5 Kontroversi waduk Jati Gede

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 Kontroversi waduk Jati Gede
Bagi warga sekitar Jati Gede, pembangunan waduk ini bukan sekedar masalah ganti rugi

JAKARTA, Indonesia—Gagasan pembangunan Waduk Jati Gede pertama kali dibicarakan oleh pemerintahan Presiden Soekarno pada 1967. Namun pada 1979, pemerintah menunda pembangunan waduk Jati Gede karena tidak memiliki dana.

Sempat terjadi kericuhan karena warga sekitar menolak pembangunan Waduk Jati Gede. Bukan hanya soal ganti rugi, tapi mereka harus kehilangan lahan produktif mereka. 

Namun pada Oktober 2005, pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa mereka bersedia mengucurkan dana 199,8 USD atau sekitar Rp 2,04 triliun untuk membiayai pembangunan waduk. 

Bersama kontraktor lokal Wijaya Karya, Waskita Karya, Hutama Karya, dan Pembangunan Perumahan, perusahan Tiongkok SinoHydro merampungkan Waduk Jati Gede. 

Apalagi setelah mendapat restu dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, proyek ini kembali berjalan mulus. Karena SBY menggunakan dalih Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI. 

Melalui mekanisme MP3EI, pemerintah memotong kompas semua peraturan daerah. Pemerintah daerah pun mendapat mandat untuk mengawal pembangunan waduk yang mengatasnamakan kepentingan nasional tersebut. 

Pada masa Pemerintahan Joko Widodo, waduk ini menjadi prioritas programnya. Pengisian air waduk pun dimulai pada Agustus 2015. Satu per satu desa ditenggelamkan. 

Namun ada hal-hal lain yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah, mulai dari dampak sosial, ekologi, hingga geologi. 

Berikut ulasannya:  

11.000 warga terdampak

Pembangunan Mega Proyek ini akan menenggelamkan 28 desa di Sumedang, Jawa Barat secara bertahap. Butuh waktu 7 bulan untuk menenggelamkan seluruhnya. Desa yang tenggelam antara lain Jemah, Suka Kersa, Pada Jaya, Cibogo, Cipaku, dan Paku Alam. 

Menurut relawan Dik Tanbih saat ini, relawan sudah menggelar tenda di Cipaku. Sekitar 100 warga yang didampingi saat ini. Tapi desa Jemah yang sudah mulai digenangi dan segera ditenggelamkan, warganya telah mengungsi. 

Sayangnya relawan tak tahu ke mana 800 kepala keluarga Desa Jemah mengungsi. Baca soal relawan mencari pengungsi di sini. 

Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar pernah mengatakan pihaknya sedang memproses permohonan bantuan keuangan dari Sumedang sebesar Rp 163 miliar untuk fasilitas umum dan sosial.

Tapi sampai sekarang belum direalisasikan. 

Data ganti rugi yang tak akurat 

Sementara itu, untuk menjembatani soal ganti rugi, pada Januari 2015, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden No.1 tahun 2015 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan pembangunan Waduk Jati Gede. 

Warga yang dianggap sebagai pecahan kepala keluarga (KK) hanya diberi ganti rugi Rp 29 juta.

Sebanyak 4.514 KK mendapatkan dana kompensasi senilai Rp 122,5 juta dan sebanyak 6.410 KK lagi mendapatkan dana santunan sebesar Rp 29 juta.

Menurut Perwakilan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Taufan Suranto ada dua kesalahan pemerintah. 

Pertama, perusahan pembangun telah mengabaikan hak-hak warga yang digusur seperti yang diatur dalam Land Acquisition and Resetlemen Action Plan World Bank. “Padahal kalau di World Bank itu masyarakat harus direlokasi. Bagaimana masyarakat tidak hanya direlokasi tapi juga di-resettle selama 6 bulan sampai mendapat pekerjaan lagi,” kata Taufan.

Kedua, pemerintah menggunakan data sensus penduduk tahun 1984. Yang menurut Taufan, sudah tidak akurat. 

Menggenangi lahan produktif 

Waduk Jatigede di Sumedang dirancang memiliki daerah genangan seluas 4.900 hektare. Enam desa yang digenangi umumnya umumnya merupakan lahan produktif dengan luas area persawahan yang terhampar. 

Tapi menurut Direktur eksekutif  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan, angkanya lebih besar dari itu. Ia mengatakan proyek akan menenggelamkan lahan seluas 6.000 hektar yang merupakan lahan pertanian produktif.

Ada juga lahan hutan lindung milik Perusahaan Hutan Indonesia yang ikut digenangi. 

33 situs cagar budaya terancam

Menurut Balai Pengelolaan Keperbukalaan Sejarah dan Nilai Tradisi (BPKSNT) Dinas Periwisara dan Kebudayaan Jabar ada 48 situs cagar budaya.

Dan sebanyak 33 situs berada di kawasan yang akan digenangi oleh untuk Waduk Jati Gede. Situs kebanyakan adalah makam keramat serta leluhur Sumedang.

Di kawasan ini, puluhan makam keramat yang dipercaya warga sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan Islam Sumedang Larang pada abad ke-16 di Desa Cipaku dipastikan akan hilang dan tenggelam. 

Ancaman gempa 

Belum lagi selesai masalah pengungsi, ada ancaman lain yang sedang mengintai warga terdampak dan sekitar bendungan Jati Gede. Menurut Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiyono Sobirin ada potensi gempa dalam pembangunan Waduk ini. 

Fakta yang harus diketahui oleh pemerintah adalah bendungan ini dbangun di zona patahan. “Pada tahun 2004, DPKTS sudah mengingatkan soal patahan. Berhati-hatilah. Gempa bisa terjadi kalau waduknya sudah naik,” katanya. 

Gempa bisa dipicu lewat genangan yang measuk ke patahan, kemudian menghidupkan kembali patahan, lalu bisa terjadi gempa. 

“Ada beberapa contoh di dunia ini, ada yang langsung terjadi gempa, ada yang 1-3 tahun, ada yang 1- tahun. Waduk Jati Gede sendiri kita tidak tahu,” katanya. 

Sobirin menilai pemerintah salah dalam mengartikan pembangunan waduk untuk irigasi, dengan niat memaksimalkan Sungai Cimanuk. “Sungai Cimanuk itu sedang sakit, hulunya kritis. Lebih baik membangun dulu hutan di hulunya,” katanya.  —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!