Profil Kusrin, kuli bangunan yang kini punya pabrik perakitan televisi

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Profil Kusrin, kuli bangunan yang kini punya pabrik perakitan televisi
Pembuat TV rakitan di Karanganyar, M. Kusrin, yang produknya sempat dimusnahkan kejaksaan, kini mendapat dukungan dari netizen dan pemerintah

 

KARANGANYAR, Indonesia – Muhammad Kusrin (42 tahun), perakit televisi tabung di Karanganyar, Jawa Tengah, beberapa pekan terakhir menjadi perbincangan di media sosial. Berita tentang penyitaan dan pemusnahan TV buatannya yang belum ber-SNI oleh Kejaksaan Negeri Karanganyar telah memicu petisi online di Change.org yang didukung hampir 30.000 tandatangan untuk Kusrin.

Ia hanya lulusan SD, tetapi dalam waktu empat tahun bisa mendirikan industri kecil TV Cathode Ray Tube (CRT) lokal berbasis tabung monitor komputer bekas dan mempekerjakan sedikitnya 30 orang. 

Bagaimana ia membangun bisnis elektroniknya?

Merantau dan belajar otodidak

Kusrin lahir di Andong, Boyolali. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia mondok di sebuah pesantren di dekat rumahnya. Dua tahun kemudian ia mencoba merantau ke Jakarta, menjadi kuli bangunan di beberapa proyek.

Kegemarannya mengutak-atik perkakas eletronik sejak kecil tak pernah ia tinggalkan di waktu senggang. Selama di Jakarta, ia gemar berburu barang elektronik bekas di Jatinegara. Barang rusak dibelinya murah, lalu diperbaiki sendiri.

“Awalnya tak ada niat bisnis. Saya beli tape compo rusak Rp 80.000, setelah diperbaiki, suaranya jadi bagus. Teman saya malah tertarik dan membelinya Rp 200.000,” katanya mengenang.

Ia mengumpulkan upah sebagai buruh proyek selama lima tahun dan pulang ke kampung halaman. Alih-alih untuk modal usaha, Kusrin malah membuat pemancar radio amatir, jenis “mainan” anak-anak muda yang cukup populer tetapi mahal di era 80-an hingga 90-an awal. 

Lewat komunikasi radio, ia menemukan komunitas hobi bongkar elektronik, tempat ia kemudian belajar tentang bedah perkakas listrik secara otodidak. Setelah mahir, Kusrin kemudian bekerja di tempat seorang kawannya di Solobaru, Sukoharjo, yang memproduksi TV tabung.

Sambil bekerja, Kusrin bereksperimen mengubah monitor komputer menjadi TV. Ia butuh waktu sekitar lima tahun hingga bisa menyempurnakan percobaannya, dengan metode trial and error.

Kusrin kemudian berhenti dan memutuskan membangun bisnis sendiri meskipun belum tahu apa yang ingin ia kerjakan. Di saat yang sama, seorang kawan lainnya menawarkan usaha TV rakitan yang hampir tutup. Tanpa pikir panjang, ia masuk dan melanjutkan usaha itu.

Kusrin menguasai teknik perakitan TV tabung, tetapi ia masih awam soal bisnis. Uang Rp 200 juta yang ia tanam habis dalam setahun karena mewarisi manajemen yang korup. Usaha bangkrut, dan hanya menyisakan 127 unit alat produksi senilai Rp 17 juta. Pabrik tutup total.

“Saya hanya mewarisi hutang di perusahaan itu, uang habis untuk bayar. Ditambah banyak karyawannya tidak jujur,” katanya.

Mendirikan usaha sendiri

Industri perakitan TV tabung milik Kusrin kembali bangkit setelah dibekap kasus hukum sejak Mei 2015. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Seperti orang yang kalah bertaruh, Kusrin merugi. Namun, ia tidak menyerah. 

Pada 2011, ia mengajukan perizinan ke kabupaten dan provinsi untuk mendirikan industri TV rakitan baru. Usaha perakitan TV tabung milik Kusrin perlahan bangkit lagi dengan bendera UD Haris Elektronik bermodalkan peralatan yang tersisa.

Kusrin hanya mempekerjakan satu orang yang membantunya merakit TV. Ia memproduksi tiga merek TV; yaitu Maxreen, Veloz, dan Zener, dengan varian 14 dan 17 inci.

Ia memasarkan sendiri TV tabung produksinya ke Solo dan sekitarnya dengan harga Rp 400.000 dan Rp 550.000. Kusrin tetap memegang prinsip kejujuran dalam bisnisnya.

“Di kardus kami menulisnya TV CRT rekondisi, karena kami memakai monitor bekas untuk tabung meskipun semua komponen elektronik lainnya baru,” katanya.

Di tangan Kusrin, monitor bekas bisa “disulap” menjadi layar TV kinclong seperti baru, apalagi dibungkus dengan case baru. Alasan ia menggunakan tabung monitor bekas selain harga murah adalah kualitas dan ketahanannya lebih baik dari tabung TV bekas.

Kusrin memastikan monitor yang ia pakai kondisinya di atas 85 persen. Ia berani memberikan garansi setahun tukar baru untuk semua toko pelanggannya.

Layanan purna jual dan harga yang murah membuat permintaan toko semakin besar dari tahun ke tahun. Berapa pun produksinya, TV buatan Kusrin selalu diserap pasar. Karyawannya pun bertambah jumlahnya, dari satu orang menjadi 12 orang pada 2012, dan berlipat lagi hingga 30 orang pada 2015. 

Dalam sehari, Kusrin mampu memproduksi 150 unit TV, atau 4.000 hingga 5.000 unit per bulan. Jangkauan pasar pun meluas – Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat.

“Kami jual TV setiap hari, karena gudang tidak cukup menyimpan stok,” kata Kusrin.

Usahanya berkembang pesat, hingga ia bisa membeli tanah untuk pabrik di Jatikuwung, Gondangrejo, Karanganyar, dan dua buah truk boks sebagai armada bisnisnya. Demi tuntutan bisnisnya, Kusrin mati-matian belajar komputer dan Internet, hal yang asing baginya.

“Saya beli laptop dan saya belajar sendiri dua hari, dua malam. Meski tak sekolah, saya harus bisa mengetik, membuat laporan keuangan, mengirim email, dan sebagainya,” katanya.

Jeratan hukum 

DIHANCURKAN. Televisi produksi Muhammad Kusrin sempat dihancurkan lantaran tidak bersertifikat SNI. Foto dari situs Change.org

Kusrin mengajukan kredit suntikan modal dari bank Rp 500 juta untuk mengejar volume produksi. Tetapi ketika bisnisnya sedang berjaya, pada Mei 2015, pabrik perakitan TV milik Kusrin digerebek aparat Polda Jawa Tengah karena menerima laporan bahwa produk elektronik itu belum memiliki SNI.

Sebanyak 255 TV di gudang diangkut polisi bersama seribu tabung dan peralatan produksinya sebagai barang bukti. Bisnis Kusrin dalam sekejap sekarat, namun tidak mati.

“Rasanya usaha saya empat tahun, seperti habis dalam sehari. TV buatan saya bukan barang curian, bukan hasil kejahatan, semua saya beli pakai uang sendiri, izin ada, tapi kok ditahan,” katanya.

“Saya dipenjara ndak apa-apa, tapi tolong hidupi anak-istri saya dan 30 karyawan saya yang menganggur,” begitu permintaannya pada polisi yang memeriksanya.

Kusrin tidak tahu bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah syarat wajib bagi produk TV tabung buatannya. Seorang pejabat polisi yang bersimpati kemudian membantu mencarikannya jalur mengurus SNI melalui ke Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) Surabaya dan Balai Besar Barang dan Bahan Teknik (B4T) Bandung, tetapi semua prosedur harus ditempuh sendiri oleh Kusrin.

Ia pun berjanji untuk memenuhi persyaratan SNI. Namun, kasus sudah terlanjur dilimpahkan ke kejaksaan, dan penghancuran barang bukti tidak terelakkan. Beruntungnya, putusan pengadilan mengembalikan 75 persen barang sitaan, dan hanya menghancurkan 25 persen, serta menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan.

“Di foto-foto yang beredar itu, TV yang dibakar hanya 6 atau 7 saja secara simbolis. Sebagian besar digilas hancur dengan stom,” katanya.

Pengajuan sertifikasi Organisasi Standar Internasional (ISO) dan SNI memakan waktu lama dan menghabiskan biaya dan energi. Sejak mengajukan pada Mei 2015, Kusrin baru bisa mengantongi SNI pada 15 Januari 2016.  

Meskipun pengurusan kedua sertifikasi itu tidak terlalu mahal, kenyataannya Kusrin menghabiskan hampir Rp 200 juta, karena harus membiayai transportasi dan akomodasi petugas penguji produk dari luar kota selama beberapa kali.

Kas perusahaannya menipis untuk mengurus sertifikat dan membayar upah karyawannya setiap bulan. Meskipun selama sembilan bulan tidak berproduksi dan hanya menerima servis TV yang rusak, Kusrin tidak tega merumahkan pegawainya.

Berjuang sendiri

Merek TV buatan Kusrin yang sudah mendapat SNI. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Jeratan hukum terhadap Kusrin ini memantik simpati netizen sejak dua pekan lalu. Banyak yang mencemooh penegak hukum karena terlalu sadis membunuh kreativitas anak bangsa. Setelah muncul petisi online, ramai-ramai para pejabat ikut menunjukkan simpati dan janjinya membantu Kusrin.

Namun, Kusrin sudah terlanjur berusaha sendiri, mengurus segala perizinan sendiri, dengan uang dan tenaga sendiri, serta menghadapi kasus hukum sendiri. Ia tidak tidak terlalu ambil pusing dengan banyaknya janji, karena yang penting baginya adalah kasusnya selesai dan SNI segera keluar, sehingga bisa memulai berproduksi lagi.

Kasusnya yang meledak di media sosial mendapat sorotan Menteri Perindustrian Saleh Husin. Ia sendiri yang menyerahkan setifikat SNI kepada Kusrin di Jakarta, pada 19 Januari kemarin.

“Sekarang saya mulai berusaha untuk bangkit lagi. Produksi belum banyak, hanya 40-50 unit sehari,” ujar Kusrin.

Kusrin bercita-cita ingin membuat pabrik TV dengan komponen rakitan dan case sendiri, sehingga bisa menekan harga jual, dan mampu bersaing dengan produk impor dari Tiongkok. Jika terwujud, usahanya akan menyerap 500-1.000 orang tenaga kerja. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!