Todung Lubis dan 5 pengacara jadi jaksa di Pengadilan Rakyat 1965

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Todung Lubis dan 5 pengacara jadi jaksa di Pengadilan Rakyat 1965

EPA

Selain Todung Mulya Lubis, ada pengacara senior lain hingga pegiat HAM dari KontraS yang jadi jaksa di Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag

 

JAKARTA, Indonesia — Nama enam pengacara asal Indonesia yang akan menjadi jaksa Pengadilan Rakyat Internasional, atau International People’s Tribune (IPT), untuk ntuk tragedi pembantaian massal 1965 akhirnya dibuka di publik.

 

Sebelumnya, karena alasan politik dan keamanan, keenam nama tersebut masih dirahasiakan menjelang IPT di Den Haag, Belanda, yang akan dimulai hari ini, Selasa, 10 November, hingga 13 November.

Menurut situs 1965 Tribunal, selain Silke Studzinsky, satu-satunya jaksa asing, ada nama pengacara asal Indonesia, Todung Mulya Lubis, dan lima lainnya. 

Berikut profil mereka: 

Todung Mulya Lubis 

Todung disebut sebagai salah satu pengacara yang senior di bidang hak asasi manusia dan merupakan salah satu pemikir di bidang hukum yang berpengaruh.

Ia menyelesaikan pendidikan sarjana hukumnya di Universitas Indonesia pada 1974. 

Todung kemudian mendalami ilmu hukum di University of California, Berkeley dan Harvard Law School. 

Di Universitas Indonesia, ia adalah anggota senior di Fakultas Hukum sejak 1990.

Pada 1980-1983, Todung pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Bantuan Hukum. 

Pada 1983, ia menerbitkan buku berjudul In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990. Buku itu dianggap berperan penting menerangkan pemikiran demokratis tentang hak asasi manusia di Indonesia. 

Ia juga pendiri perusahaan firmanya sendiri di Jakarta yang telah menangani banyak kasus hak asasi manusia, sebagian besar adalah pro bono, alias cuma-cuma. Salah satunya adalah kasus yang melibatkan Bali Nine.

Pada 2014, ia ditunjuk sebagai profesor kehormatan di Melbourne Law School, Melbourne University dan Doctor Honoris Causa dari Murdoch University.

Agustinus Agung Wijaya 

Agustinus mempunyai pengalaman selama 15 tahun di penelitian dan advokasi untuk hak asasi manusia, demokrasi dan pemerintahan, resolusi konflik, proses perdamaian, dan isu deradikalisasi. 

Ia juga pernah menjadi peneliti di hukumonline.com, Koordinator Studi Strategis di Pusat Studi Demos, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi; Konsultan UNDP di Aceh; direktur program dan penelitian di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); dan asisten Program Direktur di Australia Indonesia Partnership for Decentralization (AIPD).

Sri Suparyati

Sri adalah Wakil Direktur di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Ia bekerja di KontraS sejak Maret 1999 sebagai kepala divisi legal, divisi advokasi, divisi kebijakan hak asasi manusia.  

Ia sebelumnya menempuh S2 di Universitas Hull di Inggris. Ia juga ahli di bidang peradilan transisional, kriminologi, dan hak asasi manusia.  

Antarini Arna

Antarini adalah pegiat dan peneliti hak asasi manusia. Ia pernah menjadi jaksa untuk Women’s International War Crimes Tribunal untuk kasus Perbudakan Seksual oleh Jepang pada 2000.

Ia juga menjadi pengacara untuk Pengadilan Rakyat Asia Pasifik di Asian Development Bank pada 2009. Ia tertarik dengan kajian gender dan hak asasi manusia, anak-anak yang bermasalah dengan hukum, dan modernitas. 

Uli Parulian Sihombing

Uli bekerja di Indonesian Legal Resource Center (ILRC).  Ia juga merupakan dosen tamu di Swiss German University di Tangerang, Banten.

Bahrain Makmun

Bahrain adalah pegiat hak asasi manusia. Sejak 2012, ia bekerja sebagai Direktur Advokasi dan Kampanye untuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!