Revisi UU lonceng kematian buat KPK

Lalola Easter

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Revisi UU lonceng kematian buat KPK

ANTARA FOTO

Revisi UU KPK bukannya untuk menguatkan KPK, tapi melemahkan lembaga tersebut

JAKARTA, Indonesia — Setelah melewati banyak perdebatan, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) akhirnya masuk dalam salah satu pembahasan Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2016.

Kritik luas dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk pegiat anti-korupsi, laksana teriakan di padang pasir.

Sayang, sikap pimpinan KPK juga tidak seirama. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki cenderung lunak dengan ide revisi. Soal kewenangan penyadapan, misalnya, Ruki oke-oke saja. Ini berbeda dengan kebanyakan pimpinan lainnya, khususnya Plt Wakil Ketua Johan Budi yang cenderung resisten.

Wacana revisi ini bukan kali pertama dilakukan. Sepanjang 2015, sudah dua kali revisi UU KPK berusaha dimasukkan dalam prolegnas. Revisi lebih membuka peluang KPK dilemahkan dibanding sebaliknya, termasuk batasan umur 12 tahun yang memastikan KPK akan bubar sendiri tanpa perlu dipaksa bubar.

Aktivis anti korupsi yang mengenakan kostum ala pemain pantomin dalam peringatan hari anti korupsi di Banda Aceh, Aceh, 9 Desember 2015. Foto oleh Irwansyah Putra/Antara

Jadi pembahasan revisi UU KPK ini lebih mirip lonceng kematian untuk KPK. Berikut ada setidaknya 17 jurus mematikan untuk KPK di balik dalih revisi.

Dalam catatan lembaga anti-korupsi Indonesia Corruption Wacth (ICW), terdapat sedikitnya 17 substansi revisi UU KPK (versi Baleg DPR RI) yang berpotensi besar melemahkan KPK.

Ketujuh belas substansi tersebut tidak hanya akan mengubah KPK menjadi Komisi Pencegahan Korupsi (bukan “Pemberantasan”), tapi juga akan membubarkan KPK di ulang tahunnya yang kedua belas, sejak revisi disahkan.

1. Umur KPK dibatasi hanya 12 tahun

Hal ini disebutkan dalam Pasal 5 dan 73 draf revisi UU KPK. Dengan kondisi korupsi masih sangat akut seperti sekarang ini, pembatasan umur KPK 12 tahun jelas membunuh upaya pemberantasan korupsi. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan lainnya belum bersih dari praktik korupsi.

2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan

Pasal 53 draf revisi UU KPK menyebutkan KPK berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Kewenangan ini tak ada bedanya dengan kepolisian, karena akhirnya hanya kejaksaan yang dapat melakukan penuntutan perkara korupsi.

Padahal, salah satu keunggulan KPK yang turut memengaruhi cepatnya penanganan perkara adalah, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

3. KPK kehilangan tugas dan kewenangan melakukan ‘monitoring’

Fungsi monitoring termasuk salah satu fungsi utama KPK berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Fungsi ini memungkinkan KPK melakukan “asistensi” untuk perbaikan sistem kementerian dan lembaga negara lainnya. Jika fungsi ini hilang, mandat KPK sebagai trigger mechanism juga akan hapus dengan sendirinya.

4. KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas

Penentuan jumlah ini dapat dibilang absurd dan tidak berdasar. Sepatutnya, KPK tetap bisa menangani perkara korupsi dengan pagu yang minimal agar dapat menyasar sebanyak mungkin perkara korupsi.

Toh, dengan standar kerugian keuangan negara Rp 1 miliar pun, KPK tetap dapat menangani perkara-perkara high profile yang melibatkan big fishes, serta merugikan keuangan negara dengan nilai yang juga fantastis.

Dengan membatasi jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp 50 miliar ke atas, jelas sekali ada upaya untuk menjauhkan KPK dari perkara-perkara korupsi yang selama ini telah berhasil ditangani. Karena kerja KPK terbukti efektif dalam mengungkap banyak perkara korupsi.

5. KPK lebih diarahkan kepada tugas pencegahan korupsi

Pasal 4 draf revisi UU KPK menyebutkan, “KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan korupsi”, sedangkan dalam Pasal 7 draf revisi UU KPK, fungsi pencegahan berada di urutan pertama.

6. KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah provinsi

Pada titik tertentu, KPK dapat mendirikan perwakilan di daerah. Namun kemungkinan tersebut menjadi hapus sama sekali, padahal bukan tidak mungkin suatu saat perlu ada perwakilan KPK di daerah, terutama untuk melakukan fungsi pencegahan korupsi.

7. KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan

Pasal 14 ayat (1) huruf a draf revisi UU KPK menyebutkan KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan. Di tengah kondisi peradilan yang masih korup, permohonan izin dapat menghambat penanganan perkara korupsi, dan tak menutup kemungkinan pula akan ada kebocoran informasi terkait penyadapan tersebut.

8. KPK dapat menghentikan penyidikan perkara korupsi

Salah satu keistimewaan KPK adalah tidak adanya kewenangan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Keistimewaan ini meminimalisasi praktik koruptif seperti tawar-menawar perkara pada proses penyidikan. Jika KPK “dianugerahi” kewenangan mengeluarkan SP3, KPK tak ubahnya kepolisian dan kejaksaan.

9. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri

Dengan modus dan skema korupsi dan pencucian uang yang semakin kompleks, kebutuhan memiliki penyidik dengan latar belakang non-hukum menjadi sangat penting. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh penyidik konvensional, karena banyak perkara korupsi yang membutuhkan kemampuan audit forensik.

Jika kewenangan KPK mengangkat penyidik mandiri hapus, dapat dibayangkan kualitas perkara macam apa yang akan ditangani KPK. Hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) jo. Pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK.

10. KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri

KPK akan mutlak kehilangan independensinya. Karena Pasal 25 ayat (2) revisi UU KPK membatasi latar belakang pegawai KPK hanya dapat berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

11. KPK wajib lapor ke kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi

Merujuk ke poin 10, independensi KPK hanya tinggal cerita karena dalam melakukan penanganan perkara korupsi, KPK wajib lapor ke kejaksaan dan kepolisian. Hal ini termaktub dalam Pasal 52 revisi UU KPK.

12. Pemberhentian penyelidik dan penyidik harus berdasarkan usulan kejaksaan dan Polri

Sama seperti poin 10, KPK bahkan tidak dapat memberhentikan penyelidik atau penyidik yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan tanpa ada intervensi kedua lembaga tersebut. Hal ini terlihat dalam Pasal 45 ayat (1) revisi UU KPK.

13. Usia minimal mendaftar sebagai capim KPK, 50 tahun

Semua orang sudah tahu bahwa usia 50 tahun adalah usia menuju pensiun, salah satu penanda telah lewatnya masa emas seseorang dalam berkarya. Menetapkan standar usia pimpinan KPK menjadi 50 tahun jelas upaya menjadikan KPK lembaga panti jompo yang hanya akan menampung para pencari kerja yang enggan pensiun dan berharap mendapat pemasukan yang konstan di akhir masa baktinya.

14. Pembentukan Dewan Kehormatan KPK

Pranata baru bernama Dewan Kehormatan KPK punya kewenangan melampaui pimpinan KPK. Salah satu kewenangan Dewan Kehormatan adalah melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap pegawai KPK. Kewenangan ini justru tumpang tindih dengan kewenangan pengawas internal dan bahkan pimpinan KPK.

15. Ketidakjelasan Dewan Eksekutif

Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 23 ayat 6 RUU KPK)  dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK. Selain itu, fungsi dewan ini juga tidak jelas karena kerja-kerjanya serupa dengan pimpinan KPK.

16. KPK tidak dapat menyelenggarakan program pendidikan anti-korupsi

KPK tidak lagi memiliki kewenangan melaksanakan pendidikan anti-korupsi sebagai bentuk pencegahan.korupsi.

17. Penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri

Pasal 49 ayat 1 RUU KPK mengatur penyitaan oleh KPK harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.

Melihat ke-17 poin di atas, jelas tidak ada istilah revisi untuk menguatkan KPK. Terlalu banyak pihak yang berupaya melemahkan KPK, sehingga  baik pemerintah atau DPR, dan terutama KPK, harus tegas menolak proses tersebut.

Dimasukkannya draf revisi UUU KPK dalam Prolegnas 2016, akan menjadi lonceng kematian bagi KPK dan upaya pemberantasan korupsi. —Rappler.com

Lalola Easter adalah peneliti pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!