Meninggalkan Islam: Bagaimana saya menjadi Ateis

Aditya Nandiwardhana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Meninggalkan Islam: Bagaimana saya menjadi Ateis
‘Sebanyak apapun hal baik yang kamu lakukan, jika kamu bukan Muslim, maka itu akan sia-sia. Bahkan sejak dulu, saya sulit menerima hal tersebut’

“Di akhirat, hanya Muslim yang bisa masuk surga.”

Hal tersebut diajarkan oleh guru mengaji saya saat masih duduk di kelas 4. Saat itu saya sangat, sangat terkejut.

Saya dibesarkan sebagai Muslim, dan seperti anak Muslim lainnya di negeri ini, saya harus belajar membaca Al-Qur’an. Ayah memanggil guru mengaji ke rumah tiga kali dalam seminggu. Tidak hanya belajar membaca Qur’an, beliau juga mengajarkan tentang Islam secara umum dan tentang apa yang Islam ajarkan pada kita (tentu saja, Islam menurut versinya).

Salah satu hal yang saya pelajari darinya adalah bahwa masuk surga bagi seorang Muslim merupakan hak istimewa. Sebanyak apapun hal baik yang kamu lakukan, jika kamu bukan Muslim, maka itu akan sia-sia.

Bahkan sejak dulu, saya sulit menerima hal tersebut.

Jadi, saya lahir dalam tradisi Muslim karena ayah saya seorang Muslim. Tapi Islam bukan satu-satunya tradisi dalam hidup saya.

Ibu saya adalah seorang Katolik, bahkan seorang yang taat menurut saya. Saat saya masih kecil, saya sering menghabiskan waktu bersama kakek dan nenek dari pihak ibu. Pada saat itu, saya diasuh mereka karena kedua orang tua saya bekerja.

Ada banyak sekali ornamen Katolik di rumah mereka — salib di dinding, patung Bunda Maria, lukisan para santa, dan lain sebagainya. Mereka juga menceritakan kisah tentang Yesus kepada saya, dan saya menyukai kisah tersebut.

Saat bersama ayah, beliau sering mengajak saya salat berjamaah. Tentu saja saya tidak tahu bagaimana cara salat, sehingga saya hanya mengikuti gerakannya.

Itulah kehidupan masa kecil saya. Saya selalu sadar bahwa orang tua saya memiliki latar belakang agama yang berbeda. Saya sama sekali tidak bermasalah dengan hal tersebut. Saya juga tahu ada beragam agama di luar sana dan merasa semuanya sama benarnya dengan yang saya percaya.

Pada saat itu saya telah mengidentifikasikan diri saya sebagai Muslim. Setiap ada yang bertanya apa agama saya, saya akan menjawab: Islam.

Saya tidak pernah berpikir bahwa agama saya lebih baik dari agama yang lain. Hingga guru mengaji saya mengajarkan sebaliknya.

Menjadi agnostik

Saya rasa hal tersebut merupakan awal dari perjalanan saya menjadi Ateis-Agnostik.

Saya bermasalah pada doktrin bahwa Islam lebih baik dari agama yang lain, bahwa hanya Muslim lah yang dapat masuk surga setelah kiamat nanti.

Saya sangat menyayangi kakek dan nenek saya, dan saya merasa sangat tidak adil apabila orang sebaik mereka harus masuk neraka hanya karena mereka percaya pada Tuhan dengan cara yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin sering mempertanyakan hal-hal lainnya dalam Islam, seperti peranan perempuan dalam pandangan tradisional Islam dan hak kaum LGBT. Tapi saya juga takut untuk mempertanyakan hal tersebut lebih jauh karena tidak memiliki keraguan dalam keimanan saya dan kemudian masuk neraka.

Saya tetap beribadah sebagai Muslim hingga tahun kedua kuliah. Sejak saat itu saya berhenti salat, berhenti datang ke masjid setiap hari Jum’at, dan berhenti berpuasa pada bulan Ramadan. Saya tidak lagi mengaku sebagai Muslim, tetapi bukan juga Ateis. Saya masih percaya dengan “kekuatan yang lebih tinggi.” Namun pada saat itu saya sudah murtad.

Saya tidak terbuka tentang pemikiran saya kepada keluarga. Saat pertama kali berhenti sebagai Muslim, saya tinggal di sebuah kost di Yogyakarta, sedangkan keluarga saya di Jakarta. Namun setiap saya pulang, saya akan berpura-pura bahwa saya masih seorang Muslim.

Saya berusaha untuk keluar rumah setiap mendekati waktu salat karena saya tidak ingin salat berjamaah dengan ayah. Tentu saja hal tersebut tidak selalu dapat saya hindari, terkadang saya terpaksa harus berpura-pura salat.

Ramadan merupakan tantangan terbesar bagi saya. Saya harus berpura-pura berpuasa dan berpikir bagaimana membawa makanan ke kamar tanpa ketahuan. Setiap saya kembali ke Jakarta saat liburan tiba, saya selalu tidak sabar untuk segera kembali ke Yogyakarta.

Mencari tahu Buddhisme

Saya mulai tertarik mempelajari Buddhisme pada tahun pertama saya murtad. Saya banyak membaca buku mengenai Buddhisme dan berkunjung ke kuil di dekat tempat kost untuk mengetahui lebih banyak. Dulu saya bermeditasi secara teratur, dan sedang berusaha untuk kembali melakukannya.

Sebagian besar Ateis yang saya kenal dari Facebook adalah orang-orang yang arogan, militan, dan hal tersebut juga mempengaruhi saya.

Saya sangat tertarik pada Buddhisme untuk sementara waktu, hingga saya menjadi skeptis pada hal-hal gaibnya. Hingga sekarang saya masih merasa Buddhism memiliki arti spiritual yang indah. Bahkan mungkin saya bisa dikatakan sebagai Buddhis-Ateis atau Buddhis-liberal. Saya hanya merasa sulit menerima aspek gaib dari Buddhism, dan hal-hal gaib apapun secara umum.

Yang memunculkan sikap skeptis saya terhadap hal gaib adalah karya Richard Dawkins dan para figur Ateis terkemuka dalam gerakan Ateis Baru. Saya membaca buku The God Delusion dan juga menonton pidatonya di YouTube.

Sebagai informasi, Buddhisme bukanlah agama tak ber-Tuhan. Jadi, bahkan sebelum saya menjadi Ateis sepenuhnya, saya sudah bermasalah dengan konsep Tuhan antromorfik (anthromorphic god).

Salah satu hal yang membuat saya tertarik mempelajari Buddhisme adalah bahwa Buddhisme tidak percaya tentang konsep Tuhan seperti itu. Saat saya menjadi tertarik pada Ateis Baru, saya semakin skeptis terhadap hal gaib apapun, dan termasuk aspek gaib dalam Buddhisme.

Kemudian, saya menjadi Ateis.

Menjadi Ateis

Menjadi Ateis bukanlah keputusan yang saya sadari. Saya tidak bangun pada suatu hari dan berkata, “Sepertinya saya ingin menjadi Ateis!”

Saya tidak ingat kapan pastinya saya menyadari bahwa saya telah menjadi Ateis. Menjadi seorang Ateis merupakan hasil dari proses pemikiran panjang dan pengalaman hidup saya. Saat saya menyadari bahwa saya adalah seorang Ateis, saya bergabung dengan grup Ateis Indonesia di Facebook.

Saat saya mengaku sebagai Ateis untuk pertama kalinya, saya sedang tertarik dengan gerakan Ateis Baru. Ya, saya merupakan bagian dari Ateis tersebut, dan agak malu karenanya. Saya hampir menjadi Islamofobik, terutama karena saya murtad sehingga saya terganggu dengan hegemoni Islam di Indonesia, dan juga karena saya harus berpura-pura menjadi Muslim di depan keluarga saya.

Sebagian besar Ateis yang saya kenal dari Facebook adalah orang-orang yang arogan, militan, dan hal tersebut juga mempengaruhi saya.

Ketertarikan saya pada kelompok kiri, terutama pada anarkisme, yang akhirnya membuat saya meninggalkan kelompok Ateis Baru. Saya menyadari bahwa para tokoh Ateis Baru seperti Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher Hitchens merupakan imperialis apologis Amerika. Saya juga mempelajari tentang feminisme, dan kemudian berpikir bahwa Dawkins merupakan seorang yang anti-feminis.

Sekarang saya adalah seorang Ateis-Agnostik. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada Tuhan di dunia ini, saya hanya meragukan keberadaan-Nya. Akan tetapi, saya adalah Ateis yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya sibuk berdebat mengenai keberadaan Tuhan, saya lebih tertarik membahas tentang isu-isu penting mengenai gender, ras, kelas, lingkungan, dan HAM.

Saya juga berhenti men-generalisir semua orang yang religius, seperti banyak Ateis lain lakukan. Saya kenal banyak orang religius, yang juga mendukung feminisme dan LGBT. Di sisi lain, banyak juga Ateis yang sexist, rasis, dan classist. Hal ini membuktikan bahwa bigot tidak hanya ada di antara orang yang religius.

Saya tidak menyangkal bahwa banyak orang beragama yang menggunakan agamanya sebagai justifikasi untuk melakukan penindasan. Pada akhirnya, agama merupakan interprestasi, dan kamu bisa menggunakan interpretasi tersebut untuk mendukung status quo atau melawannya.

Masalah utama yang dihadapi manusia saat ini bukanlah agama, seperti yang kebanyakan Ateis anggap. Masalah utamanya adalah penindasan terhadap LGBT, penindasan terhadap kelompok agama minoritas (termasuk, tapi tidak hanya untuk Ateis), penindasan terhadap perempuan, kelompok pekerja, serta banyak kelompok lainnya.

Semua manusia, apapun agama, ras, atau kebangsaannya, harus bekerja sama untuk melawan penindasan ini.

Transformasi dan perjalanan panjang inilah yang menjadikan saya seorang Magdalene, unik dan bertekad untuk membuat Ateis lainnya dan seluruh masyarakat secara umum, mengerti hal ini dan berjuang untuk dunia.—Rappler.com

Sebelumnya kisah ini telah dipublikasikan di Magdalene, sebuah majalah online yang menawarkan  panduan berbeda bagi perempuan dan berbagai isu lainnya.

Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-2, Magdalene menyelenggarakan kompetisi menulis dengan tema “Mengapa saya seorang Magdalene,” mengundang para pembaca untuk menulis essai tentang alasan bagaimana mereka menemukan dirinya di Magdalene, dan bagaimana isi dan pesan Magdalene selaras dengan mereka. Tulisan ini mendapatkan juara ketiga pada kompetisi tersebut.

Aditya Nandiwardhana adalah seorang Ateis vegan-kiri yang ibu Anda peringatkan pada Anda, dan seorang pahlawan keadilan. Dia menghabiskan waktunya untuk mencoba mengubah dunia sedikit demi sedikit, di tengah-tengah kesibukannya menonton serial TV yang diunduh secara ilegal. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!