6 hal yang perlu diketahui soal kemiskinan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

6 hal yang perlu diketahui soal kemiskinan

EPA

BPS melansir angka kemiskinan. Ada tambahan 860.000 orang miskin. Adanya menteri desa tak cukup mengerem laju kemiskinan di desa.

JAKARTA, Indonesia — Sepenggal tempe, yang bisa diiris jadi 10 potong, harganya di pasar tradisional sekitar Rp 6.000 – 7.000 rupiah. Ikan atau telur untuk makan satu rumah tangga dengan empat sampai lima anggota keluarga, harganya sekitar Rp 20.000.   

Ditambah harga sayur yang belakangan mahal, dan beras, serta bumbu-bumbu, maka setiap hari pengeluaran untuk makan satu keluarga kecil adalah Rp 50.000 – Rp 70.000 an. Jika hanya satu yang bekerja, dengan gaji sekitar Rp 3 juta per bulan, maka pengeluaran makan mendominasi pendapatan.  

Jumlah ini bisa naik-turun bergantung di mana keluarga itu tinggal. Di kota besar harga makanan lebih mahal. Itu belum termasuk biaya transportasi, biaya sekolah dan sewa/biaya rumah.  

Baju baru? Tunda dulu, siapa tahu ekonomi membaik di tahun 2016, seperti janji pemerintah.  Sebagai ilustrasi, upah minimum regional (UMR) Jakarta 2015 adalah Rp 2.693.000. 

Harga bahan pangan mahal, daya beli menurun. Itu yang menjelaskan mengapa jumlah orang miskin bertambah. Ini data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Selasa, 15 September.  

Ada 6 pokok penjelasan kepala  BPS Suryamin  soal situasi kemiskinan yang terjadi saat ini.

1. Pada Maret 2015, jumlah penduduk miskin — penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan — di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). 

Garis Kemiskinan menurut BPS adalah jumlah minimum rupiah yang harus   dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan setara dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.

2. BPS juga mengumumkan bahwa persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 persen, naik menjadi 8,29 persen pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015.

3. Selama periode September 2014–Maret 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,29 juta orang (dari 10,36 juta orang pada September 2014 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2015), sementara di daerah perdesaan naik sebanyak 0,57 juta orang (dari 17,37 juta orang pada September 2014 menjadi 17,94 juta orang pada Maret 2015).

4. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 tercatat sebesar 73,23 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2014 yaitu sebesar 73,47 persen.

5. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, di antaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, tahu, dan kopi. 

Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan di antaranya adalah biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.

6. Pada periode September 2014–Maret 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung mengalami kenaikan.

Data yang dilansir BPS itu sebenarnya tidak mengejutkan. Kemarau panjang mempengaruhi kondisi ketersediaan pangan. Begitu juga kebijakan harga pangan yang ditetapkan pemerintah, termasuk heboh setuju tidak setuju impor pangan, membuat harga beberapa bahan pangan sempat naik 

Ernan Rustiadi, ekonom pertanian dari Institut Pertanian Bogor mengatakan bahwa data yang dilansir BPS harus ditanggapi dengan kebijakan pangan yang tepat.  

“Laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, di tengah banyaknya anggaran yang disalurkan untuk mengatasi kemiskinan. Sejak era SBY ini sudah terjadi. Makanya sekarang jargon terkait kemiskinan melunak. Dari pemberantasan kemiskinan ke penurunan angka kemiskinan,” kata Ernan.

Paradigma pembangunan pertanian harus diperbaiki. 

“Bukan sekedar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kecukupan pangan, tetapi juga memastikan harga pangan terjangkau,” kata Ernan.  

Distribusi dan logistik menjadi penting.

Harga pangan selalu menjadi komponen terbesar dalam pengukuran tingkat inflasi dan menekan daya beli.

Besarnya kenaikan orang miskin di kota juga akibat paradigm pembangunan yang perlu dikoreksi.  

“Kita harus fokus menangani kemiskinan pedesaan, karena menurut survei nasional dua pertiga dari penduduk miskin ada di pedesaan,” kata Ernan.  

Jika di desa ada pekerjaan dan penghasilan yang layak, mereka tidak akan pergi ke kota.  

“Ada menteri desa, seharusnya ini menjadi jaminan menurunnya angka kemiskinan di desa,” kata Ernan Rustiadi. — Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!