Bicara seks: Hidup terlalu singkat untuk orgasme palsu

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Hidup terlalu singkat untuk orgasme palsu
Orgasme, hanya bisa dicapai ketika perempuan merasa nyaman dengan dirinya dan tanpa kekhawatiran


Jujur saja, saya mengalami sedikit kesulitan menulis ini. Saya sudah lama tidak menikmati seks. Apalagi seks yang membuat saya merasa utuh dan terpuaskan. Saya sudah lupa rasanya orgasme. Saya masih ingat sih, seperti apa perasaan setelah orgasme. Namun orgasmenya sendiri, saya sama sekali lupa. Tubuh saya lupa.

Yang selalu saya tekankan adalah betapa rumitnya seks bagi perempuan. Selain secara anatomi berbeda dan lebih rumit (onderdil perempuan di dalam, tidak menggantung keluar dan ekspresif eksibisionis macam penis), kami juga menyikapi seks dengan berbeda. Tidak hanya masalah fisik namun juga psikologis.

Orgasme, apapun definisi medis dan teknisnya, hanya bisa dicapai ketika perempuan merasa nyaman dengan dirinya (utuh, seperti yang saya bilang di tulisan saya minggu lalu) dan tanpa kekhawatiran. Kekhawatiran akan pekerjaan, masa depan, tagihan kartu kredit, uang sekolah anak, chat WhatsApp yang tanpa sengaja terintip saat bersama, rasa bersalah karena lelah dan sebetulnya enggan, ingin diyakinkan, dan sebagainya. Repot kan? 

Kami ngga seperti laki-laki yang yah, mekanisme coming-nya seperti itu. Parameternya jelas. Ada bukti fisiknya. Saya beberapa kali menanyakan masalah “puas atau tidak” ke laki-laki, dan ditatap seolah saya tanda tanya hidup. “Ya puaslah, masa nggak lihat”. 

Nah, tidak demikian dengan perempuan. Orgasme bukan semata masalah fisik. Bukan cuma kontraksi dan membanjir.

Saya ragu, jika parameternya adalah definisi medis dan teknis, maka berapa banyak perempuan yang terpuaskan? Atau… berapa banyak perempuan yang tahu dia orgasme atau tidak.

Saya, setidaknya, tidak merasakan kontraksi sepersekian detik itu. Ya ada perasaan “lepas” sepersekian detik. Tapi tidak seheboh atau semelegakan itu juga. Apalagi ngga sampai squirting, seperti yang dijadikan parameter perempuan orgasme oleh beberapa teman laki-laki yang saya kenal (betapa bokep itu menyesatkan dan menyederhanakan permasalahan).

Tidak senikmat sampai saya lupa ibu kota Mali atau Sudan Selatan. Ya memang, ada rasa nyaman only sex can provide, tapi sekali lagi, setidaknya bagi saya, orgasme tidak memberi kenikmatan surgawi juga. Multiple orgasms? Seingat saya sih pernah. Tapi ya itu, di detik ini saya lupa sensasi rasanya. Sayai ngat saja momennya, ngga rasa yang ditimbulkan akan kenangan tersebut. 

Omong-omong, berdasarkan ingatan saya, ada beberapa tipe orgasme yang saya alami. Ada yang sekali saja, tapi bak Gunung Tambora meletus. Ada pula yang ngga sedahsyat itu, tapi semacam rentetan letupan kecil-kecil bak petasan kala perayaan Tahun Baru Cina.

Harap dicatat, saya ini mewakili populasi perempuan dalam sebuah studi tidak empiris. Jangan percaya dan mengecap saya judgmental. Kalau mau tahu ya tanya pasangan lah.

Lepas dari orgasme, orgasme berganda, atau tidak orgasme bahkan, saya yakin bagi kebanyakan perempuan, ada momen ketika orgasme tak hanya tidak diketahui definisi pastinya, orgasme bisa jadi tidak disadari, dan yang paling penting tidak diperbincangkan. Selain dalam artikel dengan headline bombastis di media online tentu.

Jujurlah, orgasme lantas menjadi sesuatu yang… for convenience’s sake

Berapa banyak perempuan yang memalsukan orgasme daripada pasangan menatap murung dan melukai ego pasangan? (seolah memalsukan orgasme tidak membuat diri merasa merana, baik amat sih jadi perempuan)

Berapa banyak yang memalsukan orgasme atau mengakui dia puas, karena takut pasangannya selingkuh? (yah selingkuh ya selingkuh saja sih, alasan bisa dicari). Daripada saat mengakui “aku nggak orgasme” pasangan curiga kita bercabang (ya kali bercabang, laki-laki satu saja bikin berat badan berkurang, apalagi dua). Daripada menimbulkan perdebatan panjang yang berujung pada ketidaknyamanan dan hubungan yang memburuk, maka ya sudah, palsukan saja orgasmenya biar senang, biar tenang hahaha.

Nah, menurut saya, yang sudah lupa orgasme seperti apa (dan sedang torn sih, ingin intimacy tapi juga enggan intimacy di saat bersamaan hahaha), memalsukan orgasme ya berarti bohong dua kali. Sama diri sendiri dan sama pasangan. Nggak usahlah mikir pasangan, egois sedikitlah. Enggak enak tauk, bohong sama diri sendiri. Sudah jauh-jauh menumbuhkan rasa nyaman dengan diri untuk mau seks, masa orgasmenya bohong. Kalau nggak orgasme ya bilang saja. Daripada masturbasi pas pasangan lelap lalu emosi sendiri (bukan cuma cowo yang emosi kalau ngga tersalurkan atau terpuaskan lho, perempuan lebih subtle aja emosinya).

Kalau nggak orgasme ya bilang saja. Bilang saja apa penyebab nggak bisa orgasmenya. Ketidaknyamanan psikologis kah, pasangan kecepetan (aha!), pasangan foreplaynya kurang atau salah sentuh titik-titik erogen, goyangannya membosankan, ya bilang saja. 

Kalau masih pacaran atau apapun pola relasinya, ngomongnya barangkali lebih enak. Eksperimennya bisa lebih bebas (bisa mengakhiri hubungan lalu segera move on dengan alasan seks, misalnya). Bayangkan seandainya suami-istri. Sudah seksnya jadi mekanis, tidak ada perasaan diinginkan (yang dengan tatapan passionate gitu lho, ngga cuma tatapan minta jatah lalu “ya udah lah yuk daripada berisik”), lalu ngga orgasme (atau tahu orgasme dari orang lain), lalu memalsukan orgasme sekian puluh tahun. Tidaaaaak..!! 

Life is too short for fake orgasms.

Bagaimanapun, orgasme adalah momen sangat jarang bagi perempuan. Saat bisa lepas, bebas, sekaligus utuh, dan nyaman. Yang menjadikan perempuan sepenuhnya terintegrasi dan terkoneksi antara selangkangan dan perasaan dan pikiran. Orgasm is the kind of irreplacable psychological comfort only sex can provide. Yang menjadikannya menatap syahdu pasangannya, atau bangun di pagi hari berpikir “Lucu juga masnya pas bobo” atau “Sialan kenapa gue tiba-tiba sayang”. Yang mana jadi kata kunci untuk bahasan berikutnya: baper, alias bawa perasaan. A big no no dalam pola relasi “friends with benefits”.

Semoga kamu-kamu perempuan di luar sana yang membaca sudah bisa orgasme sebelum tulisan saya berikutnya ya. —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!