Mengungkap kebenaran tragedi 1965 tanpa negara

Rika Theo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengungkap kebenaran tragedi 1965 tanpa negara
Rangkuman jalannya Pengadilan Rakyat Internasional tragedi 1965, hari pertama

DEN HAAG, Belanda—Sudah tujuh kali pergantian presiden sejak reformasi, tapi ada satu hal yang belum juga dapat dipenuhi pemerintah. Adalah upaya mengadili dan mengungkap kebenaran kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih selalu mentok.

Namun di Hari Pahlawan kemarin, Selasa, 10 November, gabungan aktivis, korban, akademisi, pengacara, dan jurnalis mengawali langkah ini di Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT).

Babak gelap Peristiwa 1965, satu dari tujuh pelanggaran berat HAM masa lalu, dibuka di muka para hakim di Den Haag, Belanda. 

Penuntasan kasus pelanggaran berat HAM ini juga menjadi janji kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo masuk dalam Nawacita, sekaligus termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

Pengadilan Rakyat Internasional yang digelar di Den Haag melangkah lebih cepat dari Pemerintah. 

Pengadilan ini digagas secara spontan usai pemutaranThe Act of Killing dalam festival Movie That Matters di Den Haag, 22 Maret 2013.

Pada waktu kumpul-kumpul itu, sutradara film tersebut Joshua Oppenheimer bertanya kepada komunitas eksil dan aktivis yang hadir.

“Dia bilang, saya sudah melakukan yang terbaik yang saya bisa sebagai peneliti dan sutradara. Sekarang kalian mau melakukan apa?’ Semua orang terdiam. Apa yang bisa dilakukan? Waktu itu kita sudah lelah, hasil penyelidikan Komnas HAM saja ditolak,” kata Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Umum Yayasan IPT 1965.

Sampai akhirnya terbersit usul untuk melakukan sendiri pengungkapan kebenaran di forum internasional. Jalannya, melalui IPT.

Pengadilan ini memang bukan pengadilan biasa yang menuruti mekanisme formal pemerintah atau badan internasional. Pengadilan ini bentukan masyarakat sipil yang otoritasnya berasal dari suara korban kejahatan kemanusiaan. 

Ia melakukan penyelidikan hukum atas kasus HAM yang ditinggalkan negara. Sekalipun bertugas membuktikan tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM, IPT tak berwenang memberi sanksi hukum.

Tanpa KBRI

IPT 1965 mengumpulkan bukti dan kesaksian dari korban maupun saksi ahli atas apa yang terjadi setelah enam jenderal dan satu letnan dibunuh di malam 30 September.  Hasilnya, jaksa penuntut yang dipimpin Todung Mulya Lubis menyampaikan 9 dakwaan atas negara.

“Tragedi 1965 menceritakan lebih dari pembunuhan massal. 1965 juga menceritakan perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, penganiayaan melalui propaganda, dan keterlibatan negara lain yaitu Inggris, Amerika Serikat, dan Australia,” kata Todung.

Kesembilan dakwaan ini merupakan kejahatan kemanusiaan oleh negara Indonesia pada masa lalu, terutama militer dan aparat negara bersama dengan beberapa elemen ormas. 

“Namun sadar maupun tidak, ada sikap yang mendorong untuk melupakan masa lalu, dan fokus ke masa depan. Jangan menengok, jangan buka luka lama. Tapi lukanya tak pernah sembuh. Untuk menyembuhkannya kebenaran harus dikatakan,” kata dia.

Nursyahbani menyatakan pentingnya pengungkapan kebenaran karena hingga hari ini pelaku kejahatan kemanusiaan tak tersentuh. Para korban tak direhabilitasi dari stigma yang melekat.

“Tujuan kami adalah proses penyembuhan. Sejauh sejarah Indonesia masih terdistorsi dalam sistem pendidikannya, negara tak bisa belajar dari masa lalu, Tak ada jaminan pelanggaran ini takkan berulang.” jelasnya.

Sayangnya, tak ada perwakilan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda yang bisa mendengar langsung hal ini. Padahal hakim bertanya, apakah ada pihak lain yang ingin menyampaikan sesuatu, misalnya dari pemerintah Indonesia?

Tak ada seorang pun yang maju. Ketika dikonfirmasi, KBRI membenarkan ketidakhadirannya.

“Karena seperti yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri bahwa, ‘Kasus ini sudah ditutup. Kita harus lihat ke depan, kita bangun Indonesia sebagai bangsa yang besar dan peristiwa itu menjadi pelajaran buat kita. Sehingga kita bisa dan harus move forward,'” kata Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI Den Haag Azis Nurwahyudi dalam rilisnya.

IPT 1965. Suasana usai pidato Todung Mulya Lubis sebagai jaksa dalam International People's Tribunal traegdi 1965 di Den Haag. Foto oleh Rika Theo/Rappler

Butuh Tiga Maaf

Jika bagi pemerintah kasus perlu ditutup, justru sebaliknya bagi sejarawan Asvi Warman Adam, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sebagai saksi ahli untuk dakwaan perbudakan, Asvi menjelaskan dengan rinci bahwa pembuangan para tahanan politik ke Pulau Buru tidak hanya penahanan, tapi juga perbudakan.

“Beda dengan dipenjara. Mereka dibawa tanpa diadili, tanpa tahu mau ke mana, tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Mereka terisolir dan melakukan kerja paksa dari jam 4 pagi sampai 10 malam,” kata dia.

Pembuangan para tahanan politik ke Pulau Buru dimulai tepat pada hari kemerdekaan tahun 1969. Para tahanan diambil paksa dari berbagai tahanan. Lalu mereka diangkut dengan kereta api yang semua jendelanya tertutup plang kayu. 

Sampai Tanjung Priok, mereka naik kapal menuju Nusa Kambangan, baru selanjutnya menuju Buru. Sampai di sana, mereka harus bekerja membangun barak dan membuka lahan sendiri tanpa alat yang disediakan. Mereka pun tidak boleh berhubungan dengan penduduk setempat, bahkan dengan orang Bugis yang berada di pelabuhan.

Asvi menganalisis bahwa pembuangan ini terkait Pemilihan Umum yang akan berlangsung tahun 1971. Sebab, pemerintah Suharto menganggap mereka berbahaya. “PKI sudah dilarang sehingga mereka bukan peserta pemilu. Tapi pemerintah khawatir mereka bisa mempengaruhi masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, kepada para tahanan yang mengalami perbudakan di Pulau Buru inilah pemerintah wajib minta maaf. Pasalnya, jelas bahwa pembuangan belasan ribu tapol di Buru ini merupakan komando negara.

Ada dua maaf lagi yang menurut Asvi relevan dilakukan pemerintah. Maaf kedua tertuju pada kaum eksil, pelajar dan pekerja Indonesia yang tak bisa pulang karena dicabut kewarganegaraannya. “Pemerintah bersalah dalam hal mencabut kewarganegaraan mereka,” ujarnya.

Maaf ketiga adalah untuk korban stigma PKI. Ia mencontohkan pada tahun 1981, Menteri Dalam Negeri waktu itu menyatakan siapa saja yang terlibat PKI dan anak-anaknya dilarang menjadi PNS dan ABRI.

Negara perlu meminta maaf karena kebijakan ini jelas bertentangan dengan konstitusi.

“Isu pemerintah Jokowi meminta maaf pernah diplesetkan sebagai permintaan maaf pada PKI. Saya sendiri berpendapat Presiden meminta maaf harus pada kasus yang konkret dan jelas,” tegasnya.

Namun salah satu saksi yang mengalami penyiksaan, sastrawan Martin Aleyda, mengaku dirinya tak perlu maaf. “Yang saya inginkan adalah pengakuan kebenaran dan sejarah ditulis kembali.”

Kejahatan yang terencana dan meluas

IPT 1965. Martono, seorang pembawa mayat korban pembantaian massal 1965. Ia mengaku membawa sekitar 20-25 mayat tiap akhir pekan. Foto oleh Rika Theo/Rappler Pada hari pertama pengadilan kemarin, jaksa memeriksa para saksi untuk dua tuduhan yaitu pembunuhan dan perbudakan. Para saksi mengisahkan yang pembunuhan massal yang terjadi di Solo, Wonosobo, Nusa Tenggara Timur, dan Bali.

  • Martono dari Solo. Martono mengaku dipaksa bertugas membuang mayat dari markas CPM ke Sungai Bengawan Solo. Ia melakukannya setiap hari, selama dua tahun antara 1967-1969. “Hari biasa dua atau tiga mayat, di akhir pekan bisa 20,” tuturnya.
  • Saksi ahli Ferry Putra dari Wonosobo. Ia menyampaikan hasil penggalian atas kuburan massal di sana pada tahun 2000. “Terdapat totalnya 21 tulang di hari ketiga. Tapi kemungkinan bisa lebih karena setelahnya masih ditemukan beberapa tulang lagi,” ungkapnya.  Dari susunan tulang-tulang itu, para dokter forensik menyimpulkan bahwa eksekusi terjadi dalam waktu singkat. Para tahanan berbaris berhadap-hadapan. Lalu mereka diberondong peluru dengan senjata laras panjang dan pendek. Mereka pun tumbang ke lubang dan dipendam di tempat itu.
  • Ibu Ngesti dari Nusa Tenggara Timur. Ibu Ngesti menceritakan penelitiannya atas penembakan di enam lokasi sepanjang 1965-1966. Aparat polisi dan TNI sekaligus berperan sebagai regu penembak. Sementara anggota masyarakat, termasuk pejabat lokal dan tokoh-tokoh gereja, bertugas menangkap dan membawa korban ke tempat pembantaian.  
  • Saksi ahli Lesley Dwyer dari Bali. Ia mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa ada 100 kuburan massal di Bali. “Terdapat 80.000-120.000 korban atau 5-8 persen penduduk Bali pada waktu itu,” ujarnya. Ketika operasi pengganyangan PKI sudah dimulai beberapa saat setelah penembakan para jenderal, di Bali baru dimulai Desember 1965. “Setelah militer datang. Mereka dibantu ormas dan masyarakat setempat. Di Bali Selatan, militer berkolaborasi dengan PNI. DI Bali Barat, dengan Ansor yang didatangkan dari Jawa Timur,” kata dia.

Selain di keempat tempat itu, para jaksa menemukan pembunuhan meluas di berbagai wilayah lain seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Aceh.

Di Aceh dan Kalimantan Barat, korbannya adalah penduduk keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa di Kalimantan Barat banyak bergabung di Pasukan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS).

PGRS yang berideologi komunis ini dibentuk Presiden Sukarno di tengah konfrontasi dengan Malaysia. Sedangkan pembunuhan Tionghoa di Aceh terjadi antara akhir Oktober-November 1965.

Mereka yang dibunuh termasuk anggota Baperki, organisasi nonpolitik untuk orang Tionghoa yang didukung PKI dan Presiden Sukarno.

Apakah semua bukti ini sudah cukup?

Salah satu jaksa penuntut, Uli Parulian Sihombing, menilai bukti dan fakta dari saksi sudah memuaskan. “Saya optimis, banyak fakta yang mengungkap tabir,” kata dia. 

Meski perwakilan pemerintah tidak hadir. Meski negara tak menyaksikan. —Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!