Kriminalitas, psikopat, dan Undang-Undang Kesehatan Jiwa

Nova Riyanti Yusuf

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kriminalitas, psikopat, dan Undang-Undang Kesehatan Jiwa
Indonesia masih harus terus menggalakkan penelitian untuk memahami tentang psikopat

Kasus pembunuhan mendiang Wayan Mirna Salihin menyita perhatian masyarakat, baik di media sosial maupun di dalam perbincangan kehidupan nyata. Medium pembunuhan berupa minuman kopi menjadi sebuah versi teror baru bagi masyarakat urban yang menjadikan kafe dan mengopi sebagai gaya hidup yang telah bereskalasi menjadi sebuah habituasi. 

Selain masalah kopi itu sendiri, manusia Indonesia adalah individu yang sangat sosial sehingga berteman menjadi nadi keberlangsungan hidup. Sebuah diskursus “diracun” oleh seorang teman saat sedang berkongkow terinternalisasi sehingga mengusik jiwa. Masyarakat urban pun penasaran tentang seorang teman yang “mungkin” membunuh saat mengopi.  

Pasca penetapan J, salah satu teman Mirna, sebagai tersangka, ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa polisi terdesak menetapkan tersangka dan menimbulkan pro dan kontra, terutama dari segelintir pakar psikologi forensik yang menganggap J bukanlah pelaku. Desakan ini tampaknya bersifat dua arah. 

Pada saat bersamaan, masyarakat juga terpersuasi oleh magnetisme langkah-langkah polisi, terutama Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Kombes Krishna Murti, yang pada setiap status Facebook-nya mampu menghipnotis para “pengintip”. Sindrom tagar #polisiganteng rupanya masih belum kelar. 

Terlepas dari rasa penasaran siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan, setidaknya dua aspek lain telah luput dari pembahasan. Pertama, mempertanyakan posisi psikopat di dalam sistem perundangan kita. Kedua, terkait dengan kehidupan modern yang potensial berdampingan dengan  psikopat dan kontinuum-nya.

Psikopat di mata hukum 

Setiap muncul kasus kriminalitas yang cukup pelik untuk dibongkar, terbersit bahwa pelaku adalah seorang psikopat, termasuk J yang juga dilabeli psikopat. 

Psychopathy telah digambarkan sebagai sebuah konstruksi klinis yang paling penting di dalam sistem peradilan pidana dan juga merupakan sebuah konsep forensik penting pada awal abad ke-21. Karena pscychopaty merupakan salah satu faktor risiko residivisme dan kekerasan yang paling digeneralisasikan, maka penting untuk dilakukan penilaian risiko dengan berbagai instrumen yang valid.

Konsep masyarakat tentang psikopat — yang dibentuk oleh dunia hiburan dan ekspos media — adalah mereka yang berdarah dingin, predator tanpa rasa bersalah yang mencari, memburu, menangkap, menyiksa, dan membunuh korbannya. Dalam sebuah referensi dikatakan bahwa pembunuhan berantai bisa disebabkan oleh psikotik dan psikopat. 

Psikotik adalah gangguan jiwa yang tidak bisa membedakan antara realitas dan fantasi, sementara psikopat adalah individu yang tidak secara gamblang psikotik tetapi perilakunya kacau dan tidak selaras dengan tuntutan realita dan masyarakat sehingga mengindikasikan terdapat sebuah psikosis di bawah permukaan. 

Hal ini telah diantisipasi dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Pasal 71 mengatur bahwa untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa untuk menentukan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya; dan/atau menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan.

Yang dimaksud dengan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Artinya, jika memenuhi kriteria diagnostik, misalnya Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), maka termasuk sebagai ODGJ.  

Melanjutkan pasal 71, dilengkapi oleh pasal 73 bahwa pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan oleh tim yang diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikolog klinis. 

Pengaturan tersebut sudah cukup jelas, namun kasus kopi maut ini — apalagi jika terbukti benar J bersalah — seharusnya menjadi cambukan bagi pemerintah untuk menindaklanjuti dalam peraturan menteri sesuai amanat Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Setahun telah lewat dan belum tampak adanya tindaklanjut. Jepang menjadi salah satu negara yang sangat serius menyikapi psikiatri forensik melalui cetak biru eksekusi yang masih terabaikan di Indonesia. 

National Institute of Mental Health yang terletak satu jam dari kota Tokyo, mempunyai sebuah unit dengan maximum security bagi ODGJ yang melakukan tindak kriminal seperti membunuh dan memperkosa. Fasilitas seperti penjara di dalam setting rumah sakit jiwa tersebut menggabungkan konsep penjara dengan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa sehingga tidak ada komponen yang terabaikan dalam sebuah penanganan. 

Atas inspirasi Jepang tersebut, Undang-Undang Kesehatan Jiwa juga mengatur di dalam pasal 53 bahwa setiap rumah sakit jiwa milik pemerintah dan pemerintah daerah wajib memiliki paling sedikit satu ruang perawatan dengan tingkat keamanan yang memenuhi standar. Dengan pengaturan sedemikian rupa, maka ada sebuah keadilan yang tetap tercapai apa pun kondisi kejiwaan pelaku tindak kriminal.  

Psikopat di antara kita

Psychopathy adalah gangguan kepribadian pertama yang dikenali dalam kedokteran jiwa. Masyarakat lebih familiar dengan istilah psikopat tanpa mengetahui bahwa psikopat adalah kontinuum dari gangguan kepribadian anti-sosial. 

Sebuah selang kontinuum perilaku anti-sosial dan psychopathic menurut Kernberg (1998) terdiri dari perilaku anti-sosial sebagai bagian dari gejala neurosis –> gangguan kepribadian neurosis dengan ciri-ciri anti-sosial –> perilaku anti-sosial pada gangguan kepribadian lainnya –> gangguan kepribadian narsisistik dengan perilaku anti-sosial –> malignant narcissism syndrome –> gangguan kepribadian antisosial –> psychopathy.  

Dalam hierarki tersebut, masih ada satu kategori lagi yang tidak dicantumkan, yaitu psikopat yang sukses atau sering disebut dengan istilah smooth operators. Mereka dapat berfungsi baik dalam bidang bisnis, politik, hukum, atau penegakan hukum yang telah berhasil terhindar dari hukum atau penangkapan.

Psychopathy adalah produk dari interaksi kompleks antara predisposisi biologik/temperamental dan kekuatan sosial. Beberapa penelitian dan analisis rasional juga membuktikan bahwa kebanyakan psikopat tidak membunuh dan melakukan tindak kekerasan.

Pada level interpersonal, psikopat merasa hebat, sombong, tidak sensitif, dominan, superfisial, dan manipulatif. Secara ekspresi afektif, mereka cenderung temperamental, tidak mampu membentuk ikatan emosional yang kuat dengan orang lain, tidak bertanggungjawab, tidak mampu berempati, tidak merasa bersalah, atau tidak mempunyai rasa penyesalan. 

Karakteristik interpersonal dan afektif semacam ini diasosiasikan dengan gaya hidup yang menyimpang secara sosial (belum tentu kriminal) dan impulsif. Ada sebuah tendensi untuk mengabaikan atau melanggar norma-norma sosial. Sangat mungkin bahwa kita tidak menyadari telah hidup berdampingan dengan mereka di dalam masyarakat bahkan mungkin serumah dengan mereka tanpa kita memahami ciri-cirinya. 

Indonesia masih harus terus menggalakkan penelitian untuk memahami tentang psikopat. Tidak mungkin kita meminjam hasil penelitian negara lain yang jelas-jelas kultur dan geliat sosialnya berbeda dengan kita. Ada berbagai aspek yang dapat diteliti disesuaikan dengan kebutuhan kita. Walau ragu dengan penatalaksanaan gangguan kepribadian anti-sosial, penelitian strategi pencegahan tetap sangatlah penting dari sudut pandang kesehatan masyarakat. 

Tanpa berbasis data yang kuat dan edukasi tentang kesehatan jiwa, labelisasi psikopat kemudian menjadi lumrah. Namun keadilan bagi korban bernama Mirna dan nasib tersangka berinisial J tidak bisa berlandaskan kelumrahan atau keasyikan labelisasi yang stigmatis. Dibutuhkan ketaatan atas hukum yang berlaku. 

Jika mencurigai J ada tanda-tanda gangguan jiwa, patuhilah Undang-Undang Kesehatan Jiwa untuk memeriksakan J secara formal, bukan mendikte seorang dokter jiwa di salah satu televisi swasta untuk melakukan wawancara psikiatrik di layar televisi yang tidak etis dan tidak solutif.

Polda bisa menjadi institusi percontohan yang menggubris Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. UU ini tidak permisif bagi ODGJ yang terkena kasus pidana karena seharusnya tetap ada unit menyerupai penjara di dalam rumah sakit jiwa (RSJ) jika UU ini dipatuhi.

Sebaliknya jika diyakini tidak ada kecurigaan gangguan jiwa serta mempunyai kecakapan secara hukum, silakan lanjutkan proses hukum sehingga tercapai vonis yang berkeadilan. —Rappler.com

Nova Riyanti Yusuf, lebih akrab dipanggil Noriyumerupakan anggota DPR RI periode 2009-2014, menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IX tentang kesehatan dan tenaga kerja. Salah satu pekerjaan penting yang pernah dia lakukan adalah menginisiasi rancangan undang-undang (RUU) kesehatan mental.

Tulisannya di Rappler Indonesia merupakan bagian dari advokasi kesehatan mental untuk memastikan implementasi peraturan tentang kesehatan mental di Indonesia.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!