Cara membesarkan anak laki-laki menjadi pria bermartabat

Shakira Sison

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cara membesarkan anak laki-laki menjadi pria bermartabat
Bagaimana jika kita mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa komitmen, kontrol terhadap hasratnya, dan menghormati sumpah orang lain adalah apa yang akan menjadikannya laki-laki sejati?

Semuanya bermula dari dalam rahim. Ketika melihat gambar kabur hasil USG, seorang ayah berteriak, “Lihat, anakku laki-laki yang sehat!”

Orang-orang dewasa di sekitarnya lalu mengelilingi cetakan gambar ini dan merasa antusias dengan penis yang mereka lihat di sana, menunjuknya, dan mengedarkannya. Si ayah dan ibu kemudian berbicara dalam nada yang akan konsisten terdengar sepanjang hidup anak ini: Kamu memiliki penis. Kamu harus bangga.

Sang anak pun lahir. Semua mata tertuju pada tanda kejantanan yang akan mengubah segalanya, dari potensi memperoleh warisan hingga struktur keluarga. Ayah dan ibu kemudian memvisualisasikan bagaimana sang anak akan berbagi kesukaan akan olahraga yang sama, bermain tangkap bola, dan berlatih naik sepeda bersama orangtua.

Di tempat lain, seorang anak perempuan lahir dan atmosfer keraguan muncul. Muncul kalimat, “Anakku seorang perempuan”, yang dilanjutkan dengan berbagai ucapan tentang bagaimana anak itu harus dilindungi dari dunia di sekelilingnya, dan lebih lagi, dari fakta bahwa dia adalah seorang perempuan.

Tapi untuk anak laki-laki, “Anakku laki-laki, aku tak akan kehilangan apa-apa” 

Seorang anak laki-laki tumbuh dengan memainkan senapan dan pedang, serta menghancurkan mobil mainan. Ia diajarkan bahwa boneka adalah untuk mereka yang kurang jantan dan bermain rumah-rumahan itu bodoh. Lebih parah lagi, mereka diberitahu bahwa pekerjaan rumah dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan.

Kita juga membuat aktivitas mengejar dan mendekati perempuan menjadi tanda kejantanan bagi seorang laki-laki. Berapa perempuan yang telah kamu jadikan pacar? Sudah berapa kali kamu mencium perempuan? Berapa perempuan yang sudah kamu lihat pakaian dalamnya? Dan berapa perempuan yang sudah kamu sentuh?

Kita kerap tertawa ketika seorang anak laki-laki bercerita tentang keberhasilannya mendekati seorang perempuan. Kita tak memikirkan tentang sang perempuan.

Permainan para penakluk

“Kamu sudah pacaran sampai mana? Sudah home run?”

Kita bertanya kepada laki-laki seolah proses menaklukkan seorang perempuan adalah sebuah permainan. Namun, kita memberi stigma kepada perempuan yang tak lagi perawan bahwa mereka adalah “gampangan” dan seorang pria baik-baik seharusnya meninggalkan mereka.

Anak laki-laki muda ditanya oleh ayah mereka, “Apakah kamu sudah pernah bermasturbasi?” Mereka diberitahu bahwa masturbasi bisa membuat mereka bertambah tinggi, bahwa hal tersebut adalah kenyataan hidup, dan bahwa mereka memang memiliki hasrat tak terkontrol yang membuat mereka tak ubahnya seperti hewan ketika sedang berurusan dengan nafsu. 

Tapi seorang anak perempuan, ia harus tetap suci. Dia harus tetap tak tahu apa-apa tentang tubuhnya. Dia tak boleh mengeksplorasinya sampai dia tumbuh dewasa dan menikah. Dia tak boleh mencari sentuhan laki-laki sampai ia dibalut busana pengantin dan ayahnya memberi izin.

Berperilaku sebaliknya, maka seorang perempuan akan dicap sebagai perempuan yang tak dibesarkan dengan baik. Mengikuti kata hati akan mendatangkan penghakiman baginya. Perilaku tak senonoh yang diterima seorang perempuan adalah salahnya, karena tak berpakaian cukup tertutup. Lagipula ereksi dianggap sebagai kodrat seorang laki-laki! 

Anak laki-laki akan tetap menjadi anak laki-laki

Selanjutnya si anak itu akan beranjak dewasa, sebuah episode yang akan banyak diwarnai oleh alkohol dan testosteron, serta kunjungan ke klub malam dan pijat plus-plus. Ketika dipertanyakan, malam-malam itu dengan mudah dijustifikasi sebagai “hanya bersenang-senang”.

“Kamu punya pacar?” mereka akan bertanya. “Ambil keperawanannya,” begitu anak laki-laki diberitahu, dengan mengubah “keperawanan” menjadi kata benda untuk menggarisbawahi bagaimana keadaan tersebut bisa dipindahkan. Sebagai konsekuensinya, sang perempuan akan menjadi “terikat”. Seberapa sering kita mendengar “hamili dia agar dia terikat padamu”?

Bahkan anak laki-laki akan mendengar ibu mereka sendiri membuat alasan tentang suaminya yang sedang merayu perempuan lain. “Laki-laki akan selalu menjadi anak laki-laki (boys will be boys),” kata mereka. Bukannya meminta sang suami bertanggungjawab, mereka akan menyerang sang perempuan yang dijadikan selingkuhan oleh suaminya. Sedangkan sang suami hanya “sedang menjadi laki-laki”.

Lalu mengapa kita heran dengan paksaan seksual atau kurang sensitifnya emosi seorang laki-laki?Ketika mereka dinilai berdasarkan petualangan seksualnya (dan bukan kedalaman perasaan mereka terhadap pasangannya), apa yang mereka pelajari tentang seks dan cinta? 

Ketika anak laki-laki kita diajarkan untuk tidur dengan beberapa perempuan yang berbeda — dan hanya menikah dengan satu perempuan yang masih perawan — apakah mengejutkan ketika mereka mencari kesenangannya di luar? Ketika kejantanan dikaitkan secara erat dengan seks dan aktivitas mengejar perempuan, apakah akan mengherankan jika dia kemudian menolak menghargai istrinya? 

Bukankah situasinya akan berbeda ketika kita mendefinisikan kejantanan sebagai rasa hormat terhadap semua perempuan (dan bukan hanya terhadap ibu, saudara perempuan dan istri)?

Bagaimana jika kita mengajarkan kepada anak laki-laki kita bahwa komitmen, kontrol terhadap hasratnya, dan menghormati sumpah orang lain adalah apa yang akan menjadikannya laki-laki sejati?

Bagaimana jika menjadi seorang laki-laki artinya adalah mampu mendukung keluarganya, bahkan jika ini termasuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Betapa hebatnya jika menjadi ayah yang baik dan sangat mencintai anaknya dinilai lebih berharga daripada sekadar menjadi ayah secara biologis.

Bagaimana jika anak laki-laki kita belajar bahwa pengalaman seksual terbaik adalah yang berakar secara mendalam pada cinta? Bagaimana jika kita membesarkan laki-laki yang justru merasa terhina ketika mereka tak mampu mengendalikan hasratnya, bukannya tersanjung. 

Dunia ini berubah, jadi mungkin laki-laki masa depan akan menjadi lebih progresif, lebih hati-hati, dan menjunjung kesetaraan, serta lebih menghargai pendapat dan kepuasan perempuan. Mungkin beberapa faktor pendorong eksternal juga akan berubah, seperti seorang tokoh atau sebuah acara televisi akan lebih banyak mengajarkan anak-anak kita tentang seks yang dilandasi cinta, bukan sekadar casual sex

Tapi bagaimana jika mereka tak seberuntung itu, dan mereka melanjutkan hidupnya dengan apa yang mereka pelajari dari ayah, paman dan ibunya serta ya, bahkan dari kita?

Apakah Anda akan terkejut bahwa inilah cara anak laki-laki kita membesarkan anaknya nanti? —Rappler.com

BACA JUGA:

Shakira Andrea Sison adalah penulis esai yang telah dua kali menjadi pemeang Palanca Award. Saat ini ia bekerja di bidang keuangan dan menghabiskan waktu di luar pekerjaannya untuk menulis cerita sambil melakukan perjalanan dengan kereta bawah tanah.

Latar belakang pendidikan Shakira adalah kedokteran hewan dan sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan ritel di Manila, sebelum dipindahkan ke New York pada 2002.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!