Yuk, ngobrol blak-blakan soal seks

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Saya bosan karena tak seorang pun dari mereka yang berani bicara di depan khalayak blak-blakan, atau seperti yang saya lakukan saat ini: menulis blak-blakan

Saya bosan. Saya bosan mendengarkan teman-teman perempuan saya, gay bestie saya, teman-teman cowok saya (ngga enak tauk, dianggap sebagai cewek cool atau one of the boys) ngomongin seks saat makan siang, ngomongin seks lewat grup whatsapp, saling bertukar gambar tidak senonoh tapi lucu (eneg tauk, dikirimin gambar serupa phallus atau vagina yang beredar dari grup satu ke grup lain dan jadi bertumpuk di SD Card).  

Saya bosan karena semua obrolan ini hanya terjadi di dalam kenyamanan AC kafe di bilangan selatan Jakarta atau di dalam privasi japri (Ed Snowden pasti ngga setuju soal ini). Saya bosan karena tak seorang pun dari mereka yang berani bicara di depan khalayak blak-blakan, atau seperti yang saya lakukan saat ini: menulis blak-blakan.

Ada sih yang pernah bertanya apa saya tidak malu membongkar kemaluan saya (verbatim) dan cerita tentangnya. Saya bilang sih, saya tidak peduli. Saat saya menuliskan itu, ya semua sudah terjadi. Itu refleksi sekaligus katarsis (kalau ngga tahu katarsis itu apa, Google aja).  

Setidaknya saya berani mengatakan apa yang orang lain tidak berani katakan. Ngga hipokrit. Saya yakin kok, banyak orang, perempuan atau laki-laki yang merasakan dan memikirkan apa yang berani saya tuliskan, tapi ya pada mingkem saja. 

Dengan alasan tahu dari teman (dinyanyikan pakai nada Potret di zaman keemasan). Eh salah, dengan alasan ketidakpantasan sosial, status sosial dan lingkungan pergaulan (makanya jangan jadi PNS hahaha) atau takut stigma masyarakat. 

Saya ngga takut. Kenapa takut akan segerombolan orang yang bahkan tidak menyumbang sepeser pun untuk bayar tagihan kartu kredit bulanan saya? 

Nah, dengan misi maha mulia yang salah satunya adalah membongkar “apa yang orang bicarakan saat mereka membicarakan seks” (Ke-Murakami-Murakami-an, biar kelihatan snob sedikit), bak foreplay, saya akan mulai dengan menggelitik kemaluan, eh salah, keingintahuan orang tentang seks. 

Tapi sama seperti seks, ada aturan main demi kepuasan bersama (moral urusan masing-masing ya). Dimulai dengan bahwa tulisan ini bukan kosultasi tentang seks. 

Saya bukan dokter. Saya cuma perempuan yang suka (membicarakan) tentang seks dan segala aspeknya. Kerumitan emosi di dalamnya, alasan mengapa orang mau melakukan seks (kadang ya ngga ada alasan kog, percaya deh), psikologi seks, tips dan trik dan mitos tentang seks (kebanyakan menggelikan dan normatif), percayalah, seks ngga akan ada habisnya dibicarakan. 

Pertanyaannya, apakah Anda berani bicara lugas tentang seks, “telanjang” di depan publik? Saya sih, berani.

It takes two to tango, dan satu stadion untuk bikin wave. Jadi, yuk (bicara) seks.

Tulisan ini adalah awal dari tulisan mingguan yang akan membicarakan tentang, apalagi kalau bukan seks. — Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah. 

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!