Mematahkan stigma laki-laki terlahir sebagai pemerkosa

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mematahkan stigma laki-laki terlahir sebagai pemerkosa
Tulisan ini adalah bagian dari Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) dari 25 November hingga Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember

Beberapa hari lalu, saya berjalan kaki di trotoar di Jakarta. Hari baru saja selesai hujan. Jalanan macet dan bising. Beberapa pengendara motor yang tak sabaran mencoba menaiki trotoar untuk memotong jalan demi menghindari kemacetan. Seorang perempuan yang tengah berjalan, diserempet dari arah belakang oleh pengendara motor. 

Alih-alih minta maaf, si pengendara mengumpat. “Kalau jalan pake mata dong, goblok!”

Saya terdiam dan tak bisa merespons apapun.

Nalar dan logika saya jelas berpihak kepada si perempuan tadi. Ia menggunakan fasilitas publik untuk pejalan kaki. Si pengendara motor menyalahi kodratnya dengan naik ke trotoar. Lantas saat kecelakaan terjadi, si perempuan yang menjadi korban malah dimaki dan dianggap penyebab kecelakaan. 

Kedunguan macam apa yang membentuk peradaban seperti ini? Lebih dari itu, pendidikan macam apa yang gagah menyalahkan korban dan memuliakan pelaku kejahatan?

Fenomena serupa banyak saya temukan pada kelompok rentan. Seperti kaum minoritas, LGBT, perempuan, dan anak-anak. Dalam banyak hal ketika kejahatan terjadi, mereka adalah korban yang justru disalahkan karena dianggap sumber masalah. 

Pada kasus perkosaan, fenomena blaming the victim kerap terjadi pada perempuan. Perkosaan terjadi kerap karena perempuannya yang berpakaian minim, menggoda, atau bahkan berpenampilan seksi.

Menyalahkan perempuan dalam kasus perkosaan sebenarnya adalah bentuk penghinaan terbesar bagi laki-laki. Logika yang menyebutkan bahwa salah perempuan diperkosa, karena tak bisa menjaga diri, menunjukan bahwa laki-laki mesti diayomi karena jadi budak syahwat. 

Dengan mengatakan bahwa perempuan diperkosa karena ia berpenampilan seksi atau berpakaian minim, menunjukkan bahwa laki-laki tidak tahan godaan, lemah terhadap insting seksual, dan secara otomatis terlahir dengan potensi sebagai pemerkosa.

Menyalahkan perempuan dalam kasus perkosaan sebenarnya adalah bentuk penghinaan terbesar bagi laki-laki.

Menyebut bahwa tak ada asap maka tak ada api dalam logika perkosaan sebenarnya nisbi dungu. Seolah, karena perempuan berpakaian seksi, ia boleh dipaksa untuk melakukan hubungan seks. 

Jika logika serupa dijalankan dengan analogi lain, misalnya, jika wajah Anda begitu jelek dan membuat saya merasa marah, bolehkah saya menghajar wajah Anda tadi? 

Logika yang dibangun dari semangat patriarkis ini melahirkan relasi timpang penaklukan. Perempuan kerap direndahkan seperti benda ketimbang manusia merdeka.

Apakah salah jika laki-laki punya nafsu? Tentu tidak. Yang salah adalah jika lelaki bernafsu lalu cara penyalurannya adalah melalui tindakan kekerasan dan hubungan yang tidak didasari consent

Perkosaan kerap kali juga bukan masalah nafsu, ia bisa jadi masalah relasi kuasa. Bahwa laki-laki bisa menaklukkan, mendapatkan, dan meniduri perempuan manapun yang ia mau. Ini bukan soal orgasme, sayangnya, laki-laki yang demikian menganggap perkosaan sebagai satu cara sah untuk membuat perempuan tunduk.

Bukannya mengadili pelaku perkosaan, masayarakat kerap kali menghakimi si korban. Banyak cibiran yang diberikan seperti, “Oh, pantes diperkosa, pahanya kemana-mana,” atau “Oh, ya pantes dilecehkan, wong pake rok mini”.

Seolah penampilan seseorang memberikan legitimasi untuk melakukan pelecehan atau tindakan perkosaan. Perilaku victim blaming ini berakar dari cara pandang patriarkis yang menganggap bahwa standar moralitas perempuan adalah yang penurut, pemalu, tertutup, dan sejenisnya.

Pada banyak kasus, pelaku penghakiman victim blaming adalah kaum perempuan sendiri. Mereka kerap merendahkan, menyalahkan, atau slut shaming sesamanya.

Fenomena ini lahir, saya kira, karena pola pikir misoginistik yang dibentuk oleh peradaban patriarkis. Perempuan lebih sering menjadi objek ketimbang rekan setara. Di sini muncul persaingan di antara kaum perempuan untuk menjadi siapa yang lebih suci daripada siapa. Kerap kali itu dilakukan dengan melakukan slut shaming.

Slut shaming sendiri adalah sebuah tindakan/perilaku yang dilakukan individu kepada individu lain, khususnya perempuan, untuk membuatnya merasa tidak berguna, tidak berharga, pantas dihina, dan direndahkan karena apa yang ia lakukan. Slut shaming dilakukan dengan melekatkan label-label amoral, rendah, dan tidak bermartabat untuk menjatuhkan citra dan juga jati diri perempuan lain.

Slut shaming adalah tindakan keji yang berbahaya. Jika luka bisa disembuhkan, luka batin susah disembuhkan. Ia akan terinternalisasi dan menjadi sebuah kepribadian.

Seseorang yang mengalami menjadi korban slut shaming berulang kali kerap merasa bahwa ia memang pantas diperlakukan demikian, dalam hal ini disakiti, direndahkan, atau bahkan dieksploitasi secara seksual.

Agak disayangkan jika slut shaming tadi dilakukan oleh perempuan, lebih khusus, perempuan yang memiliki pemahaman agama yang baik. Ia mengerikan dan menjadikan agama kita menjadi satu sesuatu yang menakutkan.

Korban slut shaming dan victim blaming kerap mengalami goncangan jiwa yang berat, mereka susah sembuh, beberapa menginternalisasi ejekan dan penghakiman itu sebagai kebenaran, lantas gagal hidup secara wajar.

Setiap 25 November dunia memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia. Di Indonesia, isu ini digaungkan melalui kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), yang dimulai sejak 25 November hingga 10 Desember, yang diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM). 

Dipilihnya rentang waktu 16 hari tersebut menunjukkan relasi simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. 

Korban kekerasan seksual mendapatkan berbagai hambatan dalam mengakses keadilan dan pemulihan, baik hambatan personal, sosial budaya, hukum, dan politik. Keempatnya saling terkait menentukan tingkat kepercayaan korban untuk mengadu dan melaporkan kasusnya, mendapat keadilan, dan tak kalah penting adalah memulihkan dirinya.

Namun sayang, minimnya pemahaman terhadap isu kekerasan perempuan membuat banyak kasus terbengkalai dan tidak terselesaikan.

Banyak korban yang mengalami trauma berat dan tak mampu hidup normal. Ini kemudian yang menginisiasi Komnas Perempuan dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) untuk membentuk Pundi Perempuan pada 2003.

Pundi Perempuan sebagai sebuah wadah penggalangan dana publik guna mendukung kerja-kerja pendampingan perempuan korban kekerasan di Indonesia. Setiap tahunnya, Pundi Perempuan memberikan dukungan kepada 6 organisasi layanan di seluruh Indonesia. 

Tahun ini, Komnas Perempuan dan IKa menggandeng kitabisa.com, situs penggalangan dana online untuk sosial, dalam penggalangan dana publik bagi Pundi Perempuan.

Mengusung kampanye #SaveOurSisters, Komnas Perempuan, IKa, dan kitabisa.com mengajak publik untuk bersama-sama mendukung Women’s Crisis Center untuk pendampingan perempuan korban tindak kekerasan.

Gerakan ini terbuka untuk semua kalangan, tujuannya selain untuk menggalang dana, namun juga menyebarkan kepedulian terhadap isu perempuan. Kekerasan seksual bukan tanggung jawab perempuan saja, tapi seluruh orang.

Ini bisa menjadi jalan untuk mematahkan stigma bahwa lelaki terlahir sebagai pemerkosa, yang tidak mampu menahan nafsu melihat paha dan dada. Kepedulian terhadap isu kekerasan seksual bisa menjadi pintu awal penghapusan total kekerasan terhadap perempuan.

Semua donasi yang terkumpul dalam penggalangan dana #SaveOurSisters Pundi Perempuan akan digunakan untuk mendukung program Women’s Crisis Center, rumah bagi para perempuan korban kekerasan yang digerakan secara sukarelawan oleh masyarakat di berbagai kota. 

Setiap donasi yang terkumpul sebesar Rp 1 juta berarti membantu 2 perempuan korban kekerasan. Maukah Anda ambil bagian? —Rappler.com

BACA JUGA:

 

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!