#PHVote

Kayin Haryoto: Guru SD yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru

Kayin Haryoto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kayin Haryoto: Guru SD yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru
Selama interogasi itu saya dipukuli hingga pingsan, lalu disiram air dingin, kemudian dipukuli lagi


Nama saya Kayin Haryoto, saya lahir pada tanggal 20 Oktober 1932.

Seperti orang kebanyakan pada masa itu, agar dapat masuk sekolah rakyat, tanggal lahir saya didaftarkan sebagai kelahiran 1935. Saya bersekolah di SR Magelang (sekarang SMP Negeri 2 Magelang), tamat SGA, kemudian menjadi guru.

Saya menikah dengan istri pertama saya dan dikaruniai 3 orang anak. Kami tinggal di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah. Saya bekerja menjadi guru dengan golongan E2, beberapa tahun kemudian menjadi Kepala SD Wanadadi, Banjarnegara.

Saat itu saya tidak pernah terlibat dalam organisasi politik apa pun. Dan seperti orang Indonesia kebanyakan, saya mengagumi sosok Bung Karno dan ideologinya.

Kehidupan saya berubah 1 November 1965. Saya tiba-tiba ditangkap ketika mengajar dan dibawa ke kantor polisi Wanadadi. Saya ditangkap atas dugaan terlibat gerakan komunis/PKI —yang baru saya ketahui setelah interogasi.

Saya ditahan di kantor polisi, pada hari ke-11 saya diinterogasi, saya dihajar hingga babak belur agar mengaku bahwa saya simpatisan PKI. Saya teguh dengan pendirian saya, karena memang saya bukan simpatisan PKI.

Beberapa jam interogasi, polisi yang menginterogasi saya melemparkan kertas yang menyatakan bahwa saya menyiapkan pemberontakan dengan mengumpulkan Pemuda Rakyat dan menerima satu truk senjata. Saya membaca laporan tersebut, yang dibuat oleh Wedana Desa Wanadadi.

Saya diinterogasi dari pukul 22.00 malam sampai 04.00 pagi . Selama interogasi itu saya dipukuli hingga pingsan, lalu disiram air dingin, kemudian dipukuli lagi. Saya masih beruntung karena kemudian dikembalikan ke dalam sel. Biasanya, tahanan yang diambil untuk diinterogasi pada malam hari (pukul 22.00) tidak akan kembali lagi ke sel (tewas).

Saya ditahan di Banjarnegara selama kurang lebih 3 bulan. Interogasi tidak menghasilkan apa-apa, saya pun tidak dilepas. Setelah itu saya dikirim ke Nusakambangan. Saya ditahan di Nusakambangan selama 5 tahun.

Kartu pos yang dikirim oleh keluarga saya, mengabarkan bahwa anak-anak dan orang tua masih sehat. Kartu pos inilah satu-satunya cara mendapatkan kabar dari rumah yang jauh di seberang pulau.
Setelah mejalani tahanan selama total 14 tahun, saya dilepas karena masa tahanan telah habis. Selama ditahan, saya masih beberapa kali mengirim kartu pos kepada keluarga saya baik selama di Nusakambangan dan Pulau Buru.
Kemudian saya dipindah ke Pulau Buru, di suatu tempat bernama Kamp Pengasingan, Savana Jaya, Unit 4. Pulau Buru saat itu hanyalah hutan belantara dengan beberapa tiang penanda blok. Hutan belantara itulah yang menjadi tempat tinggal saya selama 9 tahun berikutnya.

Tugas kami para tahanan adalah membabat alas, kemudian membangun barak tempat kami tinggal. Selama di Pulau Buru, saya sudah terbiasa melihat mayat sesama tahanan terdampar di pinggir pantai setelah beberapa hari sebelumnya mereka dijemput oleh tentara yang bertugas di situ.

Setelah bebas
Setelah saya bebas, saya kembali ke Banjarnegara dan menyadari bahwa apa yang saya miliki telah habis. Istri saya sudah membangun keluarga baru dengan orang lain, anak-anak saya ikut dengannya, dan saya dilarang menemui mereka.

Akhirnya saya kembali ke Magelang. Sekitar tahun 80an saya bertemu dengan seorang janda beranak satu, kami membina keluarga baru.

Kami kemudian pindah ke Wonosobo, saya memulai hidup baru sebagai peternak ayam. Meskipun saya sudah bebas, saya masih terus diwajibkan untuk lapor ke Koramil dua minggu sekali. Usaha ternak ayam saya habis karena tetelo dan saya ditipu oleh sahabat saya sendiri, hingga usaha saya bangkrut. Kemudian saya pindah ke Magelang, tinggal di rumah warisan orang tua saya di dusun Dompelan, Tegalrejo.

Saya mengirimkan surat kepada Presiden untuk minta rehabilitasi dan kompensasi atas penahanan selama 14 tahun.

Rumah ini pun harus saya jual, karena konflik soal balik nama kepemilikan tanah dengan keponakan-keponakan saya sendiri. Saya mengalah, saya kemudian pindah ke daerah lain di Magelang.

Saat itu tidak mungkin saya mencari pekerjaan di mana pun karena saya adalah bekas tahanan politik. Menjadi bekas tahanan politik juga membuat saya selalu kalah di mana pun termasuk ketika mengurus hak kepemilikan tanah warisan.

Karena segala keterbatasan itu, istri sayalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Saya membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sedikit-sedikit membantu mencari tambahan uang dengan membuat dan berjualan telor asin.

Pada tahun 2009, saya mengirimkan detail kronologi peristiwa yang saya alami ke Komnas HAM dan Presiden SBY. Saya sangat berharap pemerintah dapat memberikan keadilan bagi saya dan keluarga saya. Tapi tidak ada balasan.

Kini Pengadilan Rakyat Internasional telah merekomendasikan agar negara bertanggung jawab. Saya berharap rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah agar para korban mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi, demi rasa keadilan, kebenaran dan kemanusiaan yang adil dan beradab. —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!