang tuanya yang sudah berjuang penuh penderitaan. Sang ayah hilang, sementara ibunya harus membanting tulang menghidupi keluarga dengan hidup pas-pasan.

 

Merah Bercerita juga menolak segala bentuk kekerasan, termasuk atas nama agama, dalam Negeriku Semakin Horor. Sedangkan empat lagu lainnya, Ilusi, Bom Waktu, Orkes Bahagia, dan Yang Aku Tahu, menyuarakan protes sosial.

Berbeda dengan Fajar yang nyaris apatis, sang kakak, Fitri Nganthi Wani, masih menaruh harapan terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menemukan ayahnya.  Ia menilai, Jokowi merupakan presiden pertama kali yang berjanji untuk menemukan Wiji Thukul hidup atau mati. 

Terlebih, Jokowi yang pernah menjadi Wali Kota Solo itu bukan sosok asing bagi keluarga penyair kelahiran Solo itu. Bahkan, Jokowi juga menyukai puisi-puisi Wiji Thukul, yang sering ia baca pada saat peringatan tragedi kemanusiaan bersama para aktivis HAM di rumah dinas Lodji Gandrung.

"Bunga dan Tembok", visualisasi puisi Wiji Thukul karya anggota Komunitas Akar Daun. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

“Saya berharap Pak Jokowi memenuhi janjinya, setidaknya berani mengusut dan memberi kejelasan tentang peristiwa penghilangan paksa 13 aktivis, termasuk Bapak,” kata Fitri usai membaca puisi berkolaborasi dengan Merah Bercerita dalam “Derita Sudah Naik Seleher”.

Fitri juga berharap, dalam peringatan Hari Orang Hilang Sedunia, 30 Agustus ini, pemerintah berkomitmen untuk mengakui jika penculikan itu memang terjadi dan berjanji agar tragedi serupa tidak terulang lagi. 

Sastrawan aktivis

Wiji Thukul adalah sastrawan kiri. Puisi-puisinya banyak dipengaruhi genre realisme-sosialisme. Berasal dari keluarga ekonomi bawah, penyair yang punya nama lahir Wiji Widodo ini dropped out dari sebuah SMK Seni di Solo, kemudian aktif berkesenian dalam Teater Jagat, dan menjadi buruh di beberapa pabrik.

Di saat semua musuh Suharto masih malu-malu bersuara, Wiji Thukul sudah membuat puisi-puisi yang syairnya “menusuk telinga” penguasa. Salah satu yang paling terkenal adalah puisi “Peringatan” yang banyak dikutip bagian akhirnya, “Hanya ada satu kata: lawan!”

Wiji Thukul ikut menggawangi sejumlah aksi solidaritas buruh pabrik di Solo, seperti di pabrik tekstil Sari Warna dan Sritex. Ia nyaris kehilangan mata akibat dihantam popor bedil tentara dalam sebuah demonstrasi. 

Pada 1996, ia memutuskan bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, musuh utama Soeharto menjelang kejatuhannya. Sejak saat itu, Wiji Thukul menjadi buronan tentara dan polisi, hidup berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dengan menggunakan nama samaran.

“Saya sebenarnya sudah mengingatkan dia, boleh berpuisi, tetapi jangan masuk partai politik. Tetapi saya tidak didengarnya,” ujar Sipon.

“Saya pergi jangan dicari, saya akan kembali kalau keadaan sudah aman,” Sipon menirukan kata-kata Wiji Thukul.

Kontak terakhir terjadi pada Februari-Maret 1998. Wiji Thukul sempat menelepon istrinya dan mengatakan dirinya berada di Jakarta. Dari beberapa pengakuan teman aktivis, ada yang melihat Wiji Thukul bergabung dengan mahasiswa dalam demostrasi Mei tahun yang sama. 

Dugaan paling kuat yang banyak diyakini orang selama ini,  Wiji Thukul diculik oleh Tim Mawar, tim khusus Kopassus yang bekerja untuk ‘membuat diam’ para aktivis pro-demokrasi saat itu. Namun hingga kini, tak ada satu pun yang mengaku menculiknya. 

Wiji Thukul dan aktivis HAM Munir Thalib dalam sketsa warna karya Dewi Candraningrum dalam pameran di Yogyakarta, Maret 2015. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Wiji Thukul pernah mendapat penghargaan Wertheim Foundation pada 1991 atas karya sastranya dan Yap Thiam Hien dari Pusat Studi HAM pada 2002. Kini karyanya, Nyanyian Akar Rumput, telah dibukukan oleh salah satu penerbit besar di Indonesia.

Sajak-sajaknya banyak menjadi kutipan, dipakai oleh gerakan mahasiswa, buruh, dan kaum marjinal. Di Jakarta, mural Wiji Thukul menghiasi sudut kota. Bahkan, terkadang puisinya lebih dikenal ketimbang penyairnya. 

Tidak salah apa yang diyakini oleh Fajar Merah dan kawan-kawan bahwa pikiran dan kata-kata tidak bisa dipenjarakan, dan kebenaran akan terus hidup, seperti lirik-lirik puisi Wiji Thukul yang digarap ulang oleh Merah Bercerita. Selamat ulang tahun Wiji Thukul! — Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!