restaurants in Metro Manila

Adlun Fiqri: UU ITE kekang demokrasi, jangan takut selama kita benar

Adlun Fiqri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Adlun Fiqri: UU ITE kekang demokrasi, jangan takut selama kita benar
Adlun ditahan dengan dalil UU ITE, namun 'akan terus melakukan pengawasan dan kritik terhadap pemerintah. Selagi saya benar, saya tidak akan takut'

Adlun Fiqri, 20 tahun, adalah mahasiswa Universitas Ternate jurusan Antropologi Sosial. Namanya ramai diberitakan media ketika ia mengunggah video oknum polisi diduga menerima suap. Ia pun langsung ditahan dua hari kemudian. 

Ini ceritanya:

Hari itu, Sabtu, 26 September, saya sedang mengendarai motor melintasi Kelurahan Gamalama, Ternate, Maluku Utara.

Di depan pos polisi, tepatnya di depan toko Nando, tiba-tiba motor saya dihentikan oleh seorang oknum polisi, saya ditilang dengan alasan tidak dilengkapi kaca spion. Oknum polisi tersebut langsung mencabut kunci motor saya.

Saya tak terima dan langsung bertanya, “Ada hak apa Bapak cabut kunci saya? Ini motor saya”.

Karena tidak puas, oknum tersebut memanggil polisi yang lain. Saat ini saya masih cuek saja. Saya menelepon teman saya karena kebetulan pada saat itu pihak kepolisian meminta saya menunjukan SIM dan STNK.

Saya belum punya SIM pada saat itu, dan STNK saya tinggal di rumah. Akhirnya saya menjauh sebentar untuk menelepon teman saya dan minta dibawakan STNK.

Saya pergi menelepon teman saya, tapi telepon saya tidak diangkat. Ketika saya kembali motor saya sudah tidak ada di tempat semula.

Lalu saya melihat, di depan pos polisi banyak yang mengantri. Saya berpikir, “Ada apa di dalam pos. Kalau banyak orang antri pasti ada sesuatu”.

Setelah itu saya masuk lewat pintu samping pos polisi. Saya melihat ada percakapan antara anggota polantas dengan salah satu pelanggar lalulintas. Ada tiga orang pelanggar lalulintas di dalam. Dua orang berdiri dan yang satunya duduk sambil ditanya oleh salah satu polisi lalu lintas.

Polisi tersebut menanyakan “Bapak mau ikut sidang? Ikut sidang itu dendanya Rp 1 juta sesuai dengan pelanggaran. Kalau di sini Rp.115.000″.

Saya menyalakan video dan merekam perbicangan tersebut.

Saya juga sempat bertanya, kira-kira berapa besar denda untuk pelanggaran spion, dan pasal berapa. Seorang polisi menjawab, “Dendanya sekitar Rp 250.000.”

”Video yang saya sebarkan berangkat dari keresahan masyarakat tentang banyaknya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Satlantas.”

Tak lama kemudian, teman saya akhirnya datang. Karena saat itu motor saya sudah tidak ada, saya berpikir untuk pulang saja dan kembali ke kantor polisi untuk mengambil motor pada hari Senin.

Saya kemudian pulang ke kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan mengunggah video yang saya rekam.

Pada saat itu saya mengindikasikan bahwa yang dilakukan oknum polisi tersebut adalah tindak suap, meskipun setelah itu pihak kepolisian melakukan pembelaan dan mengatakan bahwa uang tersebut adalah uang titipan tilang.

Saya merasa razia yang dilakukan adalah ilegal, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1993 pasal 15 tertulis bahwa harus ada peringatan razia pada jarak 100 meter di depan, dan harus ada surat tugas. Pada penilangan yang terjadi waktu itu, saya tidak menemukan adanya papan tilang maupun surat tugas.

Keputusan saya untuk mengunggah video yang saya rekam dan membagikannya melalui akun Facebook dan beberapa grup muncul karena keresahan masyarakat atas tindakan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Karena kejadian tersebut juga pernah menimpa teman-teman saya.

Penahanan

Hari Senin, 28 September, saya datang kembali ke kantor Satlantas. Niat awal saya adalah mengurus SIM terlebih dahulu, baru saya mengambil motor.

Namun ketika saya sedang mengisi formulir pendaftaran, ada seorang oknum polisi yang mendatangi saya dan bertanya, “Kamu yang upload video itu, kan?”

Pada saat itu saya merasa takut, akhirnya saya bilang, “Bukan saya”. Namun setelah itu ada oknum polisi lain yang datang dan langsung membawa saya ke ruang Satlantas dan langsung menginterogasi saya.

Akhirnya saya mengatakan, video yang saya sebarkan berangkat dari keresahan masyarakat tentang banyaknya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Satlantas.

“Pada saat itu juga, oknum polisi tersebut langsung melakukan penahanan terhadap saya. Saya dipukul, ditendang dibagian rusuk, dan disuruh push up.”

Saat itu saya langsung diminta untuk menghapus video, dan langsung saya lakukan. Pada saat itu saya kira semua masalah sudah selesai.

Tapi kemudian, ketika Satlantas berkonsultasi dengan atasannya, Kapolres ngotot ingin memproses kasus ini karena saya dianggap telah mencemarkan nama baik oknum polisi dan institusinya.

Kemudian, pada saat itu juga, oknum polisi tersebut langsung melakukan penahanan terhadap saya. Seluruh barang bawaan saya, dari telepon genggam, tas, dan buku, langsung diamankan.

Saya pun langsung masuk ke dalam sel tahanan.

Pada hari pertama saya ditahan, saya langsung dipukul oleh seorang anggota polisi. Oknum tersebut adalah orang yang pertama kali menilang saya pada hari Sabtu. Mungkin dia dendam karena saya sempat bertanya padanya ketika ia mengambil kunci saya.

Saya dipukul, ditendang dibagian rusuk, dan disuruh push up.

Setelah itu saya kembali dipanggil oleh kepala Satlantas untuk kembali diinterogasi. Saat itu dia bertanya mengapa saya terlihat penuh keringat. Ketika saya menceritakan peristiwa yang terjadi, Kasatlantas langsung memukul oknum tersebut.

Saya dipanggil kembali oleh penyidik pada malam hari. Saya diinterogasi dan dibuatkan berita acara penangkapan. Saya diminta untuk menceritakan kronologis yang terjadi, dan dicerca dengan banyak pertanyaan. Saya jawab apa adanya saja. Setelah itu saya dikembalikan ke sel tahanan.

Beberapa kejanggalan

Keesokan harinya, Selasa, 29 September, saya kembali dipanggil penyidik. Baru pada saat itu saya dapat meminjam telepon genggam saya, dan baru bisa menghubungi teman saya. Tapi teman saya yang datang menjenguk hari itu tidak diizinkan menemui saya, saya tidak tahu alasannya.

Baru hari Rabu pagi, 30 September, saya diminta untuk menandatangani surat perintah penahanan saya. Jadi, meskipun saya sudah ditahan sejak hari Senin, surat penahanan tidak pernah ada hingga hari Rabu.

Yang membingungkan adalah, surat yang saya tanda tangani pada tanggal 30 September itu bertanggal 28 September. Saya tidak tahu alasannya.

Dalam surat perintah penahanan tersebut diperintahkan juga untuk memotong rambut saya yang gondrong. Akhirnya saya ikhlaskan saja rambut saya digunting.

Saya baru bertemu dengan pihak keluarga, LBH Ternate, dan teman-teman aktivis pada Rabu sore. Saya baru mendapat bantuan hukum pada saat itu, yang saya dapatkan dari salah satu pengacara LBH Ternate Ibu Maharani.

Kehidupan di dalam penjara

Hari-hari pertama di penjara terasa sangat berat. Saya frustrasi luar biasa. Tapi hari ketiga saya sudah mulai bisa beradaptasi.

Ditambah lagi, ketika hari Rabu saya dijenguk, saya minta teman-teman untuk membawakan saya satu dus buku. Keesokan harinya, saya mendapatkan kiriman berupa pakaian, makanan, dan buku-buku yang kemudian saya bagikan kepada teman-teman di dalam tahanan.

Kasihan juga mereka, bisa stres. Dikurung tanpa bahan bacaan. Oleh karena itu saya berinisiatif membagikan buku-buku kepada mereka.

Penangguhan penahanan

Tanggal 2 Oktober, setelah menunaikan salat Jumat, saya kembali dipanggil ke ruangan. Di sana sudah ada Kapolda, Kapolres, dan beberapa awak media.

Kapolda berbicara dan mengimbau kepada pelapor dan penyidik agar menangguhkan penahanan saya.

Setelah pertemuan itu saya dikembalikan ke tahanan. Malam harinya, saya kembali dipanggil oleh Kasatreskrim dan penyidik untuk mulai memproses penangguhan penahanan saya.

Akhirnya, meskipun masih bersyarat, saya dapat menghirup udara segar kembali pada hari Sabtu, 3 Oktober, dan kembali ke rumah.

Hari Senin, 5 Oktober, saya diminta untuk datang kembali ke kantor polisi. Di sana saya bertemu dengan oknum pelapor untuk menyaksikan langsung pencabutan perkara.

Akan tetapi, hingga hari ini, Senin, 12 Oktober, surat SP3 belum juga saya terima. Saya bahkan tidak tahu, apakah surat tersebut sudah dikeluarkan atau belum. Saat ini, saya dan keluarga masih menunggu namun belum ada kejelasan lebih lanjut.

Banyak kasus lain

Saya sadar bahwa tuduhan yang saya terima juga pernah menimpa banyak orang lainnya.

Dengan menggunakan pasal dalam Undang-Undang ITE, banyak yang disangkakan atas nama pencemaran nama baik.

Saya merasa pasal ini mengekang kebebasan kita untuk berekspresi dan berpendapatan, padahal hal tersebut dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut saya, UU ini mengekang demokrasi.

Saya berharap UU ini direvisi kembali karena sudah memakan banyak korban.

Meskipun begitu, saya akan terus melakukan pengawasan dan kritik terhadap pemerintah. Selagi saya benar, saya tidak akan takut.

Sebenarnya saat saya berada di dalam penjara, saya sempat putus asa. Namun saya teringat akan perjuangan Sukarno, Tan Malaka, bahkan Munir. Mereka para para pejuang kebenaran yang pernah dipenjara, bahkan dibunuh. Mereka lah yang membuat saya terus bersemangat dan termotivasi. Tentunya juga ditambah dengan dukungan dari teman-teman yang lain.

Kita tidak perlu takut untuk mengemukakan pendapat. Selagi itu benar, ya kita kabarkan. Buat apa takut.

Seperti dikatakan oleh Adlun Fiqri kepada Sakinah Ummu Haniy, Senin, 12 Oktober 2015.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!