Menyimak Pesona Al Gore di COP 21

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menyimak Pesona Al Gore di COP 21
Dari banjir di India sampai kekeringan di California, Al Gore mengingatkan bahwa kesepakatan Paris bukan cuma urusan pemerintah, melainkan juga urusan dunia bisnis, penggiat sipil dan investor.

PARIS, Prancis – Hari kedua meliput Conference of Parties (COP) ke-21, di kawasan ekspo Le Bourget, Paris, saya mendapat bonus, selfie bersama Al Gore, Selasa 1 Desember 2015.

Al Gore adalah pemenang hadiah Nobel bidang perdamaian 2007 sekaligus mantan wakil wakil presiden AS yang meraih penghargaan Nobel bersama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 

Praktis Dalam 15 tahun terakhir Al Gore lebih kental dianggap sebagai aktivis lingkungan dan perubahan iklim, ketimbang politisi.  By the way, ketika menjabat wakil presiden AS, dia juga berinisiatif menciptakan internet.  Sebuah ide yang revolusioner.

Di COP 21, Al Gore adalah bintang.  Ke manapun dia pergi puluhan jurnalis mengikuti, menyodorkan boom mic dengan tangkai panjang.  Saya tengah berjalan keluar dari Paviliun Indonesia,  melihat sosoknya yang tinggi besar, gagah, dan putih, lewat di depan saya.  Saya mendekatinya, dan meminta ijin untuk selfie, swafoto.  Al Gore mengangguk ramah.  Wow! tinggi juga dia.

Dua hari kemudian, Kamis, 3 Desember, saya melintasi ruang Climate Action Arena di COP 21, yang letaknya tak jauh dari Paviliun Indonesia di Hall 2.  Ruangan itu bisa menampung lebih dari 1.500 orang.

Dari pintu yang sedikit terbuka, saya melihat sosok Al Gore duduk di deretan depan.  Rupanya, beberapa menit kemudian dia akan menyampaikan pidato pembuka di sesi berjudul, “Investing for the longterm, addressing carbon asset risk.”

Ruangan penuh sesak.  Saya menyelinap ke deretan paling depan berdesakan bersama juru foto dan juru kamera dari berbagai media.  Saya duduk bersila persis di depan podium tempat Al Gore pidato.  Dengan harap cemas akan kapasitas batere dan kartu memori telpon seluler, saya mulai merekam pidatonya. 

Gambar goyang. Beberapa bagian tidak jelas karena berhadapan dengan lampu sorot.

LOKASI COP 21. Foto oleh Uni Lubis/Rappler.com

Tidak masalah.  Itu adalah 19 menit pidato yang memukau dari seorang bintang di dunia perubahan iklim.  Al Gore adalah seorang orator.  Dia memegang secarik catatan, tapi praktis dia menguraikan pemikirannya secara runut di luar kepala.

Dia memulai menjawab pertanyaan yang sering kali ditanyakan dan tak kalah seringnya dijawab dan menjadi debat di kalangan saintis, akademisi, penggiat lingkungan bahkan dunia usaha dan pasar terkait perubahan iklim.  Apakah kita harus berubah? 

Al Gore memaparkan sejumlah kejadian terbaru.  Banjir dan longsor yang hari-hari ini terjadi di Chennai, India yang membuat berhentinya publican surat kabar The Hindu untuk pertama kalinya sejak abad ke 19.  Dia mengingatkan kemarau berkepanjangan di California, AS, semenanjung Korea sampai bagian selatan dari Afrika.

“Menonton berita televisi setiap malam seperti mendaki alam melalui kitab suci,” kata dia, yang disambut ketawa kecil hadirin.

Al Gore mengingatkan menguatnya ancaman krisis perubahan iklim, seraya mengakui bahwa jalan ke depan tidak mudah dan membutuhkan kesabaran dari mereka yang peduli lingkungan. 

“Selama 150 sampai 200 tahun,  kita mengandalkan bahan bakar berbasis karbon untuk kemajuan dramatis dalam peradaban global. Sampai hari ini lebih dari 80 persen dari seluruh energi yang digunakan dalam perekonomian dunia masih berasal dari bahan bakar berbasis karbon, ” kata Al Gore.  

Dia melanjutkan, “Kita semua harus mengakui bahwa tugas yang menakutkan yang ada di depan mata adalah beralih ke ekonomi rendah karbon . Tantangannya besar”.

Al Gore adalah peserta tetap di belasan acara COP, dan selama itu pula ia menyaksikan kegagalan; jalan buntu yang dialami dalam merumuskan kesepakatan bersama soal perubahan iklim termasuk perbedaan dalam agenda penurunan emisi karbon.

 

Tapi, di COP 21 Paris, Al Gore menebar optimisme.  Menurutnya, Paris akan menghasilkan sesuatu yang berbeda.  Mengapa?

“Salah satu perbedaan dramatis dalam situasi hari-hari ini, saat kita berada di konperensi di Paris, dibandingkan dengan konperensi sebelumnya, adalah bahwa komunitas bisnis, investor, pengembang teknologi, peneliti dan lain-lain telah membawa teknologi photovoltaics surya, pembangkit listrik tenaga angin, menawarkan efisiensi energi dalam berbagai bentuk, membawa teknologi penyimpanan baterai (untuk transportasi), mengedepankan konsep kehutanan berkelanjutan dan pertanian berkelanjutan ke titik di mana pendekatan-pendekatan baru yang sangat kompetitif.”

Sebagai catatan, photovoltaics adalah upaya menciptakan aliran tenaga listrik secara langsung dari sinar surya melalui perantara alat seperti semikonduktor.

Memang, di sepanjang jalan utama kota Paris, terutama di jalan Champs-Elysees, pemerintah kota memasang sejumlah panel tenaga surya dan kincir tenaga angin untuk menghidupkan lampu-lampu kota.  

Di trotoar jalan dipasang seperangkat alat dengan beberapa sepeda, begitu pula ayunan.  “Dengan memutar kayuh sepeda secara terus-menerus, Anda membantu menyediakan tenaga untuk lampu-lampu kota,” demikian tulisan di sana.  Paris dikenal sebagai Kota Cahaya.

Di arena COP, puluhan mobil hibrida yang bisa menggunakan tenaga baterai yang diisi dengan tenaga surya siap disewa peserta COP 21.

Tentang minat swasta yang kian kuat, ini beberapa contoh yang disampaikan Al Gore.

Salah satunya laporan Goldman Sachs tentang Ekonomi Rendah Karbon. Laporan ini intinya menyatakan grup lembaga keuangan itu meyakini, antara tahun 2015 – 2020, tenaga surya photovoltaics dan listrik tenaga angin akan menambah pasokan energi global dari AS. Jumlahnya diperkirakan melebihi sumber energi dari shale oil, atau minyak dari sendimen bumi yang mengandung kerosene sepanjang 2010 – 2015.

Padahal, kata Al Gore, mereka yang mengikuti perkembangan pasar tahu betul betapa pentingnya penemuan produksi minyak dari rekahan bumi itu.

LOKASI COP 21. Foto oleh Uni Lubis/Rappler.com

Pengembangan energi terbarukan di luar prediksi.

Pada tahun 2.000an, prediksi terbaik yang tersedia untuk kemajuan energi angin adalah,  dunia akan menghasilkan 30 gigawatt tenaga angin pada tahun 2010. 

“Ternyata kita melebihi prediksi 12 kali lipat lebih banyak . Pada tahun 2002, analis memperkirakan kita akan menambahkan 1 gigawatt energi surya per tahun pada tahun 2010.  Lagi-lagi kita melampaui prediksi 17 kali lebih banyak. Tahun lalu diproduksi 48 kali lebih banyak, dan tahun ini akan melebihi prediksi 62 kali lipat,” kata Al Gore, seraya menyebutnya bagaikan kenaikan kurva secara eksponensial.

Al Gore menyebutkan beberapa contoh bagaimana kota di AS membuat kompetisi untuk menghasilkan sumber listrik. Ia memaparkan hitungan biaya untuk menghasilkan energi terbarukan yang terus turun, sehingga harganya kian kompetitif dengan minyak fosil yang saat ini di bawah 50 dolar AS per barel. 

Dia juga menyebutkan bagaimana jutawan dan investor top dunia, yaitu Warren Buffett baru saja menandatangani kontrak pembelian listrik tenaga photovoltaics seharga 3,87 sen per kilowatt untuk area Nevada.  “Ini perkembangan yang menakjubkan untuk banyak diantara kita yang menduga kita tidak mungkin sampai di sana,” kata Al Gore.

Jadi, apakah kita harus berubah?  Jawabnya “iya”.  Dapatkah kita berubah?  Menurut Al Gore jawabnya jelas, “iya”.

Pertanyaan berikutnya terutama untuk kalangan investor, apakah kita akan berubah?Menurut Al Gore, itulah alasan kita semua datang dan berunding di COP 21 Paris.  “Pertemuan di Paris ini harus menjawab pertanyaan ini.  Jawaban tidak hanya datang dari teks kesepakatan di antara pemerintah, tetapi juga dari komitmen komunitas bisnis, dari penggiat sipil dan komunitas investor,” ujar Al Gore.  Dia mengingatkan bahwa investor perlu secara jeli melihat proses bisnis yang tengah berlangsung. “Anda harus diversifikasikan aset dan usaha ke ekonomi rendah karbon,” katanya.

Al Gore mengingatkan bahwa bisnis pola lama terbukti gagal, dan itu yang digambarkan Dalam film produksi Hollywood yang akan meluncur ke pasar persis di hari terakhir COP 21, judulnya The Big Short.  Film yang diangkat dari novel laris dengan judul yang sama ini menggambarkan krisis finansial 2007 – 2010 yang dampaknya masih terasa sampai kini.  

Al Gore mengingatkan semua pihak segera menghasilkan teks kesepakatan Paris yang kuat dan berani.  

Banyak perusahaan energi berbasis fosil kian terancam kehilangan pasar karena kesadaran konsumen akan pentingnya energi yang lebih bersih serta ancaman perubahan iklim dari energi fosil.  “Kita tidak bisa terus-menerus memasok 110 juta ton polusi karbon dioksida ke atmosfer bumi, setiap harinya,” kata Al Gore.

Banyak investor mulai menyadari hal ini, dan Al Gore meyakini potensi menakjubkan dari ekonomi rendah karbon.

Di awal acara, Al Gore mengatakan hanya akan berbicara selama 10 menit untuk pengantar diskusi panel. Diskusi ini menghadirkan sejumlah pembicara dari perusahaan pemantau karbon dan dunia usaha, termasuk perbankan.

Tapi, seluruh ruangan, termasuk saya terpukau dengan pidato Al Gore, dan merasakan waktu cepat berlalu. Sebab Al Gore telah membawa kami menyusuri jejak transformasi bisnis yang perlu dan sudah dilakukan untuk memerangi perubahan iklim akibat pemanasan global.

Al Gore paham, tak sedikit di ruangan itu yang belum percaya betul, perubahan harus dilakukan secara drastis.  Mereka bisa tergolong pejabat pemerintah, politisi, pebisnis bahkan saintis.  Karena itu, dia menutup pidatonya dengan kalimat, “Buat mereka yang ragu bahwa kita punya kemauan politik untuk bertindak, tolong diingat, bahwa kemauan untuk bertindak itu sendiri adalah sumberdaya terbarukan.”

Tepuk-tangan membahana, dan Al Gore mundur menghilang ke balik panggung. 

Susah-payah saya mengangkat diri dari posisi duduk bersila.

Al Gore adalah bintang.  Dan saya menunggu bintangnya kembali bersinar di Paviliun Indonesia awal pekan depan.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!