Perempuan minta seks ke pasangan, kenapa harus merasa bersalah?

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perempuan minta seks ke pasangan, kenapa harus merasa bersalah?
Untuk bisa menggemari seks, perempuan perlu nyaman dengan dirinya sendiri dulu. Kenapa harus merasa bersalah jika merasa nyaman?

Saya akan menulis ini dengan sedikit curhat di awal. Saya sedang tidak menikmati seks. Lebih karena masalah psikologis dan emosional (lagi sedih), dibandingkan masalah fisik. 

Kembali ke tulisan saya dua minggu sebelumnya tentang masturbasi, bagi perempuan seks memang selalu rumit.

Karena itu, perempuan butuh banyak hal sebelum akhirnya memutuskan untuk seks. Perempuan butuh alasan, bukan cuma alas.

Alasan yang paling utama adalah kenyamanan. Terutama kenyamanan psikologis. Kedekatan emosional. Enough said. Karena itu kalau ada perempuan “minta jatah” ke pasangannya, berarti perempuan itu sudah sangat nyaman dengan pasangannya (bisa saja sih, untuk membuktikan sesuatu, tapi faktor emosional dan sisi gelap seks belum akan saya bahas di sini saat ini). 

Perempuan itu sedang bahagia dan nyaman, baik dengan pasangannya maupun dengan dirinya sendiri. Merasa seksi. Merasa cantik. Atau kalau saya, sedang merasa senang karena tulisannya jadi viral atau dipuji klien (workaholic memang).

Kebayang enggak, kesalnya dibilang “kaya kucing birahi” ketika sedang menggelendot manja ke pasangan (kisah seorang teman perempuan saat cigarette break yang sukses bikin saya ketawa lepas suatu siang)? Atau ditolak dengan alasan, “Besok pagi harus presentasi”.

Apa yang salah dari menjadi proaktif dan meminta seks duluan? Entah dari mana asalnya penghambat mental yang sebegitu tertanam dalamnya di alam bawah sadar perempuan yang menjadikannya hampir selalu sebagai yang menerima, atau at the receiving end of sex. Kalau jadi inisiator itu tadi, akan diejek “kaya kucing birahi”.

Seks seharusnya bukan perkara menang-kalah, atau memberi-menerima dalam batasan yang rigid. Seks seharusnya sesuatu yang menyenangkan, yang fluid dengan pergantian peran (role reversal) yang bebas, yang menyenangkan, dan fulfilling.

Apa yang salah dari menggemari seks? Untuk bisa menggemari seks pun perempuan sudah menempuh perjalanan panjang, lho. Sexuality is something inherent and comes naturally, but sex is not. Sex is an acquired taste, or acquired knowledge. Perempuan mau masturbasi saja merasa bersalah. Apalagi menggemari seks.

Coba sekarang saya lemparkan pertanyaan ke pembaca perempuan. Siapa yang benar-benar menikmati dan menggemari seks dan menikmatinya tanpa rasa bersalah, baik dengan pasangannya maupun apapun status hubungannya? (Stop. Polisi moral berhenti baca di sini, ya). 

Saya pikir tidak banyak. 

Untuk bisa menggemari seks, perempuan perlu nyaman dengan dirinya sendiri dulu. To be comfortable in their own skin. Perlu nyaman dengan dirinya sendiri, tahu apa yang dia mau, dan tidak takut memintanya. 

Tidak hanya untuk nyaman telanjang, namun juga untuk berani meminta apa yang dia inginkan dari rekan seks. Untuk berani bilang dia menikmati seks jika A, jika B, jika C. Perlu berani bilang seks yang dia terima busuk dan si rekan seks harus work on it.

Perlu menghilangkan penghambat mental yang mengatakan “perempuan tidak pantas meminta seks”, “perempuan harusnya menikmati seks, apapun gaya goyangan yang dilakukan atau diminta si laki-laki”, “perempuan harus bisa memuaskan laki-laki”, dan segudang “harus” yang terucap atau tak terucap yang membuat pikiran perempuan ruwet. Bahkan hanya untuk bilang, “Lagi pengen banget. Kamu?”

Semua perjalanan psikologis itu hasilnya adalah rasa percaya diri paripurna yang memancar meski hanya lewat tatapan mata (tampil seksi dan sultry butuh latihan, meski saya percaya semua perempuan itu seksi dari dalam).

Perempuan harus utuh dulu, mengenali diri sebelum bisa menikmati dan meminta seks tanpa rasa bersalah.

Perempuan perlu jadi utuh untuk bisa menikmati, meminta, dan juga untuk menolak seks, apapun alasannya, kekecewaan, ketidaknyamanan, kelelahan, tanpa rasa bersalah. Tanpa takut laki-laki akan pergi atau  “jajan”. 

Lagipula dalam seks, perempuan (yang sudah utuh, percaya diri, dan tahu apa yang dia mau) tidak perlu membuktikan apapun, bukan? 

Setelah segala perjalanan panjang itu, perempuan cuma perlu orgasme, kok — yang akan dibahas di edisi berikutnya, ya. —Rappler.com 

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!