Kenapa saya belum berminat pergi haji

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa saya belum berminat pergi haji

EPA

Starbucks dan Burger King, tempat 'ibadah' baru di Mekah

Tanah suci Mekah,  31 Desember 2005. Foto oleh EPA  

Pekan lalu, ibu saya mengunjungi Jakarta. Ia berkata, “Kamu ingin umroh, enggak?” katanya.

Tawaran ini sudah yang kesekian kalinya. Saya cuma mengernyit, pertanda tidak sedang bersemangat membahas hal itu. 

Tentu saja itu diucapkan pada saya sebelum musibah Masjidil Haram yang terjadi pada Jumat, 11 September, kemarin. 

Saat itu di benak saya belum ada kata yang pas untuk mengungkapkan perasaan pada ibu saya, bahwa saya tidak ingin ke Mekah — setidaknya untuk saat ini. 

Tapi pernyataan yang saya simpan dalam hati ini sudah saya pendam selama bertahun-tahun. Sebaliknya saya malah bertanya, “Kenapa saya harus ke Mekah?” 

Perintah agama atau panggilan hati? 

<Seorang pengungsi anak sedang digendong oleh ibunya di Dietrich-Keuning House di Dortmund, Jerman, 13 September 2015. Foto oleh Maja hITIJ/EPA

Lupakan kemalasan saya pergi ke Mekah. Tapi cobalah bertanya pada teman atau keluarga Anda. Kenapa mereka ingin pergi ke Mekah? Apakah mengikuti perintah agama atau panggilan hati? 

Jika ia menjawab perintah agama, maka dia mungkin menganggap perjalanan ke Mekah sebagai kewajiban yang harus dibayar lunas. Penganut jawaban ini adalah orang yang, menurut saya, menempatkan ibadah di atas segalanya.  

Jika ia menjawab panggilan hati, saya akan tertarik bertanya kembali padanya: Benarkah ini panggilan hati? 

Ada sebuah ayat yang saya ingat tentang tetangga dari HR Bukhari.

Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah termasuk orang mukmin, yang dirinya kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar yang menimpa kedua sisi perutnya.”

Sekali lagi, saya tidak suka membahas ayat, apalagi hadis. Tapi kali ini bolehlah sedikit.  

Pesan yang ingin disampaikan Nabi mungkin adalah, kita tidak boleh egois dan memikirkan diri sendiri. Tetapi kita harus punya empati pada tetangga dan saudara kita, seagama maupun tidak seagama. 

Ada suatu kisah Nabi yang pernah diceritakan oleh guru ngaji waktu saya kecil dulu. Nabi pernah memiliki tetangga seorang Yahudi yang buta. Setiap hari Nabi mengunjunginya dan merawatnya.

Tapi setiap hari juga nabi dicerca olehnya. Hingga tetangga itu wafat, Nabi masih mengasihinya.  

Sungguh mulia, bukan? 

Sementara itu, jika saya melihat hari ini, kita telah keluar dari nilai-nilai keteladanan beliau. Tidak percaya? Ingin bukti? 

Anda bisa nyalakan TV sekarang dan pilih channel mana saja. Atau buka ponsel Anda dan lihat timeline di Twitter atau Facebook. 

Linimasa sedang ramai dihiasi oleh gambar-gambar para pengungsi dari Suriah, Irak, dan Iran. Jumlahnya bukan ribuan, jutaan. 

Tahukah Anda mengapa mereka berbondong-bondong mengungsi? Karena negara mereka tidak stabil alias dilanda perang. Ada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di sana, yang memporakporandakan tempat tinggal mereka. 

Bom turun bagai butiran hujan. Peluru nyasar menyambar seperti debu yang menempel di kaca mobil. 

Tidak ada tempat yang aman untuk mereka, karena itu mereka harus mengungsi. 

Ingat foto di bawah ini? Ya, foto seorang anak Suriah yang terdampar di sebuah pantai di Turki ini masih membuat saya terpukul jika melihatnya sekali lagi — dan lagi.

TENGGELAM. Seorang polisi Turki membawa tubuh anak imigran asal Suriah di pantai di Bodrum, daerah selatan Turki, pada 2 September 2015. Perahu yang ditumpangi anak ini tenggelam dalam perjalanan menuju ke Pulau Kos, Yunani. Foto oleh Dogan News Agency/AFP

Jauh sebelum itu juga ada pengungsi lainnya, yakni ratusan pengungsi Rohingya yang terdampar di sebuah pantai di Aceh. Kebetulan saya dikirim oleh Rappler untuk meliput di sana. 

Baca liputan saya tentang Rohingya di sini. 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana saudara-saudara sesama Muslim kita berjuang untuk menyeberangi lautan demi mendapatkan tempat yang aman. 

Sayangnya, tidak semua negara yang mereka tuju, yang notabene penduduknya mayoritas Islam, mau menerima mereka.  

Kejadian demi kejadian yang saya alami sejak Januari awal tahun ini membuat hati saya ditempa untuk menjadi lebih keras pada orang-orang yang tidak peduli pada sesamanya. 

Siapa saja mereka? Negara Arab yang tidak peduli, negara Eropa yang menolak pengungsi, hingga negara-negara di Asia Tenggara yang lebih mementingkan diplomasi ketimbang nyawa seorang bayi Rohingya yang terkatung-katung di tengah laut selama 90 hari.  

Mekah menuju kota metropolis, beneran cari ketenangan?  

Kembali ke Mekah. Di tengah duka dan tragedi para pengungsi, bukan rahasia lagi, negara-negara Arab sibuk menghias kota suci Mekah.  

Jemaah haji sedang berbelanja di Mekah, Arab Saudi, 4 Desember 2008. Foto oleh Jamal Nasrallah/EPA

Proyek pembangunan Mekah menjadi kota metropolis ini bukan isapan jempol. Paling tidak ketika Anda lihat banyaknya crane yang menjulang ke langit-langit Masjidil Haram. 

Tak perlu berdebat soal crane, tapi cobalah tengok Mekah dari sudut pandang orang-orang yang pernah singgah ke sana. 

Seperti yang ditulis oleh seorang jemaah asal Amerika Rachel Lowry dan Michael Muhammad Knight

Dua blog ini membuka mata saya lebar-lebar. Oh Tuhan, saya baru tahu kalau tak jauh dari Masjidil Haram sudah ada Burger King dan Starbucks. Hello, World! 

Simak dua kutipan ini untuk lebih jelasnya: 

In the film, Sharma comments on Mecca’s growing commercialization, calling it the ‘Mecca of capitalism.’ After prayer rituals at a holy site, he finds himself in a crowded Starbucks at a huge adjoining shopping mall,” tulis Lowry. 

In the city where people literally heaped camel intestines on Muhammad’s head, how can I cry about its lost innocence now that it has a Burger King?” tulis Knight. 

Knight bahkan mengungkap di tulisannya tentang sosialita Amerika Serikat Paris Hilton yang membuka toko di Mekah. 

Mekah yang saya bayangkan waktu masih kecil adalah: Gurun pasir, batu, tembok, debu. 

Realitanya, Mekah seperti sebuah pusat berbelanja kelas dunia yang dibalut atas nama tanah suci. Enggak percaya? Kunjungi saja websitenya. 

Mekah bagi saya bukan lagi tempat yang ingin saya kunjungi. Mungkin bukan salah Mekah.

Mungkin salah tiang-tiang penyangga, mungkin salah keramik-keramik yang berkilauan di setiap petak lantai, mungkin juga salah tembok-tembok supermall yang berdiri tegap dan gagah di sebelah bangunan kotak hitam bernama Kabah. Hingga kota itu kehilangan ruhnya. 

Mungkin juga salah kita yang salah mengartikan bahwa berpergian ke Mekah adalah harga mati, hingga kita pun tidak peduli akan nasib saudara sendiri yang mengungsi, dan sibuk mengumpulkan investasi di tanah suci, sehingga kita tak lagi punya empati. 

Mungkin kalimat penutup dari Lowry ini cukup mewakili isi hati saya: 

“If you seek a magical time in which you find total peace and momentarily escape the ugly shit of this world, forget hajj, because what you want is a vacation. Seriously, because the experience that you’re really after is closer to just getting baked for three weeks. —Rappler.com

BACA JUGA:

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @FebroFirdaus.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!