What's the Big Idea series

‘LGBT gaul’ vs akademisi KW super

Hendri Yulius

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tanggapan untuk kolom Sarlito Wirawan Sarwono di Majalah Gatra

Di sela-sela Sabtu pekan lalu, saya tak sengaja menjumpai sebuah artikel berjudul “LGBT Gaul” dari Sarlito Wirawan Sarwono, yang ternyata menyandang gelar profesor psikologi dari Universitas Indonesia. Artikel ini dimuat di Majalah Gatra yang bertajuk “Melawan Aksi LGBT di Kampus” (Edisi 4-10 Februari 2016). 

Dalam pembuka artikelnya, Sarlito memaparkan dua tokoh dari kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Indonesia, yaitu Dorce Gamalama dan seorang mantan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi yang kini telah alamarhum pada era Orde Baru yang dirahasiakan namanya (meskipun generasi yang melewati masa ini pasti tahu siapa sesungguhnya nama sang menteri tersebut). 

Melalui Dorce dan sang mantan menteri, penulis berargumen bahwa keduanya telah banyak berkontribusi bagi masyarakat, sehingga sebagai bagian dari komunitas LGBT, mereka lebih banyak manfaat dan “mudarat”-nya. Sarlito, kemudian, menyimpulkan bahwa LGBT semacam kedua tokoh ini merupakan LGBT yang “dari sono-nya” atau bawaan, sehingga mereka tidak pernah lari dari fitrahnya, menerima orientasi dan identitas seksualnya, serta memaksimalkan potensi dirinya untuk kemaslahatan orang lain. Dalam ilmu psikologi, homoseksual tipe ini disebut sebagai homoseksual tipe sistonik. 

Selain tipe sistonik, ada juga homoseksual ego distonik. Dalam kategori ini, seorang homoseksual akan merasa tidak nyaman dan tertekan dengan orientasi seksualnya sehingga ia akan mencari jalan untuk bisa menjadi heteroseksual. Namun, istilah ini bukannya tanpa perdebatan sama sekali. Dalam budaya dan pandangan masyarakat yang menganggap homoseksualitas masih sebagai “penyimpangan sosial”, menjadi bagian dari komunitas LGBT bukanlah sesuatu yang mudah.

Tekanan dan penghakiman dari lingkungan sekitar akan membuat seorang individu dengan orientasi seksual sesama jenis akan membuat mereka takut, depresi, dan bahkan tak jarang yang juga mencoba untuk bunuh diri. Karena itulah, ketika homoseksual ego distonik dikategorikan sebagai bagian dari gangguan psikoseksual, maka di sinilah kita perlu bertanya dengan kritis, bukankah tekanan dan perasaan depresi itu justru banyak muncul disebabkan oleh penghakiman dan stereotipe negatif terhadap LGBT dari lingkungan sekitar? Bagaimana bila stigma terhadap LGBT berkurang dan tingkat penerimaan terhadap kelompok ini semakin membaik? 

Inilah yang perlu dipertimbangkan juga saat membahas tentang homoseksual tipe distonik yang sebaiknya dilihat dalam cara pandang yang lebih luas, yakni bagaimana perasaan depresi tersebut tak bisa dilepaskan dari lingkungan eksternalnya. 

Di negeri kita, untuk menjadi LGBT tipe sistonik yang percaya diri dengan seksualitasnya, bukanlah hal yang mudah. Informasi tentang keberagaman gender dan seksualitas yang ditabukan, stigma yang makin menguat, bahkan pendidikan seksualitas yang minim semakin mempersulit para LGBT untuk bisa meneguhi seksualitas dirinya. Masih banyak yang terpaksa bersembunyi dan rentan terhadap perasaan bersalah dan depresi. Bahkan, salah satu inisiatif menarik yang digagas oleh tim Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) untuk memberi pengetahuan kritis tentang seksualitas malah ditentang habis-habisan. 

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, malah memperkeruh suasana dengan membuat pernyataan yang kontradiktif dengan perannya sebagai pengampu pendidikan tinggi di negeri ini. 

Meskipun penulis tampaknya hendak mengambil posisi netral, saya bingung dengan argumen yang tiba-tiba memunculkan istilah baru “LGBT gaul” yang merujuk pada LGBT yang ikut-ikutan, gaya hidup, dan lain-lain. Sebagai ilustrasi, Sarlito mengambil contoh tentang bar eksklusif untuk para gay yang banyak terdapat di Bangkok. Menurutnya, mereka berperan jadi gay hanya kalau sedang berdinas di malam hari. 

Ada dua tanggapan dari saya untuk merespons pernyataan ini. Pertama, bisnis apapun tentu ingin mendulang laba. Bila seorang lelaki gay bekerja di bar eksklusif gay, tentu saja ada potensi bahwa ia malah nanti ngobrol ngalor-ngidul atau flirting dengan konsumennya. Akhirnya, ia lalai akan tugasnya, pelayanannya tidak prima, dan bisnis tempatnya bekerja berpotensi untuk merugi. Karena itu, untuk menghindari hal-hal yang disebutkan di atas, bar eksklusif gay seringkali juga mempekerjakan lelaki heteroseksual. 

Kedua, untuk memahami kompleksitas seksualitas, dikenal sebuah istilah men having sex with men (MSM), atau dalam bahasa Indonesia, disebut dengan Lelaki Seks Lelaki (LSL). 

Orientasi seksual, identitas seksual, dan praktik seksual merupakan tiga hal yang bisa terpisah. Misalnya, karena kemiskinan, saya seorang lelaki muda heteroseksual pergi ke kota. Karena keterbatasan pendidikan yang saya miliki, kemudian saya menjadi seorang pekerja seks untuk melayani sesama lelaki. Saya mempraktikkan hubungan seks dengan lelaki, tetapi saya tetap memiliki identitas sebagai seorang heteroseksual dan berpacaran dengan seorang perempuan. Sementara itu, bekerja untuk memberi pelayanan seks bagi sesama lelaki hanya untuk mendapatkan uang. 

Contoh lainnya adalah lelaki heteroseksual di dalam penjara. Karena tidak ada perempuan di dalam jeruji besi untuk bersenggama dengannya, maka lelaki tadi pun akhirnya berhubungan seks dengan sesama lelaki  penghuni lapas. Tetapi, praktik seksual itu tidak serta merta membuatnya menjadi gay. Praktik seksual dengan sesama lelaki hanya untuk memuaskan hasratnya akibat absennya kehadiran perempuan. Keluar dari penjara, ia tetap sebagai lelaki heteroseksual yang memiliki istri atau pacar perempuan. 

Karena itulah, istilah MSM atau LSL itu merujuk pada bagaimana praktik seksual, orientasi seksual, dan identitas seksual tidak selalu berjalan dalam koridor yang sama. Kedua istilah ini juga digunakan untuk merujuk pada lelaki heteroseksual yang notabene sudah beristri, tetapi juga memiliki pasangan lelaki atau waria. Mereka menolak untuk disebut sebagai gay atau biseksual. 

Mungkin Sarlito akan bingung membaca penjelasan ini. Inilah fakta bahwa seksualitas manusia bukanlah sesuatu yang hitam-putih. Ia justru amat sangat kompleks.

Contoh lain yang sering dijumpai adalah seorang gay yang terpaksa menikah dengan perempuan. Orientasi seksualnya adalah homoseksual. Tetapi, karena takut tekanan dan diskriminasi, ia kemudian menikahi perempuan, bersenggama dengan perempuan, dan karenanya, ia beridentitas seksual sebagai heteroseksual. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya ia menyukai lelaki dan batinnya tersiksa setengah mati saat harus bersetubuh dengan perempuan. 

Yang membuat saya tambah bingung membaca dan mengikuti logika tulisan Sarlito adalah bagaimana caranya membedakan LGBT asli (bawaan) dan LGBT gaul (istilah yang tampaknya ia ciptakan sendiri). Bagaimana bisa ia mengkategorikan Dorce dan sang mantan menteri sebagai LGBT asli, sedangkan yang lain sebagai LGBT gaul? Apa dasarnya pembedaannya? Apakah hanya serta merta sang individu bisa menerima identitas seksualnya dan bisa memberi banyak manfaat bagi masyarakat, lantas ia disebut sebagai LGBT asli (bawaan)? 

Argumen ini membuat Sarlito kembali terjebak dalam perdebatan klasik antara nature/nurture (alam/sosial). Untuk menjawab perdebatan ini, Elizabeth Grosz, seorang filsuf perempuan, mengungkapkan bahwa “without sociality, human sexuality cannot develop” (Tanpa interaksi sosial, seksualitas manusia tidak bisa berkembang). 

Singkat kata, seksualitas manusia merupakan interaksi antara faktor biologis dan sosial. Tubuh biologis merupakan materi mentah, tetapi manusia hidup dalam dunia sosial. Di sanalah ia menemukan dirinya, berinteraksi dengan orang lain, dan membentuk dirinya lewat interaksi, komunikasi, dan proses belajar. 

Namun, sayangnya, masih banyak akademisi kita yang belum memahami kompleksitas seksualitas manusia. Dunia akademik yang seharusnya terbuka terhadap berbagai kajian malah menjadi semacam agen penjaga moral yang malah menghambat diskusi dan kajian kritis tentang hal-hal yang dianggap “tabu”. 

Kalau ada istilah “LGBT gaul”, maka untuk para akademisi yang malah menjadi kelompok moralis yang menghalangi diskusi kritis, mereka patut disebut sebagai “akademisi KW Super”. —Rappler.com

Hendri Yulius adalah penulis buku ‘Coming Out’ dan pengajar kajian gender dan seksualitas.

BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!