Menteri Hanif Dhakiri jawab kontroversi tenaga kerja dari Tiongkok

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menteri Hanif Dhakiri jawab kontroversi tenaga kerja dari Tiongkok
Ibarat ilmu fiqh, alih teknologi adalah salat, sedangkan kemampuan berbahasa Indonesia adalah wudhu-nya. Menaker Hanif Dhakiri anggap isu eksodus tenaga kerja asing ke Indonesia cuma provokasi.

Ada semacam “kampanye” anti-investasi dari Tiongkok yang tengah berjalan dalam bulan-bulan terakhir. Kompetisi investasi yang tengah ditunggu pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo, dibarengi nuansa persaingan geopolitik.  

Di tingkat dunia, persaingan menghangat. Devaluasi yuan terhadap dolar AS dianggap bisa memicu perang mata uang. Ledakan hebat di zona industri Tianjin, misalnya, diwarnai teori konspirasi.  

Salah satu koran terbesar di Inggris, Daily Mail, memuat teori konspirasi bahwa ledakan yang mencoreng citra keamanan industri di Tiongkok itu didalangi AS, ekonomi terbesar di dunia, yang merasa terancam dengan ekonomi kedua terbesar, yaitu Tiongkok.

Koran Inggris itu memuat teori konspirasi yang beredar, bahwa ledakan di Tianjin yang menewaskan sekurangnya 123 orang itu, disebabkan oleh tembakan senjata AS yang dilancarkan dari satelit.  

Tianjin adalah salah satu zona industri paling dibanggakan oleh Tiongkok. Banyak kepala negara asing sudah mengunjungi kawasan itu.

Ada yang bilang alasannya adalah menyasar Presiden Xi Jinping yang merencanakan kunjungan ke pabrik di Tianjin. Ada juga yang menyebutkan sasaran sebenarnya adalah markas super komputer Tiongkok yang jaraknya hanya satu mil dari lokasi ledakan. 

Artikel Daily Mail, yang notabene koran kedua terbesar sirkulasinya di Inggris itu, bisa di baca di sini.

Sebagaimana teori konspirasi lain, tak ada konfirmasinya. Mungkin akan muncul sebagai plot dalam sekuel film James Bond atau Mission Impossible-nya Tom Cruise.

Di Indonesia, salah satu yang kena dampaknya adalah sektor ketenagakerjaan. Gara-gara Presiden Jokowi menyetujui kerjasama investasi dari Tiongkok senilai US$ 60 miliar, isu Indonesia bakal dibanjiri tenaga kerja Tiongkok menguat.

Kalau menggunakan bahasa Jawa yang saya pahami, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri wajar kalau merasa judeg, alias kesal. Di media sosial Twitter, hampir setiap hari dia mendapatkan mention soal kontroversi banjirnya tenaga kerja asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia.  

“Kalau ada yang belum jelas, kita jelaskan. Kalau sudah dijelaskan tapi enggak paham juga, kita jelaskan lagi. Kalau masih enggak paham juga, itu pahamnya yang salah,” kata Hanif dalam tweet-nya dua hari lalu.  

Hanif tergolong menteri yang aktif dan sabar meladeni tanggapan dan kritikan melalui akun Twitter-nya.

Minggu sore, 30 Agustus, saya menerima penjelasan Hanif melalui WhatsApp. Isinya adalah semacam jawaban atas pertanyaan yangpaling sering diterimanya terkait tenaga kerja asal Tiongkok. Di bawah ini informasinya: 

Benarkah kita kebanjiran tenaga kerja asing, khususnya dari Tiongkok? 

Kita mulai dari pertanyaan sederhana, adakah tenaga kerja asing di Indonesia? Ada! Jumlahnya berkisar 70-an ribu. Apakah itu besar? Tidak! Itu kurang lebih setara dengan 0,03 persen jumlah penduduk Indonesia yang 240 juta-an atau 0,05% dari jumlah angkatan kerja nasional yang sekitar 129 juta-an.

Bandingkan dengan negara lain. Penduduk Malaysia sekitar 27 juta, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana sekitar 1,2 juta, belum lagi tenaga kerja asing  dari negara lain. 

Singapura? Penduduk sekitar 5 juta, tenaga kerja asingnya sekitar separuh dari jumlah penduduk. Qatar dan Uni Emirat Arab, penduduk sekitar 4-5 jutaan dan tenaga kerja asingnya separuh dari jumlah penduduk.

Jumlah tenaga kerja asing dari Cina memang paling besar di antara negara lain, tapi jumlahnya tidak besar. Tahun 2015 tenaga kerja dari Cina sebesar 13.034 orang, disusul Jepang 10.128 orang, Korea Selatan 5.384 orang, dan India sebanyak 3.462 orang. 

Selebihnya adalah tenaga kerja asing dari dari Malaysia, Amerika, Thailand, Filipina, Australia, Inggris serta lainnya.

Bandingkan data itu dengan tenaga kerja Indonesia (TKI)  kita di Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, maupun Timur Tengah. Jumlah TKI kita sangat besar, sekitar 6 juta orang. Di Hongkong saja sekitar 153 ribu orang TKI.

Ribuan buruh Indonesia saat memperingati May Day pada 1 Mei 2015. Mereka menolak pasar bebas yang mengancam mata pencaharian mereka. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Jadi tak benar ada serangan atau eksodus tenaga kerja asing di Indonesia? 

Tak benar! Istilah serangan atau eksodus naker asing di Indonesia itu provokasi belaka, faktanya tidak begitu. Jumlah maupun jabatan tenaga kerja asing  di Indonesia masih terkendali. Dan jika ditemukan pelanggaran langsung ditindak, termasuk tindakan deportasi oleh pihak imigrasi 

(Ketika saya tanya, Hanif mengaku lupa dengan jumlah tenaga kerja asing yang dia deportasi. Salah satu kasus dia temukan sendiri, dan dia deportasi menyangkut tenaga keja asal Tiongkok yang bekerja di sebuah penambangan di Kalimantan Selatan.)  

Bagaimana dengan kabar bahwa ada 10 juta tenaga kerja asing Tiongkok menyerbu Indonesia? 

Itu jelas kabar bohong! Angka 10 juta itu adalah target wisatawan asing, bukan target tenaga kerja asing. Angka itu dipelesetkan dan diolah untuk menakut-nakuti rakyat akan tenaga kerja asing. Entah oleh siapa, yang pasti itu tidak benar. Jangan bodohi dan takut-takuti rakyat dengan sentimen anti-asing, terlebih sentimen anti-Cina. Itu sangat tidak sehat untuk demokrasi kita dan berbahaya bagi integrasi nasional. 

Bagaimana tren penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia? 

Tren penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia boleh dibilang gitu-gitu aja, malah cenderung menurun. Jumlah kisarannya berada di angka 70-an ribu. Tahun 2014 berjumlah 68.857 orang, dan tahun ini (per Agustus 2015) 54.953 orang. Tahun-tahun sebelumnya malah sedikit lebih besar walau tetap di kisaran 70-an ribu, yakni 72 ribu pada 2013 dan 77 ribu pada 2012.

Sampai dengan akhir Desember 2015, pertumbuhan tenaga kerja asing paling banyak diperkirakan pada kisaran 70 ribuan. Persentasenya masih sekitar 0,03 dari jumlah penduduk Indonesia atau 0,05 dari jumlah angkatan kerja nasional. Jadi masih sangat kecil dibandingkan negara-negara lain. 

Dengan tidak digunakannya bahasa Indonesia sebagai syarat masuk tenaga kerja asing, apakah itu tidak akan membuat aliran tenaga kerja asing ke Indonesia makin deras?

Tidak! Hambatan teknis (technical barrier) untuk  tenaga kerja asing bukan sekedar bahasa Indonesia. Masih banyak syarat lain yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing, antara lain: Syarat kompetensi, syarat pengalaman kerja, syarat jabatan (hanya jabatan tertentu yang boleh diduduki oleh tenaga kerja asing), syarat pendampingan oleh tenaga kerja Indonesia untuk alih teknologi, syarat perluasan kesempatan kerja dalam bentuk 1 tenaga kerja asing dibarengi dengan 10 tenaga kerja Indonesia, dan seterusnya.

Mengapa bahasa Indonesia harus dihilangkan? 

Sebenarnya bukan dihilangkan secara total, tapi dihilangkan sebagai syarat masuk tenaga kerja asing saja. Perusahaan pengguna tenaga kerja asing kan berkewajiban untuk melakukan alih teknologi dari tenaga kerja asing ke TKI. Tentu itu hanya bisa dilakukan apabila TKA-nya bisa berbahasa Indonesia.  

Ibarat dalam fiqh Islam, alih teknologi itu seperti salat-nya, sedangkan bahasa Indonesia seperti wudhu-nya. Orang sholat harus wudhu dulu karena kalau tidak wudhu jadi tidak sah sholatnya. Demikian juga, alih teknologi TKA ke TKI baru bisa berjalan kalau TKA-nya bisa bahasa Indonesia. 

Di sini pemerintah bisa mewajibkan perusahaan untuk melatih TKA-nya agar mampu berbahasa Indonesia dalam rangka alih teknologi.

Adapun penghapusan bahasa Indonesia sebagai syarat masuk itu merupakan bentuk dukungan bagi kebijakan investasi karena syarat bahasa itu banyak dikeluhkan oleh para investor. Dalam situasi ekonomi dunia yang tidak mudah seperti sekarang ini, kita perlu menciptakan iklim bisnis yang sejuk (business confident) sehingga arus investasi lancar. Makanya pemerintah melakukan deregulasi untuk memberikan kemudahan investasi, termasuk pengaturan soal TKA itu.

Investasi kita perlukan untuk menjalankan pembangunan, menggerakkan perekonomian, dan menciptakan lapangan kerja. 

Lapangan kerja untuk siapa? Ya, tentu untuk rakyat Indonesia karena tenaga kerja dalam negeri adalah prioritas pemerintah. Jadi, masalah bahasa Indonesia itu sejatinya bukan untuk TKA, melainkan untuk investasi dan investasi adalah untuk rakyat.

150 ribu buruh dari Jakarta dan sekitarnya turun ke jalan untuk merayakan Hari Buruh 2015 dan menyuarakan aspirasinya. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Apakah ada indikasi kehadiran TKA mengancam tenaga kerja dalam negeri? 

Tidak! Kan tidak semua jabatan bisa diduduki oleh TKA. Hanya jabatan tertentu seperti komisaris, direksi, dan jabatan keahlian yang di Indonesia tidak ada atau kurang, yang boleh diduduki oleh mereka.

Namun demikian, kita tentu harus terus menggenjot kompetensi, daya saing, dan produktivitas tenaga kerja kita. Harus diakui bahwa tenaga kerja kita itu kompetensi, daya saing, dan produktivitasnya masih rendah, tetapi tuntutannya sangat tinggi. Ini perlu jadi perhatian bersama baik pemerintah, dunia usaha, maupun serikat buruh/serikat pekerja.

Sekarang ini, kehadiran TKA dipersyaratkan dengan pembukaan kesempatan kerja. Jika menggunakan 1 TKA  dengan masa izin 6 bulan ke atas, maka diwajibkan untuk membuka lapangan kerja bagi minimal 10 orang tenaga kerja dalam negeri. Ini untuk melindungi dan memberi kesempatan kerja bagi tenaga kerja dalam negeri.

Bagaimana dengan kasus Banten, PLTU Celukan Bali, dan lainnya? (Kasus PLTU Celukan bisa dibaca di sini 

Betul, itu kasus. Tidak bisa digeneralisir. Setiap ada laporan masyarakat selalu ditindaklanjuti oleh pemerintah. 

Prinsipnya: selama mereka legal dan sesuai aturan, ya tidak masalah. Kalau ilegal atau tidak sesuai aturan, ya ditindak sesuai ketentuan yang ada, termasuk tindakan deportasi.

Kasus Banten itu soal perilaku TKA yang jorok, buang air besar sembarangan, adalah tanggung jawab perusahaan untuk membina TKA yang digunakannya. Pengawas kemenaker sudah turun dan membina perusahaan tersebut dan sudah ditindaklanjuti oleh perusahaan dengan menambah jumlah toilet di tempat kerja.

Kasus PLTU Celukan, itu soal kurang sensitifnya perusahaan dalam acara peresmian, sehingga yang hadir orang Cina semua dan semuanya bernuansa Cina. Itu tak etis karena bisa menyebabkan kurang harmonisnya perusahaan dengan masyarakat sekitar. Pemerintah sudah menegur perusahaan maupun pemerintah daerah soal itu. Ke depan tidak boleh terjadi lagi.

Sebenarnya kalau acaranya bukan peresmian tak masalah, misalnya acara perayaan sesuai tradisi atau kebiasaan di negara mereka. Hal itu lazim, sebagaimana TKI kita juga biasa bikin acara perayaan, entah hari besar nasional atau hari besar keagamaan. 

Minggu lalu, 30-an ribu TKI merayakan 70 tahun Kemerdekaan RI di Victoria Park, Hongkong. Penyelenggara, pengisi acara, dan semua yang hadir adalah orang Indonesia. Seluruh kegiatan berwarna Indonesia. TKI kita di negara lain juga begitu, biasa bikin acara serba Indonesia, entah 17-an Agustus, Idulfitri, Idul Adha, Maulid Nabi, pengajian, dan bahkan dangdutan.

Menyangkut soal naker-nya, tidak benar jika di PLTU Celukan isinya TKA Cina semua. TKA Cina berjumlah 135 orang dan naker lokal sekitar 249 orang. Itu rasio yang wajar dalam proyek infrastruktur dan konstruksi yang merupakan komitmen internasional termasuk komitmen kita di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia).  

Dalam proyek konstruksi dan infrastruktur, naker asing hanya mengantongi izin maksimal 6 bulan dan tidak bisa diperpanjang. Jabatan-jabatannya adalah jabatan keahlian, seperti ahli mesin, layanan purna jual (after sale service), dan lain-lain. Kalau ada pelanggaran, ya ditindak sesuai aturan yang ada.

Dalam kasus PLTU Celukan memang ditemukan ada pelanggaran, di antaranya ada 2 TKA Cina tak berizin dan langsung dikeluarkan dari tempat kerja oleh pengawas naker dan diproses deportasi oleh imigrasi. 

Jadi, sekali lagi, selama TKA itu legal dan sesuai aturan ya tidak masalah. Kalau melanggar, ya ditindak tegas.

Bagaimana dengan pengawasan kebijakan untuk penggunaan TKA itu?

Pengawasan terus kita perkuat di lapangan. Dinas-dinas tenaga kerja di daerah sudah dikonsolidasikan dalam rangka optimalisasi pengawasan TKA itu. 

Pengawasan dilakukan baik secara preventif dalam bentuk edukasi dan pembinaan kepada perusahaan, maupun secara represif dalam bentuk pengusiran maupun tuntutan hukum. Ketersediaan supply tenaga kerja lokal juga menjadi pertimbangan dalam pengawasan untuk memastikan jabatan-jabatan yang diduduki oleh TKA adalah jabatan yang sumber tenaga kerja di Indonesianya tidak ada atau sedikit. 

Jadi, silakan dilaporkan kalau ada indikasi pelanggaran penggunaan TKA oleh perusahaan, pasti segera ditindaklanjuti. Tapi tolong jangan dipukul rata atau digeneralisir seolah-olah kita kehilangan kendali. 

Perlu ditegaskan bahwa pelayanan untuk TKA memang dipermudah dalam rangka mendukung kebijakan investasi, termasuk penggunaan sistem online, penyederhanaan prosedur pelayanan, dan kemudahan-kemudahan lain. Tetapi pemerintah masih memiliki sistem kendali yang kuat dalam penggunaan TKA di negeri ini. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua masih aman dan terkendali. 

Sengaja saya mengutipkan format questions-and-answers (Q&A) alias tanya-jawab dengan Hanif, agar jawabannya bisa menjadi referensi bagi pembaca, termasuk @ipangwahid, sesama anak muda Nahdlatul Ulama yang ikut mention Hanif soal isu serbuan TKA Tiongkok ini.

Akhir Juli lalu saya berkunjung ke Beijing, Tiongkok, dan sempat mengunjungi sebuah perusahaan pembangkit listrik di sana, Shenhua Gouhua Electric Power Company. Grup perusahaan ini termasuk dalam 5 besar perusahaan pembangkit listrik di Tiongkok.  

Soal tenaga kerja asing dari Tiongkok saya tanyakan. Jawaban dari Huang Zonghua, direktur kerjasama internasionalnya, senada dengan jawaban Hanif. “Kami patuhi aturan Indonesia. Harus diakui, salah satu kendala investasi di negara Anda adalah kurangnya tenaga terlatih untuk bidang tertentu, termasuk manajemen pembangkit listrik,” kata Huang Zonghua, kepada saya, 27 Juli silam.

Kunjungan ke Shenhua Gouhua, saya lakukan untuk mendapatkan tanggapan soal kritik atas rendahnya kualitas proyek yang dibangun oleh investor Tiongkok di Indonesia. Mereka menyesali hal ini juga. Menurut investor Tiongkok, banyak kerjasama selama ini yang dilakukan melalui broker, dan bukan dengan perusahaan kualitas kelas satu di Negeri Tirai Bambu itu.

Shenhua Gouhua beroperasi di Indonesia sejak 2008 melalui PT GH Energi Musi Makmur, membangun pembangkit dengan kapasitas 2 x 150 MW. Sejak beroperasi komersil, sepanjang 2014 kedua unit beroperasi secara stabil, belum pernah ada kasus harus mematikan operasi dengan ketersediaan operasional 98,21 persen. 

“Karena tenaga kerja kurang terlatih, tingkat efektivitas pengoperasian proyek bisa turun persentasenya ketika tenaga kerja dari perusahaan kami meninggalkan proyek,” kata Huang Zonghua.  

Saat kontruksi, pihaknya membawa 200-an TKA dari Tiongkok  Kini, yang tinggal tak lebih dari 60 orang. Zonghua berjanji pihaknya akan melakukan transfer teknologi dan kemampuan manajerial. —Rappler.com

BACA JUGA:

 Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!