Relawan Jati Gede mencari warga yang terlantar akibat pembangunan waduk

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Relawan Jati Gede mencari warga yang terlantar akibat pembangunan waduk
Sekitar 55 persen warga hanya dapat ganti rugi Rp 29 juta

JAKARTA, Indonesia — Lowongan relawan untuk warga terdampak pembangunan waduk Jati Gede di Sumedang, Jawa Barat, mulai dibuka sejak 4 September kemarin. Tugas pertama mereka adalah mengumpulkan warga yang mengungsi secara sporadis di desa-desa tetangga. 

“Sebulan ini kita perlu menjemput dan mencari mereka,” kata salah satu koordinator relawan Dik Tanbih pada Rappler, Senin, 7 September.

Setidaknya, jika nanti relawan sudah genap terkumpul, 20-30 dari mereka akan diterjunkan untuk blusukan mencari warga yang “hilang”. 

Ke mana warga saat ini?

Menurut Tanbih, warga di Desa Jemah sudah mengungsi sejak kemarin, Minggu, 6 September. Tapi ia mengaku tak tahu mereka pindah ke mana.

“Ada sekitar 800 kepala keluarga di Desa Jemah. Mereka mengungsi di sembarang tempat,” kata Tanbih.  

Ratusan kepala keluarga itu memang tak jelas mengungsi ke mana, karena sebagian dari mereka hanya mendapat ganti rugi Rp 29 juta dari perusahaan asal Tiongkok Syno Hidro yang menggarap waduk Jati Gede.  

Sekitar 55% dari warga memang hanya mendapat ganti rugi dalam jumlah tersebut. Sisanya dibayar Rp 122 juta. Inilah yang menjadi sengketa antara warga dan perusahaan asal Tiongkok tersebut. 

 “Mereka mau pindah pindah ke mana dengan biaya Rp 29 juta? Ini bencana sosial,” kata Tanbih.  

Warga menuding pemerintah dan perusahaan tidak memakai data penduduk paling mutakhir, melainkan data dari 1984.

Akibatnya, setelah 31 tahun, banyak warga yang menikah dan berhak mendapat ganti rugi sebagai kepala keluarga. Tapi sayangnya mereka dianggap hanya kepala keluarga pecahan. 

Ada ribuan warga di 27 desa lainnya yang bernasib sama dengan warga di Desa Jemah, yang hanya mendapat ganti rugi yang terbilang sedikit dan terancam mengungsi di sembarang tempat atau terlantar. 

Sementara itu, waduk Jati Gede masih terus digenangi oleh air. Hingga pekan pertama, ada 4 desa yang pertama kali bakal terdampak, yakni Cipaku, Paku Alam, Suka Kerja, dan Pada Jaya. 

“Warga desa yang sudah didampingi sekitar 100 jiwa di Cipaku,” kata Tanbih. Sisanya akan menyusul. 

Tanbih juga mengaku risau dengan warga yang masih mengungsi secara liar, terutama karena Pulau Jawa akan memasuki musim penghujan pada November nanti.

Gagasan pembangunan Waduk Jati Gede pertama kali dibicarakan oleh pemerintahan Presiden Soekarno pada 1967. Namun pada 1979, pemerintah menunda pembangunan waduk Jati Gede karena tidak memiliki dana.

Menurut Kompas, sempat terjadi kericuhan karena warga sekitar menolak pembangunan Waduk Jati Gede. Mereka juga menuntut Bank Dunia untuk tidak memberi utang baru kepada Indonesia.

Namun pada Oktober 2005, pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa mereka bersedia mengucurkan dana 199,8 USD atau sekitar Rp 2,04 triliun untuk membiayai pembangunan waduk. 

Pada Januari 2015, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden No.1 tahun 2015 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan pembangunan Waduk Jati Gede.

Pembangunan waduk sendiri baru dimulai pada Juli 2015.

Warga tidak direlokasi 

Perwakilan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Taufan Suranto membenarkan bahwa warga terlunta-lunta hingga hari ini.

Taufan menuding perusahan pembangun telah mengabaikan hak-hak warga yang digusur seperti yang diatur dalam Land Acquisition and Resetlemen Action Plan World Bank. 

“Padahal kalau di World Bank itu masyarakat harus direlokasi. Bagaimana masyarakat tidak hanya direlokasi tapi juga di-resettle selama 6 bulan sampai mendapat pekerjaan lagi,” kata Taufan. 

“Kalau sekarang, perusahaan Tiongkok itu enggak. Mereka kasih uangnya saja. Dananya dari Bank Exim Tiongkok,” ujarnya. 

Taufan memandang putusan ganti rugi sepihak ini tidak adil bagi warga yang lahir dan besar di desa itu. 

Lalu bagaimana dengan pemerintah setempat?

“Sampai saat ini mereka belum merealisasikan bantuan apa pun,” kata Tanbih.

Ia dan relawan lainnya masih menunggu anak-anak muda di seluruh tanah air untuk membantu kerja mereka di Desa Cipaku, menata relawan.

Berminat? —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!