Indonesia

Sepak terjang perjuangan Salim Kancil melawan penambang liar

Harry Purwanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sepak terjang perjuangan Salim Kancil melawan penambang liar
"Bu, saya ini berjuang seperti apa yang Bung Karno (Sukarno) sampaikan di Pancasila dan Undang-undang,” kata Salim


LUMAJANG, Indonesia— Sebelum Salim Kancil dibungkam dengan dibunuh, dia dikenal sebagai sosok yang keras dan tak kenal menyerah. Perjuangannya baru berhenti saat dia dibunuh oleh sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu, 26 September.

Tija, 45 tahun, istri almarhum Salim menuturkan bahwa dia sempat minta suaminya berhenti berjuang. Namun, semangat Salim tak surut. “Bu, saya ini berjuang seperti apa yang Bung Karno (Sukarno) sampaikan di Pancasila dan Undang-undang,” kata Tija menirukan ucapan suaminya.

TIja bercerita, suaminya adalah petani sekaligus pemilik lahan di sekitar lokasi pertambangan di pesisir pantai selatan Watu Pecak. 

Hingga pada suatu hari, Salim mendapati 8 petak lahannya hancur akibat tambang pasir ilegal. Belakangan tambang tersebut diduga dikelola oleh tim 12, yang merupakan mantan tim kampanye kepala desa mereka, Haryono. 

“Bapak waktu itu marah, lantaran lahan pertaniannya dirusak oleh tambang ilegal yang dibekingi Pak Kades Haryono,” ujar Tija saat ditemui Rappler di rumahnya, Rabu malam, 30 September.  

Suaminya makin murka ketika tahu lahan pertanian yang dimilikinya selama puluhan tahun tidak bisa ditanami padi kembali. Beberapa kali Salim bercerita pada tetangganya soal lahan yang tidak bisa ditanami lagi lantaran kerap diterjang air laut. 

“Saya bilang ke bapak, sudah sabar, jangan melawan Pak Kades, dia dekat dengan aparat dan pejabat, nanti jadi korban dan dihukum,” ujar ibu dua anak itu.

Salim yang menjadi tulang punggung keluarga kebingungan, lantaran lahan pertanian sebagai mata pencaharian sudah tidak bisa diharapkan kembali untuk mengepulkan asap dari dapur rumahnya. Penghasilannya pun turun drastis. 

“Sejak lahan pertanian bapak dirusak, jujur saja ekonomi keluarga terjepit, karena harus menyekolahkan si Dio (anak bungsu) dan makan sehari-hari,” tutur Tija. 

Salim kemudian putar otak, ia memutuskan banting setir sebagai nelayan. Ia mencari ikan dan kepiting untuk memenuhi keluarga.

Salim bergerilya

Tija, istri Salim Kancil, bersama keluarganya, Rabu, 30 September 2015. Foto oleh Harry Purwanto/Rappler.com

Sadar bahwa ia tak mungkin bertahan hanya dengan menjadi nelayan dadakan, Salim pun mulai mengunjungi rumah teman-temannya di malam hari. 

“Pokoknya bapak itu, sering bertamu dan bertemu dengan petani terdampak tambang pasir. Mungkin saat itu mau melawan Pak Kades dan penambang illegal itu,” katanya. 

Salim Kancil akhirnya berhasil merekrut 5 warga. Mereka memulai perlawanan secara diam-diam. Mereka cukup berhati-hati, karena khawatir diketahui aktivitasnya oleh Tim 12. 

“Tim 12 itu orang Pak Kades yang dulunya tim sukses saat Pemilihan Kepala Desa dan menjadi tim keamanan,” katanya. 

Salim mulai aktif, dan rajin surat menyurat dengan pihak keamanan, pemerintah kabupaten, provinsi, sampai ke Jakarta. “Pokoknya bapak, bersama Pak Hamid teman seperjuanganya sering keluar kota baik ke Malang, Surabaya, dan Jakarta untuk mengadu,” kata Tija.

Salim juga berbagi tentang aktivitasnya pada istrinya. Sebelum tidur, Salim kerap terlibat obrolan kecil mengenai perlawanan atas penolakan tambang. 

Suaminya sering menegaskan bahwa dirinya memperjuangan hak hidup sebagai warga negara Indonesia, apalagi apa yang menimpa dirinya juga sama dengan warga pemilih lahan di lokasi tambang ilegal.

Perlawanan Salim yang semakin nyata membuat penambang ilegal yang ‘diamankan’ oleh tim 12 mulai gusar. Ancaman dan intimidasi pada Salim pun mulai berdatangan. 

Bahkan di pertengahan bulan Ramadhan tahun ini, salah satu pimpinan mantan tim 12 yang juga Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Desir, mendatangi rumah Salim. 

“Bapak waktu itu, hendak ditempeleng, tapi ditangkis dengan tangannya,” ujar Tija. Tim 12 mulai bermain kasar. 

Khawatir dengan keselematan suaminya, Tija kemudian meminta Salim untuk berhenti untuk memperjuangkan lahan pertanian yang dirusak tambang. 

Namun, semangat memperjuangkan untuk hak hidup dan menolak tambang justru semakin membesar. “Bu, saya ini berjuang seperti apa yang Bung Karno (Sukarno) sampaikan di Pancasila dan Undang-undang,” ungkap Tija menirukan ucapan suaminya.

Kemudian Salim Kancil melaporkan intimidasi dan ancaman pada petani tolak tambang ke Kepolisian Sektor Pasirian, yang kemudian diteruskan ke Kepolisian Resor Lumajang, namun tidak ada tindakan. 

“Bapak sama temannya Pak Hamid, sering menyurati sejumlah aparat pemerintah tapi enggak ada tanggapan ataupun tindakan,” katanya. 

Mendirikan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa

Dio, 13 tahun, anak Salim Kancil sudah bisa tersenyum saat ditemui di rumahnya di Lumajang, Rabu, 30 September 2015. Foto oleh Harry Purwanto/Rappler

Karena tak ada tanggapan dari aparat, Salim pun membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar atau FORUM. 

Ada 11 warga yang berhasil ia rekrut untuk angkatan pertama, yakni Tosan, Iksan Sumar, Ansori, Sapari, Abdul Hamid, Turiman, Muhammad Hariyadi, Rosyid, Mohammad Imam, dan Ridwan. 

“Jadi saat itu, kami mulai melakukan perlawanan bersama Pak Salim dan Pak Tosan,” ungkap Muhammad Hariyadi salah satu warga Selok Awar-Awar yang juga ketua Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Lumajang. 

Mereka melakukan Gerakan Advokasi Protes tentang Penambangan Pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian bahkan kepada Pemerintahan Kabupaten Lumajang. 

Pada Juni, FORUM menyurati Bupati Lumajang As’at Malik untuk meminta audiensi tentang penolakan Tambang Pasir. Tapi tidak direspons. 

Pada 9 September, FORUM melakukan aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar yang menghasilkan surat pernyataan kepala desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan penambangan pasir. 

Pada hari yang sama, Salim dan warga yang menolak tambang pasir tersebut mengaku mendapat ancaman pembunuhan. Menurut mereka pengirimnya adalah tim 12 yang diketuai Desir. 

Warga melaporkannya ke aparat, tapi sekali lagi, tak direspons. 

Sehari sebelum Salim dibunuh, 25 September, FORUM merencanakan aksi penolakan tambang pasir pada Sabtu, 26 September pukul 07.30 pagi. 

Rekan Salim, Tosan memulai aksi tersebut pada pukul 07.00 dengan menyebar selebaran aksi damai tolak tambang di depan rumahnya bersama Imam. Kemudian ada satu orang yang melintas dan membaca selebaran tersebut sambil memarahi Tosan dan Imam. 

Enam puluh menit kemudian, Salim didatangi oleh puluhan orang di rumahnya. Ia diseret ke Balai Desa dan dianiaya hingga mati.
—Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!