Pimpinan DPR ketemu Trump, keliru tata krama politik?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pimpinan DPR ketemu Trump, keliru tata krama politik?

EPA

Selain Setya dan Fadl, utusan khusus Presiden Jokowi juga hadir dalam jumpa pers Donald Trump di New York. Kontroversi yang muncul sarat nuansa rivalitas Pilpres 2014


Donald Trump rupanya bukan hanya sosok yang ampuh untuk menaikkan rating siaran televisi ataupun mengundang pembaca media siber di AS. Kandidat presiden Amerika Serikat yang tengah mencari tiket untuk menjadi calon presiden dari Partai Republik itu, sepekan terakhir menjadi buah bibir di Indonesia.  

Namanya disebut berkaitan dengan hadirnya ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam jumpa pers yang dikaitkan dengan kampanye Trump sebagai capres.

Sebagai pengusaha, Donald Trump adalah sosok sukses. Merek properti “Trump” melekat pada sejumlah gedung pencakar langit, kasino, lapangan golf, sampai hotel. Salah satu gedung Trump Tower berlantai 72, terletak persis di seberang salah satu sudut markas pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.  

Tahun 2015, Forbes menulis bahwa kekayaan Donald Trump bernilai sekitar 4 miliar dolar AS. Business Insider menerbitkan angka berbasis data dari pihak Trump, yakni 8,7 miliar dolar AS, per laporan keuangan Juni 2014. Dari jumlah itu, sebanyak 3,3 miliar dolar AS berasal dari bisnis lisensi real estate, merek, dan pengembangan merek.  

Artinya, Trump menghargai namanya sebagai sebuah merek dan lisensi senilai 3,3 miliar dolar AS. Sangat bernilai.

Mudah diduga jika kehadiran Trump di mana pun, acara bisnis maupun politik, adalah jaminan bagi publikasi media. Termasuk ketika Juni 2015 Trump umumkan diri sebagai kandidat presiden. Ucapannya yang kontroversial, bahkan tergolong rasis dikritisi, sekaligus dikembangkan sebagai isu yang seksi di media dan media sosial.  

Trump menjadi kandidat paling populer diantara kandidat presiden dari Partai Republik, termasuk dibandingkan dengan Jeb Bush yang berasal dari dinasti politik AS. Keluarga Bush sudah mendudukkan dua orang di kursi presiden AS, yakni George H.W. Bush Sr. dan George W. Bush Jr.  

Sebagai politisi, Trump sempat tidak dianggap serius. Ia dianggap cuma memancing kontroversi. Artikel terbaru laman New York Times yang terbit beberapa jam lalu menggambarkan meningkatnya kekhawatiran kaum Republikan atas ucapan dan pesan “kampanye” Trump yang sarat dengan muatan rasial, yang bisa mengancam peluang kandidat dari Partai Republik. AS adalah negara multirasial, yang menunjukkan tren meningkatnya populasi penduduk keturunan imigran.  Mereka jadi penentu kemenangan bagi kandidat resmi dari dua partai utama, Demokrat dan Republik, dalam setiap pilpres.

“Kandidat manapun yang membiarkan Trump mengarahkan pembicaraan mengenai isu-isu kampanye, akan dirugikan, dan ini sulit diperbaiki,” kata Josh Holmes, ahli strategi dan arsitek di balik terpilihnya kembali senator Mitch McConnell, seperti dikutip NYT.  

Koran ini selalu mendukung kandidat presiden dari Partai Demokrat dalam setiap pilpres di Negeri Paman Sam.

Saat masuk ke arena pertarungan merebut tiket capres Republik, Trump mengatakan bahwa imigran adalah pemerkosa dan pedagang obat bius. Dia juga menyerang kandidat Jeb Bush yang berbicara dalam bahasa Spanyol saat kampanye.  Menurutnya, Jeb seharusnya berbahasa Inggris. Serangan Trump terhadap Jeb Bush memicu kemarahan lebih luas di kalangan Republikan. Manajer kampanye Jeb Bush menganggap Trump ingin membunuh peluang Partai Republik. Trump juga bermasalah dengan jaringan televisi FOX ketika dia mengkritisi Megyn Kelly, presenter andalan TV yang pro Republikan.

Jadi, secara politik, bahkan di kalangan Partai Republik, Trump bagai duri dalam daging. Belum dianggap serius kecuali bahwa dia populer menurut survei. Ia belum resmi kandidat presiden.  

Sebagai pebisnis, dia menunjukkan minat serius untuk investasi di Indonesia. Setidaknya ini klaim dari pengusaha Hary Tanoesoedibjo saat mengumumkan kerjasama membangun resor di Bali.

Kebetulan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tengah ngos-ngosan mengundang investasi ke Indonesia yang ekonominya tengah melambat.  
SETYA NOVANTO. Ketua DPR Setya Novanto di acara kampanye Trump.

Maka, ketika saya melihat kontroversi di media dan media sosial mengenai kehadiran Setya Novanto dan Fadli Zon di acara Trump, saya melihat begitu kuatnya nuansa “belum move on” dari pertarungan pilpres 2014, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) — antara Prabower dan Jokower.  

Mayoritas pemberitaan menghajar kehadiran Setya Novanto dan Fadli Zon. Padahal ada sosok Edy Pratomo, utusan khusus Presiden RI bidang kemaritiman dalam acara di kantor Trump, bersamaan dengan pertemuan Setya dan Fadli Zon. Sekretaris Kabinet Pramono Anung membenarkan kehadiran Edy Pratomo di acara Trump, tapi membantah bahwa Edy mewakili kantor presiden. 

Menurut Pramono Anung, Edy hadir sebagai pribadi. Edy sempat mengajukan anggaran ke Seskab, tapi ditolak. Pakai dana pribadi atau dana siapa? Itu perlu diusut.

Tantowi Yahya mengatakan bahwa delegasi resmi DPR RI ke AS untuk menghadiri Forum Ketua Parlemen Sedunia yang diadakan Internatinal Parliamentery Union pada 31 Agustus – 2 September 2015. Kunjungan diperpanjang karena rombongan melakukan agenda tambahan.  

Tantowi Yahya mengaku sudah kembali ke Indonesia pada 4 September, karena tidak menjadi bagian dari agenda kunjungan Setya Novanto lainnya. 

Pagi ini saya bertanya ke Tantowi Yahya soal pembiayaan kunjungan 6 anggota DPR yang menyertai ketua DPR.   

“Yang delegasi resmi dibayar APBN karena sifatnya muhibah. Yang lain bayar sendiri dan di-handle Setya Novanto dari kocek pribadi,” kata Tantowi.  Setya Novanto dan Tantowi adalah anggota Partai Golkar.

Jadi, sebelum terlalu syur menggunakan pertemuan Setya dan Fadli dengan Trump sebagai “laga opini lanjutan” pasca pilpres, yang perlu dicek adalah:

Apakah perpanjangan kunjungan Setya Novanto dan Fadli Zon menggunakan dana APBN? Atau benar dari kocek pribadi sebagaimana disebutkan Tantowi Yahya? Saya setuju jika Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI mengusut soal ini. Hasilnya disampaikan ke publik

Posisi Edy Pratomo saat ikut bertemu Trump sebagai apa? Pribadi? Siapa mendanai kunjungan dia ke AS? Apakah dia mendapat izin dari kantor presiden atas kunjungannya ke AS? Apakah kantor presiden sebelumnya tahu bahwa dia akan ke AS termasuk bertemu dengan Trump?

Pagi ini saya mengontak Seskab Pramono Anung dan mendapatkan jawaban, “Utusan khusus hanya bertugas sesuai tupoksinya, kalau tidak lagi bertugas, kewenangan mengatur waktu menjadi kewenangan yang bersangkutan”.  

Kita menunggu apakah Presiden akan menindak Edy Pratomo atas kehadirannya di acara kampanye Trump.

Bagaimana dengan tata krama politik? Bukankah Setya Novanto seharusnya menempatkan diri sebagai ketua lembaga tertinggi negara yang harusnya tidak hadir di acara bernuansa kampanye itu? Apakah kehadiran pimpinan DPR dalam acara jumpa pers Trump itu bisa disebut “politically incorrect”?

Ini yang dibahas pengamat politik Azyumardi Azra dalam tulisan di koran Kompas. Menurut Azyumardi, dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement), mencerminkan sikap partisan. Jika tidak ingin disebut sebagai partisan, sebaiknya Setya sebagai ketua DPR RI juga bertemu dengan kandidat dari Partai Demokrat.  

Pertanyaannya, di kalangan Republik dan Demokrat ada lebih dari satu kandidat. Mana yang harus ditemui agar tidak disebut partisan? Pilihannya lebih baik tidak bertemu sama sekali. Tapi, sebagaimana pembelaan Fadli Zon, bertemu Trump dilakukan dalam rangka membahas investasi di Indonesia. Apakah ini juga politically incorrect?

Kontroversi pertemuan Setya-Trump diikuti isu dugaan pelanggaran etik. Sejumlah anggota DPR mengadukan Setya Novanto dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan DPR. Yang mengadukan mayoritas adalah anggota KIH: Budiman Sudjatmoko, Rieke Diah Pitaloka, Adian Napitupulu, dan Charles Honoris dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Lalu Maman Imanulhaq (F-PKB), Amir Uskara (F-PPP), Akbar Faizal (F-Partai Nasdem), dan Inas Nasrullah (F-Partai Hanura).

Menurut anggota MKD, Sjarifuddin Sudding, dua unsur pimpinan DPR RI itu diduga melanggar Peraturan DPR No. 1 tahun 2015 tentang Kode Etik, terutama mengenai integritas.  

Pada ayat 3 Pasal 1 tertulis bahwa anggota DPR harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR, baik di dalam gedung maupun di luar gedung.  

Sjarifuddin Sudding adalah anggota DPR dari Fraksi Hanura yang masuk dalam Koalisi Indonesia Hebat yang pro-Jokowi. Setya Novanto dan Fadli Zon dalah pentolan Koalisi Merah Putih.

Menurut saya, bakal seru perdebatan soal integritas dan merendahkan citra dan kehormatan DPR. Ini pasal karet. Bisa mulur-mungkret bergantung kekuatan tawar-menawar politik.

Apakah bertemu Trump melanggar etika? Merendahkan citra DPR?  

Apakah ada di acara jumpa pers salah satu kandidat presiden AS dan diperkenalkan sebagai ketua DPR RI, melanggar etika? Merendahkan citra dan kehormatan DPR?

Apakah menjawab pertanyaan Trump soal dirinya disukai atau tidak oleh orang di Indonesia, melanggar etika dan merendahkan citra dan kehormatan DPR?  Berapa banyak dari kita menggemari acara The Apprentice yang dibawakan oleh Trump?

Jika Setya Novanto dan Fadli Zon mengatakan hal yang tidak benar terkait kunjungan ke AS dan pertemuan dengan Trump, maka mereka bisa dikatakan melanggar etika. Tidak hanya sebagai unsur pimpinan DPR, tetapi juga sebagai manusia biasa dan politisi. Termasuk, apakah benar sebagaimana pernyataan Trump, bahwa, “kami berdua akan melakukan hal—hal besar untuk AS.”

Saya mau menambah deretan sikap dan tindak yang  bisa dianggap melanggar etika dan sebenarnya merendahkan citra DPR

Tertidur saat sidang-sidang DPR

Datang terlambat tanpa alasan jelas (misalnya ikut sidang di komisi lain atau rapat resmi) ke acara rapat kerja DPR.

Menyampaikan pertanyaan ke mitra kerja tanpa didasari data jelas (ini kalau di wartawan akan dianggap pertanyaan bodoh, kurang riset).

Menandatangani daftar hadir, datang rapat sebentar lalu pergi, dan tetap mengambil uang rapat.

Kunjungan kerja ke luar negeri dengan biaya mahal di saat ekonomi sedang melemah dan banyak rakyat alami pemutusan hubungan kerja. Tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat.

Meminta tambahan fasilitas di saat anggaran yang sebagian ditarik dari pajak rakyat seharusnya dikucurkan untuk sebesar mungkin ke rakyat yang melorot daya belinya

Tinggal di rumah pribadi karena kebetulan kaya, tapi tetap minta jatah anggaran untuk rumah dinas anggota DPR yang dibiarkan kosong.

Silakan tambahkan daftarnya menurut pembaca.

Itu daftar yang menurut saya potensial masuk dalam kategori dapat merendahkan citra dan  kehormatan DPR. Ada anggota DPR yang mau melaporkan hal di atas ke MKD?

Jelas, pimpinan DPR dan anggotanya harus belajar banyak dari kontroversi ini. Bagaimana membedakan posisi sebagai wakil rakyat, apalagi pimpinannya, dan dengan profesi asal termasuk pengusaha.  

Saya merasakan susahnya mengharapkan orang menerima kicauan saya di Twitter, apakah mewakili lembaga atau pribadi. Padahal jelas di bio saya menyebut tweet saya adalah personal.

Sebagaimana kuatnya desakan kepada DPR terutama pimpinannya agar memperbaiki kinerja dan menjaga wibawa lembaga, desakan kuat perlu disampaikan ke lembaga eksekutif.  

Di antara sosok yang membantu presiden Jokowi, masih saja berdebat di depan publik melalui media. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli masih bersikukuh bahwa proyek listrik 35.000 megawatt itu tidak mungkin dilaksanakan.  Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menjawab bahwa proyek itu jalan terus, karena, “proyek listrik 35.000 MW itu kemauan presiden. Berdasarkan kebutuhan.”  

Itu baru salah satu kontroversi di sisi eksekutif.

Gaduh. Gaduh. Gaduh.

Politically incorrect? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!