PH collegiate sports

Benarkah senjakala media cetak sudah tiba?

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sebelum terlalu jauh menuding platform internet sebagai biang perkara, ada baiknya tetap percaya bahwa, “Technology is easy, but journalism is hard”

JAKARTA, Indonesia— Tulisan Inikah Senjakala Kami oleh wartawan Kompas Bre Redana dibuka dengan ilustrasi nasib jurnalis media cetak di tengah pesatnya perkembangan media online di tanah air. 

“Kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat,” katanya. 

Tulisan itu kemudian membeberkan alasan-alasan mengapa media cetak lebih ‘tertinggal’ dari media online. Salah satunya adalah pengiklan yang memindahkan investasinya ke media online. 

Padahal, kata Bre yang membandingkan kerja-kerja jurnalis media online dan cetak, yang pertama mengabarkan itu belum tentu yang terbaik. Tak jarang, ada jurnalis yang hanya menyalin dari press release demi menjadi yang pertama mengabarkan pada pembaca. 

Bre juga mengkritisi perilaku jurnalisme yang makin tergantung dengan internet. “Internet menyediakan semua data, tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara,” katanya. 

Tulisan Bre merujuk pada media cetak negeri ini yang tutup lapak dalam waktu dekat. Medio Desember, surat kabar Jakarta Globe tutup. Dan akhir Desember menyusul Sinar Harapan pamit pada pembacanya untuk selamanya.  Sinar Harapan sudah mengumumkan kapan edisi terakhirnya terbit, beberapa waktu sebelumnya.

Benarkah nasib media cetak sesuram yang digambarkan jurnalis cetak, dan kualitas peliputan media saat ini semakin buruk? 

Benarkah soal penurunan investasi iklan? 

Pengamat media Ignatius Haryanto mengatakan ada keterkaitan antara pesatnya pertumbuhan media online dan turunnya investasi pengiklan di media cetak. 

Penurunan investasi ini sebenarnya terjadi pada semua media, karena kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan. 

Tapi dari data yang ia peroleh, perolehan iklan di media cetak tahun 2014 masih lebih tinggi daripada media online, yakni berkisar Rp 10 triliunan. Jumlah ini lebih tinggi daripada media online yang hanya bisa meraup total Rp 700-800 miliar pada tahun yang sama.

Dilihat dari pendapatan iklan, media cetak masih jauh unggul dari media online. “Ini juga letak dilemanya, media bergeser ke online, pembaca bergeser ke online tapi uangnya saat ini belum bisa menggantikan perolehan media cetak. Ini membuat bingung banyak orang media,” katanya. 

Satu-satunya yang bisa menggulung tikar bisnis koran adalah kondisi ekonomi global, dan perubahan yang dilakukan di redaksi masing-masing. 

“Saya kira surat kabar akan terseleksi mana yang bertahan atau yang sehat secara bisnis dengan yang begitu-begitu saja. Seleksi pasar ini yang sekarang terjadi. Media yang kurang kuat bertahan akan tergusur,” katanya. 

“Lalu masalahnya media cetak yang bertahan bagaimana melakukan inovasi untuk memperpanjang nafasnya?” katanya lagi. 

Daru Priyambodo, pemimpin redaksi Koran Tempo, membenarkan bahwa pendapatan media cetak lebih tinggi daripada media online. Grup Tempo mengelola majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, dan Tempo TV

Tapi, Daru mencatat, pendapatan media cetak dari iklan terus mengalami penurunan sebesar 15 persen tiap tahun. Sementara itu, pendapatan iklan dari media online meningkat 10 persen tiap tahun. 

“Itulah yang menyebabkan declining revenue bisnis media,” katanya pada Rappler.  

Kualitas media online boleh diadu dengan cetak 

Ignatius termasuk yang tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa media cetak adalah satu-satunya sumber bacaan yang bermutu. Dalam perkembangan media saat ini, beberapa tulisan di media online juga dianggap memenuhi kriteria koran. 

Menurut Ignatius, saat media rame-rame meliput peristiwa rusuh di Tolikara, Papua, salah satu media online CNN menyajikan liputan kompherensif.  

Liputan itu membuktikan bahwa permasalah jurnalisme bukan pada platform-nya. “Ini bukan soal koran vs media online. Jadi media online bisa berfungsi mencerahkan seperti media cetak,” katanya. 

Ignatius mencontohkan media online lain di luar negeri, Pro Publica yang memenangkan penghargaan jurnalisme kelas dunia Pulitzer beberapa tahun yang lalu. 

Tapi ada juga kesalahan yang dilakukan media online, kata Ignatius, seperti yang dilakukan Republika Online saat salah menyebut akun twitter pemimpin Negara Islam, Irak, dan Suriah. 

“Jadi ini bukan persoalan apa mediumnya. Tapi apakah manajemen medianya mau menghasilkan kerja jurnalistik yang baik, menantang, eksklusif atau tidak,” katanya.

Daru Priyambodo membenarkan pendapat Ignatius. “Yang dikatakan si Bre juga tidak tepat, asumsi dia kualitas jurnalisme media cetak jauh lebih baik dari jurnalisme media online. Seolah-olah mengutuk media online,” katanya. 

Artinya, pendapat itu seolah-olah mengasumsikan bahwa seluruh jurnalisme media cetak kualitasnya baik, dan seluruh karya di media online kualitasnya jauh dari baik. 

Daru mengakui, seperti di media cetak ada tradisi yang menahun seperti cover both side dan verifikasi.

Tapi model verifikasi dan cover both side ini juga dipakai oleh media online saat ini seperti katadata.co.id. 

“Katadata itu referensi yang bagus. Kami bahkan sedang mencoba bekerja sama dengan menampilkan riset-riset mereka di Koran Tempo,” katanya. 

“Sejauh verifikasi dijalankan dengan benar, maka dia akan menghasilkan tulisan dengan kualitas yang bagus,” katanya.  Daru menambahkan, soal verifikasi, tak semua media cetak menerapkannya, seperti lampu merah. 

“Jadi mau cetak atau online itu enggak penting. Yang penting prosedur verifikasi tetap dijaga. Itu saja yang penting,” katanya. 

Netizen: Media online lebih praktis dibaca

Selanjutnya kata Ignatius, budaya membaca masyarakat zaman sekarang yang memang sedang berubah dan beberapa media terlambat mengantisipasi hal ini. 

Bukan hanya Ignatius, Rappler juga menanyakan hal ini pada netizen. Mereka mengakui bahwa pemilihan medium online karena urusan kepraktisan. 

Technology is easy, but journalism is hard 

Nezar Patria, anggota Dewan Pers menambahkan keterangan Ignatius dan Daru Priyambodo. 

“Media digital kerap digugat dan dianggap identik dengan bentuk kedangkalan ‘iman’ jurnalisme, mungkin setingkat di bawah murtad. Katakanlah ada media digital yang sejenis itu, seperti juga ada bentuk media cetak yang memilih gaya stensilan, dan menyebarkan informasi murahan. Itu pilihan dengan beban dosa masing-masing,” katanya pada Rappler. 

Tapi, sebelum terlalu jauh menuding platform internet sebagai biang perkara, ada baiknya tetap percaya bahwa, “Technology is easy, but journalism is hard”.

“Jurnalisme adalah sebuah ilmu plus seni. Ia juga semacam ruh. Semestinya ia tak boleh mati hanya karena bentuk media berganti,” kata Nezar.—Rappler.com

BACA JUGA

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!