Hari Kesaktian Pancasila, masihkah relevan?

Iman Brotoseno

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Kesaktian Pancasila, masihkah relevan?

AFP

Tak ada salahnya jika Indonesia meminta maaf terhadap kesalahan masa lampau

Apa yang terjadi seandainya Mayjen Pranoto menolak perintah Mayjen Suharto dan tetap menghadap Bung Karno di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, lalu Bung Karno memerintahkan menonaktifkan Panglima Kostrad yang mbalelo itu? 

Tapi sejarah tidak mengenal kata “seandainya”. Bung Karno sudah kehilangan momentum dan kelak berujung dengan runtuhnya kekuasaannya. Kenangan akan momentum itu yang membuat penguasa Orde Baru menjadikan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila — sebuah legitimasi ketika Pancasila menjadi pemenang melawan komunis.

Selanjutnya penguasa negeri – tidak hanya Suharto, tapi pengganti seterusnya — selalu memperingati tanggal 1 Oktober di Monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sebuah diorama sejarah dihadirkan lengkap dengan sumur yang menjadi kenangan bagaimana kejamnya para kaum komunis. 

Sejak itu Pancasila dipakai sebagai propaganda dan justifikasi “kebenaran” rezim penguasa. 

Bagi rezim Orde Baru, Pancasila diposisikan sebagai alat penekan. Atas nama Pancasila, demokrasi bisa dipasung. Atas nama Pancasila, aparat boleh membunuh warga. Tidak heran, dalam sebuah film horor era 80an, ada adegan kuntilanak berceramah tentang Pancasila di depan warga desa yang anehnya tidak ketakutan melihatnya.

Betapa seriusnya mempertahankan kesaktian Pancasila bisa dilihat dari serangkaian pembelaan terhadap penumpasan pemberontakan komunis. Untuk menandingi “Cornell Paper” yang terungkap melalui Washington Post edisi 5 Maret 1966,  maka sejarawan Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dikirim ke Amerika untuk melakukan penulisan. 

Dengan dibantu Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA, maka keduanya berhasil membuat buku The Coup Attempt of ‘September 30 Movement’ in Indonesia yang dibagikan ke mana-mana. Prestasi ini membuat keduanya mendapat tempat dalam pemerintahan Soeharto. 

Bagi rezim Orde Baru, Pancasila diposisikan sebagai alat penekan. Atas nama Pancasila, demokrasi bisa dipasung. Atas nama Pancasila, aparat boleh membunuh warga.

Sebagai mantan Kepala Dinas Sejarah ABRI, kemudian diangkat menjadi Rektor Universitas Indonesia sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho ditengarai banyak berperan dalam penulisan buku sejarah di sekolah-sekolah. Sekretariat Negara juga menerbitkan buku putih dengan judul Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Buku ini hanya merupakan penyederhanaan karya Nugroho yang disajikan untuk khalayak umum.

Zaman sudah berubah, rezim berganti. Era keterbukaan menjadi hak dasar seluruh rakyat. Kita akhirnya tahu bahwa semua tidak benar tentang apa yang diajarkan sejak kecil, seperti kisah para jenderal yang disilet kemaluannya atau matanya dicungkil oleh kaum komunis yang bernyanyi Genjer- Genjer. Bahwa adegan Bung Karno menepuk-nepuk pundak Brigjen Soeparjo dalam film Pengkhianatan G30S/PKI — yang hampir 15 tahun diputar setiap malam tanggal 30 September — juga tidak benar terjadi. 

Kita juga akhirnya tahu bahwa pihak militer memasok nama-nama anggota PKI yang harus dibunuh, serta melatih organisasi pemuda sipil yang akhirnya menyeret kepada pembantaian massal yang mengerikan. 

Kini “kesaktian” Pancasila dipertanyakan karena berkaitan dengan pembantaian. Diam-diam Pancasila telah menjadi monster penuh darah yang menakutkan. Laporan The Economist mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan bulan Desember 1965 hingga Februari 1966. Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. 

Patung 7 jenderal di Monumen Pancasila Sakti, di Jakarta Timur. Foto dari tamanismailmarzuki.co.id

Tapi, Oei Tjoe Tat – Menteri Negara di era Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan, ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.

Anehnya Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkaptib), lembaga bentukan Orde Baru, menjadi sangat berkuasa dan dapat menentukan hidup matinya seseorang. Dalam laporannya, Komkaptib menyebutkan angka hampir sebesar 1 juta orang, dengan perincian 800,000 korban di Jawa dan 100.000 korban di Bali dan Sumatera.

Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida, yakni menghilangkan kelompok tertentu. Jika pemimpin Khmer Merah dan Perdana Menteri KambojaPol Pot melakukan pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan intelektual dalam beberapa tahun, di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan. 

Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang jenderal-jenderal yang dibunuh. Tapi mestinya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu. Sekian lama kita membenarkan tindakan pembantaian itu, merupakan pembalasan yang dilakukan rakyat, sebagai reaksi atas tindakan kekerasan yang sebelumnya dilakukan oleh anggota PKI. 

Kita justru melupakan bahwa pembantaian kepada mereka yang dianggap komunis, lebih banyak menyasar kepada orang orang yang tidak bersalah. Tidak hanya keluarga para korban, tapi juga guru-guru yang tak tahu politik dan hanya ikut berteriak, “Guru lapar. Mereka tak bisa mengajar”.  

Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang jenderal-jenderal yang dibunuh. Tapi mestinya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu.

Bagaimana kita menjelaskan ribuan guru yang hilang dari sekolah-sekolah dalam periode tersebut? Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadap wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra?

Tidak hanya pembunuhan, tetapi juga penindasan. Istri-istri anggota Angkatan Udara yang diludahi di pasar-pasar pasca G30S. Anak-anak korban yang tidak bisa memperoleh pekerjaan karena alasan “tidak bersih lingkungan”. Belum lagi mereka yang diusir dari rumahnya, karena rumah mereka diambil secara paksa.

Lubang Buaya bukan hanya sebuah sumur di Pondok Gede. Masih ada jurang-jurang atau lubang besar yang menampung ribuan jasad mereka yang dianggap PKI. Setelah dibantai, mereka dilempar ke Watu Ongko Tuban, jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi, dan masih banyak lubang-lubang dan jurang di penjuru negeri. 

Beranikah kita meminta maaf kepada keluarga Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare, Kediri? Istrinya yang hamil 9 bulan ditangkap pemuda-pemuda dari organisasi sipil. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang.

Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak-anak Suranto yang masih kecil-kecil tidak punya siapa-siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda  memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak-anak itu tidak dijamin keselamatannya.

Tidak ada salahnya jika bangsa ini meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan masa lampau. Ketakutan bahwa permintaan maaf akan membuka luka lama tak perlu ditakuti karena sejarah tak harus ditutupi. 

Kalau kelak rekonsiliasi ini tercipta, Pancasila tak perlu lagi diperingati kesaktiannya. Ia cukup dihayati karena kebajikannya. —Rappler.com

Iman Brotoseno adalah seorang blogger dan sutradara film dan iklan. Sapa dia di Twitter, @ImanBR, dan kunjungi buah pemikirannya di blog.imanbrotoseno.com.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!