Oleh-oleh dari Frankfurt Book Fair 2015

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Oleh-oleh dari Frankfurt Book Fair 2015
Mulai dari perdebatan antikomunisme hingga kuliner Indonesia yang membuat peserta antri

 

JAKARTA, Indonesia — Salah satu pesta buku dan pengarang terbesar di dunia digelar di Frankfurt, Jerman, pada 14-18 Oktober. Sebagai tamu kehormatan dalam festival tersebut, Indonesia menjadi sorotan dunia.

Tokoh-tokoh sastra tanah air datang dan berdiskusi tentang tema-tema yang selama ini dianggap tabu di Indonesia. Salah satu tema yang diangkat adalah pembantaian massal dan tragedi 1965.  

Berikut catatan sastra Indonesia di Frankfurt Book Fair: 

Bertabur bintang sastra

Penikmat sastra Indonesia pasti tidak asing dengan nama-nama penulis kawakan seperti Goenawan Muhammad, Leila S. Chudori, Seno Gumira Ajidarma, Franz Magnis Suseno, hingga Sapardi Djoko Damono.

Salah satu sastrawan yang menjadi rujukan di pagelaran itu adalah Leila S. Chudori, yang menulis novel berjudul Pulang.  

Ia bercerita, saat kuliah di Kanada ia berkesempatan pergi ke Paris dan bertemu dengan beberapa eksil politik asal Indonesia. Mereka terlibat dalam peristiwa 1965.

Pertemuan tersebut memotivasinya untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan mereka dan menuliskan kisahnya. Maka lahirlah novel Pulang

Tonton videonya di sini.

Penulis muda Laksmi Pamuntjak juga bersinar. Ia memamerkan bukunya Amba yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Jerman berjudul Alle Forben Rot dan dalam Bahasa Inggris dengan judul The Question of Red.   

Laksmi mengungkapkan latar belakang mengapa ia menerbitkan buku tersebut. Menurutnya, pada 2009 sebuah survei yang dimuat di salah satu media menyebutkan lebih dari separuh responden yang berasal dari kalangan mahasiswa Jakarta mengaku tidak tahu-menahu tentang 1965.  

Hal ini yang menjadi salah satu alasan Laksmi menerbitkan novel Amba yang berlatar 1965. Novel pertamanya ini terbit pada 2012.

Dalam video wawancara ini, Laksmi berbicara tentang Amba.

Perdebatan antikomunis bersama Taufiq Ismail 

DISKUSI REKONSILIASI. Dalam Frankfurt Book Fair 2015 digelar diskusi mengenai rekonsiliasi korban tragedi 1965. Foto oleh Kementerian Pendidikan.

Dalam sesi diskusi, sempat ada perdebatan panjang mengenai haruskah Indonesia melakukan rekonsiliasi tragedi 1965 atau melupakan dan memaafkan masa lalu? 

Kedua penulis, Leila dan Laksmi, berharap ada pengungkapan kasus untuk korban tragedi 1965. Namun penyair Taufiq Ismail berbeda pendapat.

“Kalau terus menerus saling menyalahkan tidak akan ada rekonsiliasi. Kedua belah pihak sama-sama punya dan membuat kesalahan. Sekarang semuanya harus dilupakan dan dikubur dalam-dalam,” kata Taufiq. 

Pernyataan Taufiq itu direspon beberapa eksil yang hadir dalam diskusi. “Tidak bisa dilupakan begitu saja,” celetuk seorang peserta.

Leila sendiri tidak menampik hasrat untuk berdamai dan rekonsiliasi. “Semua orang merindukan perdamaian dan rekonsiliasi, namun jangan sampai itu hanya menegaskan impunitas,” kata Leila. 

Pameran seni rupa menolak lupa 

Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto memeriahkan acara pameran buku terbesar di dunia tersebut dengan menghadirkan karya berjudul Power Unit.

Karyanya dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfut.  

Kuliner Indonesia bikin penasaran 

BUMBU REMPAH. Indonesia mengenalkan bumbu rempah yang diawetkan sejak setahun yang lalu di Frankfurt Bookfair 2015. Foto oleh Kementerian Pendidikan.

Menurut laporan situs kementerian, ada sekitar 25 juru masak dan tokoh kuliner ternama yang bergabung dalam Tim Kuliner Indonesia untuk Frankfurt Book Fair 2015. Mereka antara lain William Wongso, Sisca Soewitomo, Bondan Winarno, dan Bara Pattiradjawane.

Beberapa kuliner Indonesia yang disajikan antara lain rendang, sate lilit, nasi kuning, sate ayam, nasi goreng, sayur kapau, serta minuman khas Indonesia seperti kunyit asam, teh, dan kopi. 

Untuk menyajikan makanan tersebut, tim Indonesia membawa 62 jenis bumbu dasar yang dikumpulkan sejak satu tahun lalu.

Bahkan panitia dikabarkan membawa bumbu ekstra seberat 400 kilogram dari tanah air. Hasilnya: peserta pergelaran antri untuk mencicipi masakan asli Indonesia. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!