BLOG: 11 tahun tsunami, merawat 10 tahun damai di Aceh

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

BLOG: 11 tahun tsunami, merawat 10 tahun damai di Aceh

ANTARA FOTO

Penelitian UNDP menunjukkan 50 persen damai karena konflik politik, berulang kembali setelah 10 tahun damai. Kita tidak berharap itu terjadi di Aceh

BANDA ACEH, Indonesia  —  Hari ini rakyat di Nangroe Aceh Darussalam dan Nias memperingati 11 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.

Sejak awal, peringatan tsunami setiap tahun memang lebih menonjol di Aceh, ketimbang di Nias.  Korban jiwa dan bangunan termasuk harta-benda lebih banyak di Serambi Mekkah.

Ketika meliput konperensi para pihak (COP 21) di Paris, yang berakhir dengan kesepakatan perubahan iklim secara global yang pertama dalam 20 tahun,  pikiran saya melayang ke perdamaian di Aceh.  Jika tidak ada serangan teroris ke kota Paris, 3 November 2015, mungkin 155 kepala pemerintahan yang hadir tidak tergerak hatinya untuk menyetujui teks akhir Kesepakatan Paris.  

Selain memberikan pintu masuk untuk masa depan ekonomi rendah karbon, warga dunia mendesak pemimpinnya yang hadir di Paris untuk mengirimkan pesan jelas kepada teroris, “Meme pas peur”.  Kami tidak takut.

Dalam ancaman kekerasan berdarah, Di COP 21, ditorehkan sejarah baru untuk membangun dunia yang lebih sehat bagi generasi mendatang.

Kesepakatan Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dicapai pada 15 Agustus 2005, berusia 10 tahun lebih saat ini.  Saya termasuk yang percaya bahwa jika tak ada bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, kesepakatan damai yang ahirnya diteken di Helsinki, Finlandia itu, sulit dicapai. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang pada saat itu praktis memimpin inisiatif perdamaian di Aceh sempat khawatir, bahwa perundingan akan gagal, sebagaimana upaya sebelumnya.  Dalam Kursus Reguler Angkatan XXXVIII pada 26 Juli 2005, JK mengatakan:

“Kalau orang berbicara tentang Aceh, saya bilang, tolong pejamkan mata.  Coba bayangkan apa yang terjadi di Aceh pada masa-masa lalu.  Selama 30 tahun berkonflik, dibunuh, dibakar, ditembak, dihadang, bertengkar, 15 ribu orang mati, tidak ada ketenangan, orang susah bersekolah.”

Lebih lanjut, sebagaimana ditulis oleh Fenty Effendy dalam buku Ombak Perdamaian, Inisiatif  dan peran JK Mendamaikan Aceh, JK berkata:

“Kemudian, bayangkan juga tsunami, hampir 200 ribu orang meninggal. Coba bayangkan keduanya.  Sekarang, apa yang akan Anda perbuat setelah membayangkan itu? Tidak ada kata lain adalah marilah kita perbaiki Aceh dalam bentuk recpvery-mya, perbaiki Aceh dengan membangun kembali , dan hidupkan jiwa.”

Sejumlah jurnalis dari berbagai media mendengarkan tausyiah saat menggelar zikir dan doa dalam rangka memperingati 11 tahun peristiwa gempa dan tsunami di Banda Aceh, Aceh, Jumat (25/12). Foto oleh Ampelsa/Antara

Kesepakatan Damai Aceh mengatur segala aspek, dari politik, ekonomi sampai keamanan. Di antaranya, soal ekonomi, mengatur bahwa, “Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.

Dunia belajar dari Indonesia bagaimana menangani bencana  alam dan kemanusiaan dengan korban terbesar dalam setengah abad terakhir.

Setelah 10 tahun Kesepakatan Damai, dan 11 Tahun Peringatan Tsunami, nyatanya kita belum bisa tenang. Berakhirnya sebuah konflik bukan berarti tugas atau pekerjaan selesai.

Farid Husaini, seorang dokter yang menjadi tim inti perunding perdamaian Aceh dari pihak pemerintah Indonesia mengatakan, Merawat dan menjaga perdamaian lebih sulit.  Perdamaian akan langgeng jika ada rasa saling percaya, tidak ada pengkhianatan, serta komitmen untuk meningkatkan martabat dan derajat pihak terkait.

Farid Husaini, seorang dokter yang menjadi tim inti perunding dari pihak pemerintah Indonesia, menuliskan dalam bukunya, Keeping the Trust for Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh.”

Mengutip data United Nation for Development Programme (UNDP), sekitar 50 persen konflik yang telah diselesaikan secara politik, terulang kembali dalam kurun waktu 10 tahun setelah perjanjian damai.  Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa 30 persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun.

Perjanjian damai Arusha, di Rwanda, gagal.  Kelompok ekstrimis Hutu menolak perjanjian itu, dan berujung pada pembantaian massal 1 juta penduduk Rwanda.

Di Aceh, ujian dalam bidang politik, misalnya terjadi terkait dengan eksistensi calon independen dalam Pasal 256 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materiil terhadap pasal tersebut. 

Ujian hubungan antar warga terjadi antaralain pada tanggal 13 Oktober 2015, pecah bentrok di Aceh Singkil. Jatuh korban akibat dibakarnya sebuah gereja dan tempat ibadah. Tokoh setempat mengatakan bentrok di Aceh Singkil dipicu kesenjangan ekonomi

Aksi kelompok bersenjata eks kombatan GAM pun mulai merebak setahun ini.

Yang terbaru adalah baku tembak antara polisi dan kelompok sipil bersenjata di Desa Tualang, Geudong, Kecamanan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur, NAD, pada awal November 2015.  Aparat keamanan mengatakan mereka yang baku tembak dengan polisi adalah kelompok pimpinan din minimi, eks kombatan GAM.

Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.

Kelompok Din Minimi juga mampu mendulang banyak dukungan dari eks-kombatan lain yang kecewa terhadap rekonstruksi Aceh yang masih mandek. Nota kesepahaman (MoU) perjanjian Helsinki pada 2005, menurut Din, belum mampu membuat Aceh sejahtera.

Din menginginkan Pemerintah Aceh memberi keadilan kepada anak yatim, janda korban konflik, dan mewujudkan butir-butir MoU Helsinki seperti yang telah disepakati Pemerintah Republik Indonesia dan GAM

Warga membaca Surat Yasin saat berziarah di kuburan massal korban tsunami di Desa Ulee Lheue, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (26/12). Foto oleh Ampelsa/Antara

Tahun lalu, laman bbc.com memuat wawancara dengan empat eks kombatan GAM yang mengaku kecewa atas pelaksanaan Nota Perdamaian Aceh.

Maret tahun ini, dua anggota intel TNI tewas ketika tengah menyelidiki  kegiatan anggota eks GAM. Pemilukada 2012 menunjukkan secara kasat mata potensi perpecahan di kalangan eks GAM. Ketegangan terjadi antara kubu petahana, Gubernur Irwandi Yusuf saat itu, dengan Malik Mahmud dan tokoh senior GAM lainnya.  Kubu Malik Mahmud menguasai kursi Dewan Perwakilan  Rakyat Aceh (DPRA) melalui Partai Aceh.

Irwandi Yusuf yang saat perundingan damai dikenal sebagai ahli propaganda GAM, akhirnya kalah.  Pemilukada dimenangi pasangan dari Partai Aceh, pasangan Dr Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, keduanya mantan kombatan GAM.

Kapasitas membangun, mengelola kekayaan sumberdaya alam dan dana alokasi dari pusat memang menjadi pertanyaan besar bagi para pemimpin lokal yang lama ada di pihak separatis.  Di sisi lain, implementasi janji dalam Kesepakatan Damai, juga menjadi kunci apakah perdamaian akan abadi.  Tidak boleh ada sikap ingkar janji atau wanprestasi dari pihak yang berdamai, kedua pihak.

Kembali ke situasi konflik seperti saat sebelum bencana tsunami pasti bukan pilihan bagi semua pihak.  Harga yang dibayar terlalu mahal.

Hari ini, kita menundukkan kepala, membaca doa untuk seluruh korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias.  – Rappler.com

 BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!