Menikahi ibu rumah tangga yang HIV positif

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menikahi ibu rumah tangga yang HIV positif

ANTARA FOTO

Hingga 2015, data Kementerian Kesehatan mencatat ada 9.000 ibu rumah tangga terserang HIV

JAKARTA, Indonesia — Dua laki-laki mundur perlahan saat tahu Hartini positif terinfeksi HIV, sebuah virus penyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Tapi Muhammad Nur Firmansyah bertahan.

Dua minggu setelah Hartini mengungkapkan statusnya sebagai orang dengan HIV dan AIDS (ODHA), pria yang akrab disapa Firman itu melamarnya sebagai calon istri.

Cinta — dan pengetahuan soal ODHA — membuat Firman menerima Hartini, yang saat itu berstatus janda dengan satu anak berusia 15 tahun.

“Yang saya tahu soal ODHA, mereka bisa hidup normal. Saya cinta dia dan mau berkeluarga,” aku Firman.

Firman, yang ketika itu bekerja di perusahaan saham, menikahi Hartini pada 9 November 2013. Kini mereka telah memiliki seorang anak berusia 15 bulan yang HIV negatif.

“Sejak menikah dengan dia, saya juga aktif ikut sosialisasi. Saya sekarang bekerja di LSM dan terus belajar tentang HIV/AIDS,” ungkap pria berusia 34 tahun itu.

Firman telah membawa kehidupan baru bagi Hartini, yang ketika mulai berpacaran dengan Firman sudah aktif di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

“Tetapi saya belum berani ungkap status saya meskipun saat itu sudah sering melibatkan Firman ikut acara-acara HIV/AIDS,” aku Hartini.

”Kamu pakai jilbab, kok kena HIV? Kamu jadi pekerja seks? Kamu pakai narkoba? Kok ODHA gemuk ya?”

Hartini belum mengungkapkan statusnya sebagai ODHA karena khawatir Firman akan meninggalkannya, hingga sampai suatu hari Firman sengaja meminjam sikat giginya.

“Saya tidak kasih. Lalu kami rebutan sikat gigi,” ungkap Hartini, yang sehari-hari bekerja sebagai konselor Pencegahan Penularan Ibu dan Anak (PPIA).

“Lalu saya bilang, ‘Kalau saya HIV positif, bagaimana?’ Dia malah jawab, ‘Memang kamu HIV positif, kan?’ Saat itu saya gemetar, saya takut ditinggalkan dia,” ungkap Hartini. 

Namun ketakutan Tini tidak terjadi. Pria yang ia cintai itu tak pernah meninggalkannya sampai saat ini.

Ibu rumah tangga penderita AIDS tertinggi kedua  

Pernikahan Tini sebelumnya gagal dan ia mewarisi virus HIV dari mantan suaminya. Ia adalah satu dari ribuan ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami mereka.

Data Kementerian Kesehatan 2012 menunjukkan terdapat sekitar 6,7 juta pria menjajakan seks dan mengakibatkan 4,9 juta perempuan menikah dengan pria berisiko tinggi terinfeksi HIV.

Hingga 2015, tercatat ada 9.000 ibu rumah tangga terserang HIV. 

Ibu rumah tangga menempati posisi sebagai kelompok penderita AIDS tertinggi kedua setelah karyawan dengan jumlah kasus 1.044 tahun 2014.

Hartini mengetahui ia HIV positif setelah anak lelakinya yang berusia sembilan bulan meninggal dunia dan divonis HIV positif.

“Sebelumnya, saya tidak percaya anak saya terinfeksi karena dulu mikirnya HIV itu penyakit seks yang hanya menginfeksi pekerja seks dan pecandu narkoba, sedangkan saya seorang ibu rumah tangga yang sangat percaya dengan suami saya,” ujarnya.

Waktu itu suami Hartini menolak diajak menjalani tes HIV dan menganggap anaknya tertular virus tersebut di rumah sakit.

Hartini mengetahui ia HIV positif setelah anak lelakinya yang berusia sembilan bulan meninggal dunia dan divonis HIV positif. Suaminya menolak diajak menjalani tes HIV.

Sampai 2008, kesehatan Hartini terus menurun. Ia mengalami gejala HIV positif, seperti pilek berkepanjangan, jamur di mulut, fungsi lever menurun, anemia berat, serta persentase sel darah putih yang merosot tajam.

“Begitu tahu HIV positif, saya mengurung diri sebulan di kamar,” kata Hartini.

Namun kemudian ia sadar bahwa tidak ada cara lain untuk melanjutkan hidup selain berdamai dengan HIV.

“Saya cepat berdamai, bukan mencari-cari ini virus dari mana. Keterbukaan ini juga bukan untuk menolong diri sendiri tetapi bagaimana menolong orang lain,” ujarnya. 

Hartini pun kemudian memutuskan membuka statusnya sebagai ODHA pada 2011.

“Tadinya hanya keluarga yang tahu. Tetapi saya tidak ingin ada lagi perempuan seperti saya,” kata perempuan berusia 35 tahun itu.

Tampil di muka umum sebagai ODHA, menurut Hartini, bukan hal yang mudah. 

“Orang-orang bertanya, ‘Kamu pakai jilbab, kok kena HIV? Kamu jadi pekerja seks? Kamu pakai narkoba? Kok ODHA gemuk ya?’” tutur Hartini menirukan ucapan orang-orang di sekitarnya.

Tetapi Hartini bertekad menghapus pandangan yang salah di masyarakat tentang ODHA, dan menyampaikan bahwa ODHA juga punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.

“Dengan saya memunculkan diri, orang bisa melihat ODHA baik-baik saja, bahkan bisa meningkatkan kualitas hidup,” ujarnya.

Bahkan, Hartini mengaku memiliki visi-misi hidup sejak menjadi ODHA. Tadinya, ia menyebut dirinya hanya seorang ibu rumah tangga yang naif.

“Setelah jadi ODHA, saya punya visi-misi hidup, dulu enggak. Walaupun hidup sebagai perempuan bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. HIV bukan akhir dari segalanya,” tuturnya.

Hartini menikmati hidupnya meskipun harus konsisten meminum obat anti-retroviral (ARV) seumur hidup untuk menekan pertumbuhan virus.

Ia juga menjalani proses melahirkan secara normal dan tetap memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya di tengah kontroversi pemberian ASI di kalangan ODHA. 

“Saya bahagia, seperti bahagianya mereka yang lain. Saya berdamai dengan virus HIV, bahkan sudah bersahabat. Virus ini baik-baik saja dan di bawah kendali saya,” katanya. —Laporan Antara/Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!