Kisah Sadiman mengantarkan saya memenangkan penghargaan

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah Sadiman mengantarkan saya memenangkan penghargaan
Mesin pencari Google sampai saat ini masih menempatkan situs berita Rappler di urutan teratas untuk penelusuran kata kunci “Sadiman”, sosok inspiratif yang belakangan hari populer di media

Feature tentang Sadiman yang dinaikkan 23 Agustus 2015 itu telah dibaca dan dibagikan 27.000 kali melalui Facebook dan Twitter. Cerita lengkap tentang Sadiman bisa dibaca di sini.  

Tulisan itu baru saja mengantarkan saya memenangi Tangguh Award 2015, Citra Carita Parama, sebuah penghargaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk katagori karya tulis jurnalistik.

Bagaimana saya mendapat cerita yang menarik pembaca itu? Saya bukan jurnalis hebat atau wartawan spesialis dengan segudang pengalaman mengagumkan. Sebaliknya, saya masih tertatih-tatih belajar menulis, mengeja baris, dan menyusun fakta. Saya hanya melakukan sedikit usaha untuk “menemukan kembali” sosok Sadiman.

Seperti jurnalis pada umumnya, saya hanya mengandalkan nose-for-news (insting berita). Tetapi, dalam kasus Sadiman, ada sedikit journalistic luck (faktor kebetulan dalam peliputan).

Sejak pertengahan tahun, berita bencana kekeringan dan kebakaran hutan menjadi ritme liputan semua media. Dampak fenomena El Nino yang berakibat pada cuaca panas-kering memunculkan sejumlah masalah, mulai dari ancaman ketahanan pangan sampai masalah kesehatan.

Namun, kebanyakan liputan menyuguhkan “rasa yang sama”, berita bernuansa pesimis yang sekadar mengabarkan kekeringan yang selalu berulang setiap tahun di negeri tropis bercurah hujan tinggi. Tidak banyak yang mengimbanginya dengan cerita yang mengabarkan upaya untuk mengubah keadaan.

Paradigma jurnalisme negatif, bad news is always good news – yang sering mengeksploitasi penderitaan manusia dan menindas hak narasumber demi kepentingan media –  masih menjadi pegangan utama para pemburu berita.

Saya setuju, berita buruk memang tetap harus dikabarkan sebagai buruk tanpa mengubah fakta. Tetapi, bukankah media juga bisa memberitakan harapan dan solusi, agar yang buruk menjadi baik dan yang salah menjadi benar? Bukankah media memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik dan mendorong perubahan ke arah yang lebih baik?

Mengapa tidak ada cerita orang-orang yang berhasil mengatasi kekeringan, berbuat dengan tangannya sendiri, dan menggerakan masyarakat tanpa bergantung pada pemerintah. Apakah tidak ada di antara 200 juta lebih manusia Indonesia yang pernah berbuat sesuatu?

Saya mulai mencari orang-orang seperti itu. Saya mengingat seseorang yang pernah diundang oleh sebuah media cetak lokal sebagai nominator tokoh inspiratif lokal sekitar April lalu.

Namanya Sadiman, seorang petani dan pencari rumput, yang diusulkan oleh pembaca di Wonogiri, Jawa Tengah. Ia mendapat penghargaan dari media lokal itu, tetapi sayangnya sosok Sadiman hanya diberitakan sekenanya untuk memenuhi liputan tentang acara malam penghargaan.

Seorang yang sudah 20 tahun menanami hutan lereng gunung yang gersang dengan ribuan pohon berkayu keras dan berhasil menghidupkan kembali mata air yang sudah mati puluhan tahun – kini bisa menghidupi 3.000 jiwa penduduk desa – hanya muncul dua kolom kecil?

Saya dan kawan-kawan jurnalis sebenarnya punya kesempatan sama dengan bermodal “cuplikan” sebuah koran lokal. Tetapi saya tidak tahu mengapa sosok yang menurut saya “berharga” ini menjadi tidak terlalu menarik bagi mereka, termasuk media nasional.

Saya langsung menghubungi redaksi Rappler dan pitch liputan. Usul dulu, berpikir kemudian. Saya tak punya kontak maupun informasi apa pun tentang Sadiman kecuali dari informasi koran lokal yang tak lengkap.

Seminggu kemudian, Rappler menyetujui usulan. Hari Minggu, 16 Agustus 2015, saya luangkan waktu pergi ke ujung timur Wonogiri, jaraknya 110 kilometer dari Kota Solo, hanya berbekal kata kunci “Sadiman” dan “Kecamatan Bulukerto”.

Saya hanya berharap pada keramahan orang-orang desa, karena saya tahu bahwa saya akan banyak bertanya alamat. Kalau tak ketemu ya sudah, anggap saja jalan-jalan akhir pekan menikmati suasana pedesaan yang elok dengan sawah bertingkat mirip Ubud, Bali.

Tanpa disangka, saya mendapat banyak “kebetulan” hari itu. Kebetulan pertama, saya bertemu orang di jalan yang saya tanya, ternyata tetangga Sadiman, dan menawari untuk mengantar saya sampai rumahnya. Kedua, Sadiman ada di rumah dan hari itu mau berangkat ke hutan menengok pohon-pohon beringin kecil yang baru ia tanam.

Ketiga, yang paling penting, saya menemukan news peg yang sangat kuat sebagai gantungan cerita, yaitu suasana peringatan Kemerdekaan RI ke-70. Sadiman memaknai kemerdekaan secara berbeda, bukan sekadar merdeka dari penjajah, melainkan juga kebebasan masyarakat dari kekeringan yang sebelumnya selalu mengancam desanya. Saya mendapat momen yang bakal membuat  tulisan lebih nendang.

Bertemu Sadiman seperti menjungkir-balikkan logika “kewarasan” saya. Seorang petani gurem dan pencari rumput mengeluarkan uang yang ia kumpulkan sendiri untuk membeli bibit beringin yang ditanamnya di hutan. Untuk siapa? Untuk alam, untuk mata air, dan untuk manusia. Ia melakukan penghijauan sendiri.

Upayanya telah membuahkan hasil dengan terbitnya kembali mata air Gunung Gendol yang selama puluhan tahun kering. Bagi saya, ia adalah pahlawan bagi alam dan manusia, yang bekerja ikhlas tanpa berharap pamrih, popularitas, dan imbalan materi.

Hidupnya mungkin jauh dari cukup, tetapi ia tak pernah berpikir untuk dirinya sendiri. Beberapa kali ia mendapat bantuan uang sebagai tanda terima kasih dari para pejabat daerah, tetapi semuanya ia gunakan untuk membeli bibit dan pupuk.

Sadiman adalah orang yang “menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan”. Ia tak pernah protes, mengeluh, dan selalu berpikir positif untuk membuat perubahan dalam kehidupan. Kegigihannya akhirnya memicu semangat anak muda di desa untuk ikut bergabung dalam usaha penghijauan.

Saya sadar, saya manusia yang juga bisa terkesan oleh sebuah cerita, tetapi saya berusaha agar tulisannya saya tetap bersih dari opini pribadi. Saya kemudian mencari keterangan dari beberapa orang, antara lain kepala desa dan warga setempat. Dan kesaksian mereka ternyata mengkonfirmasi apa yang saya dapat dari Sadiman.

Saya tak menyangka tulisan tentang Sadiman di Rappler akhirnya menarik banyak pembaca untuk ikut membantu bibit bagi penghijauan di lokasi desa Sadiman. Ada seorang kawan yang mengaku cukup emosional membaca tulisan itu, sampai meneteskan air mata, dan ingin mendonasikan dana untuk penghijauan.

Banyak orang bertanya bagaimana cara menyumbang bibit. Terus terang, saya ingin membantu mereka, tetapi saya tidak punya cukup waktu dan keahlian untuk mengelola sumbangan, sehingga saya arahkan mereka langsung mengirimkan bantuannya ke alamat Sadiman.

Tetapi persoalannya, Sadiman tak punya nomor telepon dan (kemungkinan) rekening bank, sehingga saya menyarankan agar bantuan dikirim bentuk bibit pohon saja. Sebuah perusahaan otomotif terbesar di Indonesia juga meminta kontak Sadiman untuk program CSR penghijauan. Mereka ingin survei ke lokasi untuk memverifikasi kebutuhan bibit.

Sadiman mengurus bibit cengkeh yang ia akan digunakannya untuk ditukar dengan bibit pohon beringin. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Iseng-iseng, saya kemudian memutuskan mengirimkan tulisan saya ke BNPB untuk mengikuti lomba karya jurnalistik kebencanaan. Penjaringan naskah untuk lomba ini sangat panjang, dari Januari sampai akhir September 2015, atau hampir sembilan bulan.

Lomba ini dibuka untuk jurnalis dan masyarakat umum, tidak ada pemisahan. Siapa pun bisa ikut asal memiliki tulisan yang sudah pernah di muat di media cetak maupun online dalam kurun satu tahun terakhir. Semakin banyak partisipan, kompetisi bakal semakin ketat sehingga saya tak berharap banyak.

Suatu sore, saya kaget ditelpon seorang panitia lomba BNPB yang memberitahukan bahwa tulisan saya masuk nominasi yang akan diumumkan pada malam anugerah Tangguh Award 2015 dalam rangkaian acara peringatan bulan pengurangan risiko bencana di Solo.

Pada malam anugerah, panitia memutar video penjurian yang dilakukan oleh beberapa orang, yang semuanya jurnalis kawakan di media nasional. Mereka mengatakan ada sepuluh nominasi dan kemudian diambil tiga pemenang. Salah satu kriterianya adalah tulisan yang mengangkat upaya-upaya nyata individu atau komunitas yang melakukan penanggulangan bencana.

Tulisan saya tentang Sadiman ternyata berada di urutan terakhir dari sepuluh nominasi terpilih yang dibacakan. Layar besar di depan lalu menayangkan juara ketiga dan kedua. Dan ternyata bukan saya.

Dua orang finalis Putri Solo 2015 naik panggung membawa secarik kertas membacakan siapa yang akan memenangi Citra Carita Parama tahun ini. Saya setengah tak percaya saat nama saya disebut. Pikiran saya malah tertuju pada Sadiman, orang yang paling menginspirasi tulisan saya. Seharusnya, dia lebih layak naik ke panggung menerima penghargaan sebagai pahlawan yang mengatasi bencana.

Darinya, saya belajar banyak tentang kehidupan, tentang ketulusan, dan tentang bekerja dalam senyap membuat perubahan dan menularkan energi positif. Saya percaya, banyak Sadiman-Sadiman lainnya di negeri ini. Dan tugas saya hanya membuat upaya mereka agar bergema. — Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!