Belajar memanusiakan manusia di Q! Film Festival

Lewi Aga Basoeki

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Belajar memanusiakan manusia di Q! Film Festival
Q! Film Festival diputar di berbagai tempat di Jakarta dari 11 hingga 20 September 2015

Sebagai bagian dari generasi ’90-an, ada satu yang masih berbekas di dalam ingatan saya mengenai topik pembahasan toleransi di dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di bangku sekolah dasar. 

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya sudah seharusnya memiliki rasa toleransi dan menghormati orang lain yang berbeda suku, agama, ras serta antargolongan. Kenapa? Karena semboyan resmi negara ini, Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun kita semua berbeda-beda tetapi kita tetaplah satu kesatuan sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya menghadapi kenyataan bahwa kepelbagaian yang ada di Indonesia tidak hanya terbatas pada urusan SARA saja, tetapi juga untuk permasalahan kelamin dan orientasi seksual. 

Apakah kemudian konsep toleransi yang saya pelajari pada masa sekolah dasar itu tidak pantas untuk ditafsirkan secara luas, termasuk memiliki toleransi terhadap sahabat-sahabat yang memiliki ketertarikan seksual di luar konteks hetero-normatif atau kaum lesbian, gay, bisexual, transsexual, interseksual dan questioning (mempertanyakan orientasi seksual) atau LGBTIQ? 

Isu ini menjadi menarik diperbincangkan, baik di diskusi warung kopi ataupun media sosial, apalagi baru-baru ini setelah kampanye #LoveWins bergaung di Amerika Serikat. Serentak, orang-orang Indonesia kemudian menjadi fasih berbicara di dalam kerangka agama atau moral dengan tendensi menghakimi dan memaksa kaum LGBTIQ untuk kembali ke jalan yang lurus, entah jalan yang lurus versi yang mana. 

Bagi beberapa orang, tak ada lagi ruang untuk kata toleransi ataupun diskusi untuk isu semacam ini, karena bagi mereka yang ada di dunia ini hanyalah persoalan hitam dan putih, seperti laki-laki haruslah menikah dengan perempuan. Beruntung masih ada anak muda-anak muda Indonesia yang masih mau membahas isu ini dan membuka ruang diskusi dengan lebih mendalam dengan mengadakan festival film bertemakan LGBTIQ di Jakarta. 

‘100% Human’

'Paternity Leave', salah satu film yang diputar di Q! Film Festival 2015 di Jakarta

Kaum LGBTIQ juga adalah 100% manusia. Ini adalah salah satu tema yang diangkat di Q! Film Festival ke-14, satu-satunya film festival bertema LGBTIQ di negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. 

Menarik untuk dicatat kalau festival film ini telah berjalan secara konsisten selama 14 tahun, di tengah gempuran protes kelompok ekstrimis pada 2002, 2003, dan ancaman fisik pada 2010. 

Suatu prestasi yang begitu hebat untuk memberikan edukasi bagi kaum awam tentang komunitas LGBTIQ melalui pemutaran film-film tetapi juga mempromosikan toleransi, hak asasi manusia, dan kesadaran tentang bahaya HIV/AIDS serta perlindungan kaum minoritas dan perempuan. 

Festival ini memberikan gambaran yang menyeluruh bahwa kaum LGBITQ tidak hanya identik dengan hura-hura, menjadi obyek bahan tertawaan di acara televisi, atau kehidupan seks bebas. Ada spektrum lain yang menarik untuk disimak dan membuat kita memahami bahwa mereka juga adalah manusia dan bukan warga kelas dua. 

Tahun ini, lebih dari 110 film bertema LGBITQ dari 5 benua diputar. Festival ini juga kedatangan 7 tamu internasional untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai film-film yang ditayangkan. Tak hanya itu saja, ada beragam diskusi, konser musik, tes HIV/AIDS gratis, serta pasar barang mantan sebagai pelengkap dari festival yang berlangsung dari tanggal 11 – 20 September 2015 di Jakarta. 

Ada sesuatu yang progresif terjadi di Q! Film Festival dalam dua tahun belakangan ini, yakni dijadikannya Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, sebuah sekolah tinggi untuk mendidik calon pendeta gereja tertua di Indonesia, sebagai salah satu tempat pemutaran dan bahkan pembukaan festival pada tanggal 11 September kemarin. 

Banyak senyuman-senyuman yang terulas di Aula STT Jakarta saat Pdt. Stephen Suleeman menyatakan bahwa gereja di Indonesia harus memahami isu ini dan merangkul serta melindungi kaum LGBITQ. Pendapat yang sangat dinantikan untuk diperdengarkan di mimbar-mimbar khotbah. 

Festival film ini adalah tempat belajar bertoleransi versi dua, setelah yang pernah kita dapatkan di bangku sekolah dasar dulu. Belajar memahami bahwa toleransi tak hanya terbatas pada SARA tetapi juga perbedaan orientasi seksual pun harus mendapat tempat di dalamnya. Saat perbedaan tersebut tak lagi penting karena mereka juga adalah manusia.

Untuk mengetahui jadwal lengkap pemutaran film di Q! Film Festival, kunjungi laman Facebook-nya di sini. —Rappler.com

BACA JUGA:

  Lewi Aga Basoeki adalah seorang banking and finance lawyer. Ingin tahu cara pandangnya mengenai dunia? Ikuti kisahnya di www.lewiagabasoeki.blogspot.com dan follow Twitter-nya, @legabas.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!