Pergantian wajah Paris: Kota cinta, teror, dan perlawanan

Rika Theo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pergantian wajah Paris: Kota cinta, teror, dan perlawanan
'Kejadian ini adalah kegilaan yang diperbuat segelintir orang. Kami sedih, tapi kami tetap hidup. Kami tidak ingin teroris menang, kata seorang warga Paris

PARIS, Perancis — Dua ribu tahun silam, kota itu bernama Lutetia. Kini ia adalah Paris dan memiliki berbagai nama. Sebut saja kota cahaya. Kota cinta. Kota fesyen. Kota tempat menikmati makanan dan minuman, seni dan budaya.

Kota Kegembiraan yang menjadi rumah para Parisian, asli maupun pendatang, merayakan hidup. Julukan-julukan glamor ini melekat sampai Jumat berdarah, 13 November, pekan lalu. 

Menyusul penembakan atas jurnalis-jurnalis majalah Charlie Hebdo pada Januari 2015, kali ini teror menyasar Parisian biasa yang tengah bersantai menikmati hidup. Sekitar 132 orang tewas dan 350 luka-luka oleh tembakan peluru dan bom bunuh diri yang didalangi oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Banyak yang menduga-duga, setelah tragedi ini, Paris akan berubah menjadi kota seperti apa? 

Paris langsung diliputi teror sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Mayat-mayat penikmat musik bergelimpangan di gedung konser Bataclan. Stade de France kacau-balau. Orang-orang menumpuk di stasiun metro atau kereta api, bingung dan takut karena jalur metro dihentikan mendadak. 

Rumah sakit seperti RS Georges-Pompidou penuh sesak dengan pasien kritis. Kaca-kaca dan tembok di banyak kafe di distrik 10 dan 11 kota Paris menjadi sarang peluru.

Dalam sekejap Paris yang gemerlap menjadi kota teror. Sirine ambulan dan polisi memenuhi kota.

Pemerintah Perancis segera menetapkan status darurat untuk Paris. Malam itu juga Presiden Francois Hollande menutup pintu perbatasan negerinya. Warga diimbau agar menjaga keselamatan dan tidak keluar rumah.

Sabtu pagi, aroma kegembiraan atau joie de vivre khas Paris surut. Warga memilih untuk berdiam di rumah, termasuk juga warga Muslim Perancis.

“Saya tak berani keluar rumah. Selain takut, saya sedih dan malu atas apa yang terjadi. Para teroris itu mengatasnamakan Islam, padahal Islam jauh dari apa yang mereka perbuat,” kata Sara, seorang perempuan muda yang, ketika bertemu Rappler, sedang menunggu temannya di depan Masjid Agung Paris, Selasa, 17 November.   

Berbeda dengan Sara, Sabina yang mengenakan hijab panjang warna hitam menceritakan pengalamannya di sebuah rumah sakit. Perempuan asal Aljazair ini menengok neneknya di sana, hari Sabtu itu.

“Ketika saya berjalan masuk, saya merasakan semua mata di rumah sakit itu menatap saya dengan aneh. Namun mereka tak mengatakan apa pun,” tutur Sabina.

Begitu juga dengan Milun, seorang pria Aljazair yang besar di Perancis dan bekerja sebagai ahli finansial. “Tentu apa yang terjadi akan berdampak bagi saya yang memiliki penampilan fisik Arab. Tapi tak apa sebab saya besar dengan perbedaan ini, jadi saya bisa mengerti. Saya tetap bisa menjalani hidup saya,” ujarnya.

Ketiganya sama-sama mengaku sedih dan terpukul dengan apa yang terjadi. Mereka menegaskan apa yang terjadi sama sekali bertentangan dengan agama Islam. Sebab Islam adalah agama damai.

“Ini sudah sering dikatakan tapi saya pikir tak banyak orang mengerti. Orang-orang ini juga menyerang orang Muslim sendiri,” kata Milun.

Ketiganya juga satu suara bahwa serangan ini akan memperumit situasi masyarakat Muslim di Perancis.

“Yang menjadi korban adalah kami. Padahal sejak kejadian Charlie Hebdo di Januari, suasana sudah membaik,” kata Sara yang mengaku was-was.

Namun ia menambahkan, sampai saat ini warga Muslim di Paris belum pernah mendapat serangan kekerasan dari siapa pun.

MASJID AGUNG. Masjid Agung Paris masih berada dalam penjagaan polisi. Foto oleh Rika Theo/Rappler

Sejak hari kejadian sampai terakhir Rappler mengunjunginya Selasa, 17 November lalu, Masjid Agung Paris masih berada dalam penjagaan polisi. Namun, warga Muslim tetap berdatangan untuk beribadah seperti biasa.

Imam Masjid Besar Paris Dalil Boubakeur mengundang para Muslim dan Muslimah untuk menghadiri aksi bersama pasca. Mereka diharapkan untuk menyuarakan “Katakan Tidak untuk Teror” dan juga “Kita Semua adalah Paris.” 

Paris merupakan kota dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di Perancis. Menurut data Brookings Intitute di tahun 2000, jumlahnya mencapai 1,7 juta orang, dari 11 juta populasi Paris.

Sedangkan jumlah Muslim di seluruh Perancis mencapai 5 juta orang atau sepertiga dari jumlah Muslim di Uni Eropa. Angka ini menjadikan Perancis sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di Uni Eropa. 

Kisah warga Indonesia

Pada hari kedua setelah aksi teror, kota Paris menggeliat lagi. Sebagian toko sudah buka. Warga sudah bisa duduk-duduk menikmati makan siang atau ngopi di depan bistro-bistro khas Paris.

Metro sudah beroperasi kembali, dengan hanya dua jalur yang ditutup. Salah satu halte yang ditutup adalah halte Oberkampf, halte yang terletak paling dekat dengan gedung konser Bataclan.

Warga pun tumpah ruah di lokasi-lokasi penembakan dan bom, seperti di restoran Le Petit Cambodge dan Café Bonne Bière. Bunga, surat, dan lilin bertebaran di depan keduanya.

Sebagian orang berdoa dalam haru. Sebagian lagi mengabadikan peristiwa itu dalam foto. Media lokal maupun asing juga berdatangan dan sibuk mengambil gambar.

Jarak antara kafe-kafe itu satu sama lain tak jauh. Hanya Bataclan yang sedikit terpencar. Pada hari itu, jalan di depan Bataclan masih ditutup sekitar 300 meter dari lokasi kejadian. Orang-orang pun hanya boleh puas memasang lilin di dekat pagar pembatas.

Tak seberapa jauh dari Bataclan, kita bisa berjalan kaki menuju Lapangan Republik. Di sini adalah lapangan besar tempat orang biasanya mengadakan aksi massa maupun hiburan.

Matahari bersinar cerah sepanjang hari itu. Warga Paris, tua-muda, dan anak-anak mengitari monumen di tengah Lapangan Republik untuk memasang lilin dan bunga. Tak hanya itu, mereka juga bertepuk tangan, menyanyi, dan saling menyemangati.

Tapi keriaan itu tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Sehabis senja, tiba-tiba muncul suara ledakan. Warga pun berhamburan mencari perlindungan. 

(BACA: Dikira suara tembakan, bunyi petasan picu kepanikan warga Paris)

Ketika itu, Rappler sudah meninggalkan lokasi untuk berbincang bersama beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Paris. Kebanyakan dari mereka berada jauh dari lokasi kejadian dan tak mengalaminya langsung.

Kedutaan Besar Republik Indonesia pun sudah memastikan tak ada orang Indonesia yang menjadi korban. Saat ini Paris adalah rumah kedua bagi 300 mahasiswa dan 2.000-an warga Indonesia.

Satu dari segelintir warga Indonesia yang menjadi saksi mata adalah Gustie Arviando Bagaskara. Mahasiswa yang sedang kuliah di Universitas de Cergy Pontoise ini terjebak di kerumunan orang di stasiun metro dekat Stade de France. “Ledakan bom yang kedua jaraknya hanya 200 meter dari saya,” ujarnya.

Ketika itu, Arvi, begitu ia dipanggil, hendak mengantar dua temannya dari Amsterdam dan Berlin untuk naik bus pulang. Tak dinyana jam 10 malam itu, tram yang ingin mereka naiki tak berjalan lagi.

Mereka harus pergi dan mengantre panjang di stasiun metro. “Saat itulah terdengar ledakan. Semua orang histeris, lari ke bawah stasiun, banyak anak kecil terhimpit. Saya dengar orang bilang, teroris, teroris!” tuturnya.

Arvi tak bisa pulang malam itu ke tempat tinggalnya di pinggir selatan Paris. Ia dan kedua temannya memutuskan untuk menginap di KBRI.

Wakil Duta Besar Indonesia di Perancis Ashari Yadi juga tak kalah deg-degannya. Pasalnya, anak lelakinya berada dalam stadion untuk menonton pertandingan sepak bola persahabatan antara Perancis-Jerman malam itu.

Baru beberapa lama setelah selesai pertandingan, ia mendapat kabar dari anaknya. “Penanganan mereka bagus. Presiden disuruh keluar diam-diam. Setelahnya, stadion ditutup, tak ada yang boleh masuk atau keluar. Penonton tak diberitahu sampai acara selesai. Dengan begitu tak ada kepanikan massa,” ujarnya.

Ia menceritakan bahwa sejak malam dan pagi itu, KBRI bukan main sibuknya. Untunglah warga Indonesia di Paris juga sudah mengorganisir dirinya. Mereka mengecek anggotanya sendiri lalu melaporkan kondisi mereka ke KBRI. 

Rinta Arindita Koestor, mahasiswa Universite Paris 7, mengatakan bahwa ia dan teman-temannya saling mengecek keberadaan masing-masing dalam grup penerima beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).

“Malam itu semua memberi kabar lewat WhatsApp, tapi data baru lengkap di pagi harinya. Semuanya safe,” ujar Rinta.

STAY SAFE. Mahasiswa Indonesia di Paris saling mengecek keselamatan saat tragedi pada Jumat, 13 November 2015. Foto oleh Rika Theo/Rappler

Uniknya, sejak Senin, 16 November, para mahasiswa sudah masuk kuliah seperti biasa. Bedanya hanyalah penjagaan masuk kampus yang agak ketat. Tak ada yang berbeda dalam perkuliahan.

Muhammad Azkar yang kuliah di Universitas Anger jurusan Pariwisata berkata ia tak pernah menerima perlakuan rasis dari teman-teman di kampus. “Teman-teman di kelas internasional rata-rata terbuka,” ujarnya.

Namun ia pernah diperiksa sangat lama di bandara Paris dengan tas bagasi yang dijebol. Ia curiga ini semua gara-gara namanya.

Sedangkan di tempat-tempat umum lain hanya terlihat polisi. “Tapi tidak memeriksa orang per orang. Situasi berjalan biasa. Bahkan di hari pertama setelah serangan, saya keluar menuju lokasi, metro sudah berjalan. Toko-toko sudah buka,” kata Eduardo Airlangga Gresanta, mahasiswa Universitas Paris Sorbonne.

Ia pun melihat orang-orang sudah beraktivitas biasa, mulai dari jogging, jalan-jalan bersama anjingnya, hingga berbelanja.

Para mahasiswa Indonesia ini menyatakan serangan ini tak membuat mereka cemas. Apalagi jika menyangkut risiko perlakuan diskriminatif soal agama.

“Kami jarang mengalaminya di kampus. Mungkin karena orang Indonesia lebih dilihat sebagai orang Asia, bukan agamanya. Secara penampakan kita lebih mirip orang Asia,” kata Esa Lanang Perkasa, mahasiswa Universitas Paris Saclay. 

Menurutnya, di Perancis, perlakuan terhadap orang Asia relatif lebih baik ketimbang orang Timur Tengah maupun Afrika. Senada dengan Esa, Eduardo membenarkan, “Orang-orang di sini tak pernah bertanya-tanya kita beragama apa. Agama itu masalah private. Perbedaan perlakuan itu seringkali justru soal mereka dari negara maju dan kita dari negara berkembang,” imbuhnya.

Paris melawan teror

Di hari ketiga setelah serangan, Paris hampir menjadi Paris yang dulu. Beberapa hotel yang Rappler datangi terisi penuh. Orang-orang memadati metro dan bus. 

Kota Paris bernafas lagi walaupun Presiden Hollande mengatakan status darurat akan berlangsung selama tiga bulan, usai Perancis menyatakan perang terhadap ISIS.

Walaupun Perdana Menteri Prancis Manuel Valls mengungkapkan, setidaknya 10.500 orang di Prancis masuk ke dalam Fiche S atau dicurigai telah diradikalisasi. Warga Paris punya cara sendiri untuk mengatasi teror di kota mereka. 

Selasa lalu misalnya, Twitter ramai dengan hashtag #jesuisenterrace yang mengajak Parisian mengangkat gelas. Minum di teras-teras kafe yang menjadi kebiasaan di Paris kini menjadi simbol perlawanan.

Pada poster, surat, dan pesan-pesan tertulis yang diletakkan bersama bunga dan lilin, tampak juga perlawanan ala Paris. Misalnya, simbol peace dengan Menara Eiffel sebagai sumbunya.

Ada pula tulisan “Not Afraid”. Lalu simbol hati patah yang diwarnai bendera Perancis. Di atas gedung konser Bataclan, tergantung spanduk besar bertuliskan, “Kebebasan adalah monumen yang tak dapat dihancurkan.” 

TIDAK TAKUT. Warga Paris menulis pesan untuk teroris, "Kami tidak takut," disertai simbol perdamaian. Foto oleh Rika Theo/Rappler

Perlawanan warga Paris saat ini adalah berusaha melanjutkan hidup seperti biasa. “Kejadian ini adalah kegilaan yang diperbuat segelintir orang. Kami sedih, tapi kami tetap hidup. Kami tidak ingin teroris menang, karenanya kami harus hidup seperti biasa sambil mencari solusinya,” kata Antoine Billoin, warga Paris yang sedang menaruh bunga di Bataclan.

Di tempat yang sama, seorang warga Paris bernama Virginia Beaumont mengatakan bahwa serangan ini berdasarkan kegilaan ideologi, bukan agama.

“Buat saya, orang-orang ini bukan Muslim. Muslim dan teroris bukan orang-orang yang sama. Saya tak pernah membaca Qur’an, tapi saya yakin Tuhan takkan memerintahkan untuk membunuh manusia,” ujarnya. 

Hanya saja, menurutnya, pemerintah setidaknya menyetop dulu menerima pengungsi Suriah untuk sementara waktu. Ia khawatir pelaku teror bisa menyelinap masuk bersama pengungsi.

Serangan Paris memang telah mempertajam debat kebijakan Uni Eropa tentang pengungsi. Polandia, contohnya, telah menyatakan tak akan mengikuti kebijakan Uni Eropa soal pengungsi.

Soal ini, Billoin mengakui bahwa warga Perancis pun terbelah soal pengungsi Suriah. Tak banyak pengungsi Suriah yang tinggal di dalam kota Paris. Kebanyakan dari mereka tinggal di kamp pengungsi di Calais, sebelah barat laut Prancis.

“Saya sendiri tak ada masalah. Perancis adalah negara untuk hidup bersama. Permasalahan saya hanya pada sekelompok orang ekstrimis kanan,” ungkapnya. 

Permasalahan ekstrimis atau fundamentalis agama juga menjadi fokus para pendukung National Council of Resistance of Iran (NCRI). NCRI merupakan gerakan oposisi terhadap rezim pemerintah Iran saat ini.

Pada Selasa di depan Bataclan, para pendukung NCRI melakukan aksi solidaritas untuk korban penembakan. Mereka membawa bunga dan obor untuk menyatakan dukungan kepada korban dan keluarganya.

AKSI DAMAI. Anggota NCRI (National Council of Resistance of Iran) yang merupakan gerakan oposisi terhadap rezim pemerintah Iran saat ini melakukan aksi damai pada Selasa, 17 November, di depan Bataclan. Mereka membawa bunga dan obor untuk menyatakan dukungan kepada korban dan keluarganya. Foto oleh Rika Theo/Rappler

“Kami bersimpati karena kami tahu rasanya. Kami adalah korban teror juga yang kehilangan keluarga karena rezim teror di Iran,” kata Siavosh Hosseini, anggota NCRI.

Ia juga menyatakan aksi ini merupakan bentuk protes yang menyerukan agar orang-orang bersatu melawan fundamentalisme.

“ISIS tak ada kaitannya dengan Islam. Kami Muslim dan kami pikir ISIS adalah bentuk fanatisme. Tak ada bedanya apakah itu fanatisme Sunni atau fanatisme Syiah seperti di Iran, kami mengutuk keduanya. Barat juga harus mengutuk teror di mana pun, bukan sekadar demi minyak atau kepentingan ekonomi,” ujarnya. 

Bagi NCRI, Paris adalah kota perlawanan. Ke kota ini, banyak pelarian atau eksil Iran yang lari mencari perlindungan. Ketua NCRI Maryam Rajavi tinggal dan memimpin gerakan oposisi Iran dari Paris.

Kota perlawanan, jadi mungkin itulah Paris sekarang. Serangan Jumat lalu kepada para warga yang sedang menikmati musik, makan, ngobrol, menonton sepak bola, menjadi pertanda bahwa kita semua bisa menjadi sasaran teror para fundamentalis.

Jika serangan pertama dulu menyasar pada jurnalis Charlie Hebdo yang dianggap telah menghina Islam, kini serangan hanyalah serangan.

“Ini bukan hanya serangan untuk orang Perancis, tapi juga dunia. Kalian juga pernah mengalaminya pada waktu Bom Bali,” kata Billion kepada Rappler.

It could be us,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!