Anak perempuan yang diarak tanpa pakaian di Sragen meminta keadilan

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tak kuasa bercerita, Rn — yang dituduh mencuri pakaian — hanya menyerahkan secarik kertas untuk Kak Seto, mewakili curahan hatinya. Ia takut kehilangan masa depannya

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa/Magdalene.co

SRAGEN, Indonesia – Mata Rn masih berkaca-kaca. Peristiwa dua minggu lalu itu hampir saja membuat gadis 14 tahun itu mengakhiri hidupnya karena dihantui rasa malu.

Minggu pagi, 10 Januari, Rn yang tinggal di rumah bibinya, K, di sebuah desa di Sragen, kaget karena didatangi Sukamto, seorang jawara silat di kampungnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Lelaki itu marah-marah menuduh Rn mencuri pakaian keluarganya di jemuran.

Sukamto menggeledah lemari di rumah itu dan menemukan beberapa pakaian milik keluarganya – kaos, kerudung, jaket, dan sandal bekas. K pasrah jika keponakannya mau dibawa ke kantor polisi, tetapi ia memohon agar tidak disakiti.

Sejam kemudian, ternyata Sukamto datang bersama Wiji Lestari (istri), Sukarno (adik), dan Broto (ibu). Mereka membangunkan paksa Rn yang sedang tidur ketakutan, menelanjangi gadis kecil itu, dan mengalungi lehernya dengan barang curiannya.

Sambil memaki Rn, mereka memaksa si anak keluar rumah lalu mengarak Rn keliling desa. Rn menangis, tangannya selalu ditepis Sukamto saat ingin menutupi kemaluannya. Broto membawa kenong – gamelan seperti gong kecil – dan menabuhnya sambil mengarak bocah yang mencuri pakaian mereka.

Iki malinge wis kecekel (ini pencurinya sudah ditangkap),” begitu mereka menyoraki Rn berulang-ulang sepanjang jalan.

Mereka juga memotret Rn yang tanpa busana dengan ponsel dan menyebarkannya ke orang-orang. Tetapi tidak ada satu pun warga yang berani menghentikan perbuatan main hakim sang jawara dan tak ada pula yang ikut bergabung mengarak.

Hampir satu kilometer berjalan, seorang tetangga yang melihat kejadian itu berlari ke arah Rn dan membawanya ke rumah untuk diberi pakaian.

Hukuman tak manusiawi

Rn sudah kepalang malu, ketahuan mencuri dan diarak telanjang. Ia tergoda memiliki baju tetapi tak mampu membeli, sampai akhirnya beberapa kali mengambil baju di jemuran Sukamto.

“Ingin punya baju seperti teman-temannya yang lain,” kata Rn kepada Rappler ketika ditemui baru-baru ini.

Rn berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Orang tua kandung Rn merantau di Jakarta, ayahnya seorang kuli bangunan dan ibunya buruh cuci keliling. 

Namun, sejak lima bulan lalu keduanya pulang kampung karena ibu Rn menjadi korban tabrak lari di Jakarta yang menyebabkannya lumpuh hingga saat ini. Ayah Rn kemudian membuka usaha tambal ban di rumahnya dengan penghasilan Rp 20.000 per hari.

Rn lahir kembar dengan saudara laki-lakinya. Sejak bayi, ia diasuh oleh bibinya. Menginjak usia sepuluh tahun, Rn sudah tahu siapa ayah-ibu kandungnya, namun tetap tinggal bersama bibi-pamannya.

“Ingin punya baju seperti teman-temannya yang lain,” kata Rn kepada Rappler.

“Kakak saya sudah lama ingin anak perempuan, ia ingin mengasuh Rn. Jadi sejak usia seminggu, anak saya sudah tinggal bersama bibinya,” kata S, ayah Rn.

Ia mengaku sakit hati dan malu atas kejadian itu karena mengetahui foto anaknya yang diarak telanjang keluarga Sukamto tersebar luas hingga ke tetangganya yang berada di luar negeri. Di desa itu sebagian warganya yang bekerja menjadi TKI di Hong Kong dan Taiwan.

Ia menyadari bahwa anaknya bersalah karena mencuri, tetapi hukuman yang diberikan semena-mena dan tidak manusiawi. Pakaian yang dicuri tidak setimpal dengan harga diri anak perempuannya yang hampir mengakhiri hidupnya.

“Kami ingin hukuman yang adil,” katanya.

Rn mengalami depresi dan merasa malu. Malam hari setelah kejadian, ia mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangan kirinya dengan pisau, tetapi keluarganya berhasil mencegah dan membawanya ke klinik bidan desa. Ia merasa telah membuat orang tua dan keluarganya menanggung malu.

Rn tidak mau lagi masuk sekolah dan bertemu teman-temannya. Ia memilih mengurung diri di kamarnya pagi harinya karena trauma. Ia khawatir sekolah sudah tidak akan menjadi lingkungan yang menyenangkan lagi.

“Cita-cita saya menjadi guru, tapi masih takut sekolah,” kata Rn.

Dukungan mengalir

Tak ada perangkat desa yang melaporkan pelaku ke polisi sampai akhirnya seorang warga menelpon Sugiyarsi, koordinator Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS), aktivis yang tak kenal kompromi membela kasus perempuan dan anak di Sragen.

“Posisi saya di Semarang ketika mendapat telepon, saya pulang lalu menjemput Rn dan membawanya ke rumah perlindungan atas persetujuan orang tuanya. Saya langsung laporkan pelaku ke Polres Sragen, karena ini kejahatan sadis terhadap perempuan dan anak,” kata Sugiyarsi.

Rn saat ini tinggal di rumah perlindungan APPS Sragen. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Tanpa mengabaikan kasus pencurian yang dilakukan Rn, Sugiyarsi memandang pelaku tidak beradab. Mereka dilaporkan ke polisi dengan dugaan pelanggaran kekerasan terhadap anak, pencabulan, dan penyebaran konten pornografi lewat ponsel. 

“Saat dipindahkan ke rumah perlindung, Rn masih mengalami trauma psikis. Kami berikan terapi dulu, agar kondisinya kejiwaannya membaik,” kata Sugiarsi.

Di rumah perlindungan APPS, Rn menerima kunjungan saudara, tetangga, teman sekolah dan orang-orang yang bersimpati. Bantuan pakaian pun mengalir dari berbagai daerah. 

Beberapa orang mengajukan diri untuk menjadi orang tua angkat Rn, salah satunya sebuah yayasan sosial di Sukoharjo. Ada pula yang menawari biaya hidup dan sekolah sampai perguruan tinggi.

“Kami ingin Rn di shelter dulu setidaknya sampai kasus selesai. Kemarin kami sudah mendampinginya di BAP, dan akan kami kawal sampai di persidangan,” kata Sugiyarsi.

Meminta keadilan

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengunjungi Rn dan orang tuanya pada Minggu, 24 Januari. Kedatangan Kak Seto untuk memenuhi permintaan Rn yang sebelumnya ingin curhat kepadanya.

Namun, Rn tak kuasa bercerita saat bertemu Kak Seto. Ia hanya menyerahkan secarik kertas berisi tulisan tangannya kepada pencipta tokoh boneka Si Komo itu.

“Intinya anak itu meminta keadilan atas perlakuan (pengarakan). Ia juga mengkhawatirkan masa depan dan pendidikannya,” kata Kak Seto.

“Ini pelanggaran HAM berat. Polisi wajib menyelidiki dan menangkap para pelaku, karena mereka layak dihukum.”

Secara pribadi, Kak Seto menawarkan bantuan biaya pendidikan Rn. Ia juga meminta penegak hukum menyelesaikan kasus ini sesuai UU Perlindungan Anak.

“Saya sanggup membiayai pendidikannya sampai lulus SMA. Kalau masih takut di sekolah formal, ya bisa pendidikan informal,” katanya.

Terpisah, feminis Jejer Wadon dan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan Indonesia, Dewi Candraningrum, bereaksi terhadap kasus ini. Menurutnya, hukuman menelanjangi dan mengarak adalah bentuk pelanggaran hak anak, karena menyebabkan trauma dan merusak masa depan anak.

“Ini pelanggaran HAM berat. Polisi wajib menyelidiki dan menangkap para pelaku, karena mereka layak dihukum,” kata Dewi.

Empat tersangka

Saat ini Polres Sragen sedang memeriksa dua kasus sekaligus, pencurian dan pornografi-kekerasan terhadap anak. Sejumlah saksi sudah diperiksa, dan empat orang sudah ditetapkan sebagai tersangka – keluarga Sukamto yang mengarak Rn. Kecuali ibunya yang sudah tua, ketiga tersangka lainnya sudah ditahan polisi.

Pelaku merasa kesal dan naik pitam karena menurut pengakuannya telah kehilangan pakaian sebanyak enam kali. Sukamto menghukum Rn dengan mengaraknya telanjang untuk membuat jera.

Kapolres Sragen, AKBP Ari Wibowo, berjanji menangani kasus ini secara berimbang. Namun, karena kasus pencurian yang dilakukan Rn termasuk pidana ringan dan pelaku masih di bawah umur, kemungkinan akan dikenai diversi yaitu dikembalikan ke orang tua.

“Pelaku bisa dijerat dengan UU Pornografi dan UU Perlindungan Anak dengan ancaman 10 tahun penjara,” kata Ari.

Polisi juga menjaga rumah milik Sukamto dari amuk massa. Pekan lalu, ratusan orang dari Sragen mendatangi rumah itu untuk menyaksikan reka ulang kejadian. Namun, polisi membatalkannya karena khawatir massa tak terkendali melampiaskan kemarahannya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!