Memberi Munir arti: Impunitas dan sulitnya memperjuangkan keadilan

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memberi Munir arti: Impunitas dan sulitnya memperjuangkan keadilan

EPA

Belakangan sosok Munir, seperti Wiji Thukul, membuat saya bertanya. Bisakah kita latah ikut tren pada budaya populer namun tidak pada kampanye kemanusiaan?

Bagaimana semestinya kita memaknai perjuangan Munir Said Thalib? Apakah dengan ikut berjuang turun ke jalan menuntut kasus pelanggaran HAM? Apakah dengan ikut mengganti avatar kita di media sosial ketika datang hari peringatan kematian Munir? 

Atau lebih dari itu, berhenti menengok ke belakang dan menatap ke depan untuk memperbaiki bangsa? Pada setiap orang pemaknaan berjuang akan sama sekali berbeda, apalagi bagaimana kita memaknai sosok Munir.

Bagi saya Munir lebih dari sekedar individu atau tokoh yang diberhalakan sebagai pejuang hak asasi manusia. Ia semestinya sudah menjadi adjektif atau sinonim pada perjuangan HAM. 

Agak mustahil bagi saya bicara tentang hak asasi manusia tanpa menyertakan nama Munir. Konsistensi, integritas, dan perjuangan almarhum untuk hak asasi manusia bisa membuat beberapa pecundang pelanggar HAM di negeri ini sampai harus bertindak pengecut dengan membunuhnya menggunakan racun.

Mengenang Munir memang bisa jadi problematik. Di satu sisi glorifikasi membuat perjuangan Munir melawan impunitas menjadi tereduksi dengan sosoknya yang dibuat populer, namun di sisi lain, isu HAM yang dulunya tidak seksi, membosankan, dan seram bisa menjadi keseharian yang diperbincangkan banyak kalangan. 

Belakangan sosok Munir, seperti juga Wiji Thukul, membuat saya bertanya. Bisakah kita latah ikut tren pada budaya populer namun tidak pada kampanye kemanusiaan?

Saya kira generasi hari ini memiliki hutang terhadap Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul. Mereka adalah orang-orang yang bersuara keras memperjuangkan kebebasan berpendapat, keadilan bagi buruh, dan juga jaminan atas hak asasi manusia. 

Tapi sejauh mana Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul dikenal? 

Sejauh ini mereka dikenal sebagai sosok poster yang muncul berkala di beberapa acara. Sosok mereka dikomodifikasi sebagai ikon populer sehingga nilai perjuangan mereka tereduksi.

//

Selamat Ultah, Wiji Thukul (26 Agustus 1963-?), telat nih:#Doraemonhariini

Posted by Indonesian Socialist Youth on Wednesday, August 26, 2015

Maksud saya begini, beberapa hari terakhir beredar komik Doraemon yang bercerita tentang Wiji Thukul. Dalam komik itu secara tersirat muncul ajakan untuk berhenti mengutip dan latah mengenang Wiji Thukul. Karena masih menurut komik itu, lebih baik memikirkan masa depan daripada terjebak masa lalu. 

Komik itu mungkin berniat baik. Sebaik niatan mantan Menko Polhukam Tedjo Edi Purdijatno yang pernah berkata:

“Yang lalu kan sudah, rekonsiliasi ini akan kita lanjutkan. Jangan mundur lagi ke belakang. Negara perlu makmur ke depan, bukan hanya mencari salah di sana-sini. Jadi ayo perbaiki bangsa ke depan.”

Saya pribadi menilai komik itu bermasalah dalam level bahasa. Seolah mereka yang mengenang Munir atau Wiji Thukul, sekedar latah ikut tren. Barangkali mereka benar, kepedulian bisa jadi sekedar ikut-ikutan, tapi kalau ikut-ikutan memangnya kenapa? 

Memangnya tidak boleh ikut-ikutan untuk menuntut penghapusan impunitas? Atau ikut ikutan menuntut keadilan bagi korban kejahatan HAM? Atau menuntut penyelesaian kasus Munir?

//

Berikut balasan @arman_dhani perihal suatu wacana yang tengah hangat diperbincangkan; dalam wujud editan tandingan.

Posted by Doraemon Hari Ini on Sunday, September 6, 2015

7 September lalu menjadi peringatan bahwa Munir telah mati terbunuh selama 11 tahun. Sayang hingga hari ini masih belum ada penyelesaian yang memuaskan kelompok pembela hak asasi manusia. 

Beberapa kelompok pejuang HAM seperti Kontras dan istri almarhum Munir, Suciwati, menganggap belum ada tindakan tegas untuk mengusut secara terang siapa dalang di balik pembunuhan Munir.

Presiden Joko Widodo yang ketika berkampanye mengaku berkomitmen untuk penegakan HAM kembali didesak untuk mengangkat kasus tersebut, hal ini dengan membentuk sebuah tim khusus untuk melakukan investigasi. 

Jika negara enggan atau takut untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, seharusnya warga masyarakat patut curiga. Ada apa sebenarnya? Jokowi pribadi mengatakan bahwa penyelesaian kasus HAM merupakan prioritas pemerintahannya.

Jika pemerintah lupa, sebagai warga negara, kita berhak dan wajib menuntut juga mengingatkan. Atau mungkin isu HAM bukanlah sesuatu yang seksi sehingga ia mesti dipinggirkan. 

Sayang, harapan untuk menuntut penyelesaian kasus HAM itu makin sulit terwujud di pemerintahan Jokowi. Ini bisa kita ukur dari pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo justru menganggap bahwa kasus Munir telah selesai

Alasannya, Prasetyo menilai tersangka pembunuhan, yaitu pilot non-aktif Garuda Indonesia Pollycarpus telah dihukum, sehingga dia menilai kasus ini pun tak perlu diangkat kembali.

Poster peringatan hari kematian Munir pada 7 September. Gambar dari nobodycorp.org/

Komitmen Jokowi terhadap hak asasi manusia memang terus diuji. Beberapa kasus pelanggaran HAM kerap kali berakhir tanpa adanya tindakan tegas atau bahkan keadilan.

Kasus Paniai di Papua, penindasan kelompok minoritas seperti Syiah di Sampangm dan Ahmadiyah di Lombok, sampai mereka yang diusir karena pembangunan seperti Jatigede dan Rembang. Sejauh ini Jokowi masih diam, malah pemerintah kerap mengambil posisi sebagai penindas.

Gejala pembiaran dan impunitas tercermin dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan pelaku kasus pembunuhan Munir sudah semestinya tidak perlu dibahas lagi. Alasannya kasus tersebut sudah selesai dengan pemenjaraan orang yang diduga membunuh munir. 

Menurut Kalla, keputusan terkait pihak yang bersalah dalam kasus pembunuhan tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Maka itu, LSM tak berhak menentukan tersangka yang dianggap pelaku pembunuhan.

“Yang tentukan itu pengadilan bukan LSM. Pengadilan putus begitu, bagaimana? Ini bukan negara LSM, tapi negara hukum,” kata Kalla.

Perjuangan menuntut keadilan memang akan susah dilakukan ketika kebebalan menjadi keseharian. Seseorang akan sulit bicara perihal perjuangan, jika seluruh hak yang ia miliki terberi dan aman. 

Memperjuangkan penyelesaian kasus HAM seperti pada Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul hanya bisa terjadi ketika masyarakatnya sadar akan keadilan dan kemanusiaan. Mustahil bicara tentang keadilan jika impunitas masih dilanggengkan.

Menuntut keadilan dan menghapus impunitas semestinya kewajiban bagi mereka yang berpikir dan memiliki hati nurani. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!