Kontroversi penangkapan lesbian di Banda Aceh

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi penangkapan lesbian di Banda Aceh
Wali Kota Banda Aceh mengatakan, kedua terduga lesbian tidak ditahan, tapi dibina

JAKARTA, Indonesia — Penangkapan dua terduga lesbian di Aceh baru-baru ini menjadi perhatian pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo. Ia mengaku kecewa dengan keputusan polisi syariah yang menangkap pasangan tersebut.

“Lesbian jangan dikriminalisasi,” kata Dede pada Rappler, Senin, 5 Oktober. 

Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) Kota Banda Aceh sebelumnya menangkap dua wanita yang diduga pasangan lesbian. Keduanya ditangkap sedang duduk berangkulan dan berpelukan pada Selasa, 28 September, lalu sekitar pukul 23:00. 

Dua wanita itu masing-masing berinisial AS (18 tahun) dan N (19). AS mengaku asal Makassar dan baru dua hari tiba di Banda Aceh.

Sedangkan N merupakan warga Gampong Landom, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh.

Menurut Dede, seharusnya lesbian dibebaskan seperti di negara-negara lainnya. “Di negara-negara maju itu dibebaskan tidak dikriminalisasi,” kata Dede. 

Kepala Seksi Penegakan Peraturan Undang-Undang dan Syariat Islam Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, Evendi Latif menjelaskan, keduanya ditangkap saat petugas yang patroli di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh. Saat itu petugas melihat kedua wanita ini sedang berperilaku mencurigakan.

“Karena duduk berangkulan dan berpelukan, petugas langsung memeriksa dan kita menduga mereka ini pasangan lesbi,” kata Evendi.  

Apa alasan penangkapan keduanya? 

Pelaksana Tugas Harian (Plt) Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan lesbian yang ditangkap oleh polisi bukan ditahan, melainkan dibina agar sesuai dengan syariat Islam.

“Semua selalu dibina,” kata Illiza, pada Rappler, Senin.

Menurutnya, pembinaan dilakukan agar keduanya menaati aturan dalam syariat Islam. “Kalau hidup ada pilihan, kalau secara aturan syariat tidak dibenarkan,” katanya. 

Ia mengatakan lesbian adalah bagian dari moralitas, bukan sekedar pilihan hidup. “Secara norma agama dan aturan hukum saya sendiri mencoba memperdalam itu,” katanya. 

Alasan syariat Islam tidak cukup

Pegiat hak asasi manusia dari Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan bahwa alasan syariat Islam saja tidak cukup. Karena dalam perjanjian sebelumnya, homoseksualitas tidak dianggap sebagai kejahatan. 

“Dalam perjanjian Helsinki, baik Indonesia maupun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) setuju, hitam di atas putih, bahwa Aceh berhak memuat qanun jinayat atau hukum pidana,” ujar Andreas.  

“Dalam perjanjian yang sama, disepakati bahwa semua aturan di Aceh tak boleh bertentangan dengan konstitusi Indonesia maupun konvenan internasional soal hak sipil dan politik, biasa disebut ICCPR, di mana homoseksualitas tidak dianggap sebagai kejahatan,” katanya. 

ICCPR, atau kovenan internasional hak-hak sipil dan politik, adalah salah satu perjanjian internasional pokok tentang hak asasi manusia.

“Artinya, Aceh sebaiknya revisi larangan homoseksualitas tersebut, atau Menteri Dalam Negeri lakukan revisi sesuai dengan ketentuan prosedur hukum di Indonesia,” kata Andreas lagi. 

Sedangkan menurut Dede, mengenai syariat Islam ini, kesalahan bukan hanya dari perjanjian, tapi penerapannya pun sudah salah. “Kesalahan awalnya adalah Aceh diberi keistimewaan hukum. Yang menderita kaum LGBT,” kata Dede.

GAYa adalah organisasi nirlaba yang bekerja demi kesetaraan dan kesejahteraan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, Questioning, dan orang-orang dengan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender yang beragam.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!