Bincang Mantan: Kata siapa perempuan suka sama ‘bad boys’?

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Kata siapa perempuan suka sama ‘bad boys’?
Apakah 'bad boys' lebih menarik di mata perempuan dibanding cowok baik-baik?

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Adelia Putri

Ah, kata siapa (semua) perempuan suka laki-laki bandel? Kalau memang begitu, kenapa banyak yang sedih ditinggal nikah Abang Fahri, eh, Fedi Nuril bulan lalu? Bukankah itu bukti kalau pada akhirnya kita mau pasangan yang tampan, mapan, dan beriman?

Mungkin tidak bisa dipungkiri kalau bad boy itu menarik, tapi saya rasa penjelasannya cuma satu: Everyone wants to be the exception.

Pernah dengar ungkapan “A man wants a good girl who turns bad for him, a woman wants a bad boy who turns good for her”? Semua orang ingin jadi pengecualian dan alasan orang lain berubah. Mungkin ini ada hubungannya dengan self-esteem kita ketika berhasil: Kita merasa spesial atau bahkan merasa telah melakukan suatu hal mulia. 

Satu hal yang pasti, women just can’t help themselves from doing a project. Betul, kan? Mau itu proyek kecil Do-It-Yourself yang ada di Pinterest, makeover penampilan teman, hingga mengurusi (atau mengarahkan) perilaku orang sekitar melalui nasihat-nasihat di sesi curhat. Disadari atau tidak, punya tujuan tertentu membuat hidup lebih bermakna dan seru, kan?

Makeover tingkatan tertinggi — perilaku dan kebiasaan, bukan sekedar penampilan — rasanya bisa jadi pencapaian hidup yang cukup memuaskan (Iya, ada yang salah dengan sistem pencapaian self-esteem manusia. Kalau kamu tertarik belajar komunikasi dan hubungan antar pribadi, kamu bisa geleng-geleng sendiri ketika menyadari apa saja yang sudah dan akan kita lakukan hanya untuk merasa puas dengan diri sendiri).

Jadi, kalau ada yang bilang bad boys itu menarik, sebenarnya yang menarik bukanlah semata penampilan atau kelakuannya, tapi lebih ke prospek perubahan yang mungkin bisa terjadi (atau kita lakukan sendiri).

Setertarik apapun kita pada kelihaian Barney Stinson menggaet dan menipu perempuan sepanjang serial How I Met Your Mother, penonton perempuan pasti lebih takjub ketika melihatnya berubah untuk Robin Scherbatsky, dan tentu saja, suara “awww” paling banyak keluar ketika melihat Neil Patrick Harris bermain dengan anak kembarnya yang imut-imut.

Dan kata siapa anak baik-baik itu membosankan (ahem, kata Mas di bawah sih begitu). Membosankan atau tidak, sih, kembali ke kecocokan masing-masing. Sekeren-kerennya dan sesempurna apapun Arifin Putra (dan rahangnya) tapi kalau topik obrolannya tidak nyambung dengan kita, ya mentok-mentok akan dibilang membosankan juga. Ya, kan? Bosan atau tidak adalah relatif. 

Tapi akhirnya, mau bad boys atau pria manis baik-baik, kalau sudah jatuh hati, ya mau apa. Seperti kata Vina Panduwinata, terkadang asmara tak kenal logika. 

Bisma Aditya

Jika seorang perempuan ditanya, “Tipe pasangan ideal kamu yang kaya gimana, sih?” jawaban standarnya diawali dengan “Yang baik”. Baru deh tipe tipe penunjang lainnya disebut seperti nyambung saat ngobrol, mapan, atau bahkan berparas layaknya artis sinetron Turki. 

Tetapi bisa dibilang habitat dari sesuatu yang disebut tipe cuma ada di pikiran para wanita, kenyataannya berdasarkan kondisi di sekitar saya, justru cowok baik susah dapat pacar. Bahkan ada seseorang pada waktu malam tahun baru 2016 bilang ke temannya yang katanya baik tapi jomblo, “Man, lo tuh jangan terlalu baik lah jadi orang. Lo harus brengsek sedikit biar dapet pacar. Jadi resolusi lo adalah ***** brengsek 2016″. 

Apakah saran orang itu benar adanya?

Kalau menurut saya, sih, bukannya wanita tidak suka sama orang baik, ya. Mungkin ini lebih karena orang baik-baik tidak sebebas orang brengsek pas proses pendekatan. Orang baik lebih banyak pertimbangan dan berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Contohnya:

Orang baik pasti berhati-hati waktu bercanda karena takut orang lain tersinggung. Sedangkan orang brengsek bisa sesuka hati saat bercanda. Orang lain tersinggung? Ya sudah, toh gue memang brengsek, begitu pikir mereka.

Dari contoh itu, mungkin wanita melihatnya orang baik-baik itu boring sedangkan yang brengsek asik diajak bercanda. Tapi dilihat dari sisi lain, orang yang jaga perasaan lebih patut dinilai lebih, kan, dibanding yang sembarangan?

Contoh lainnya, orang baik pasti berhati-hati dalam setiap langkah pendekatan supaya tidak dinilai agresif. Orang brengsek bisa sesukanya tanpa tahu batas. Kelewatan? Balik lagi, ya memang orang brengsek begitu.

Melihat contoh di atas, orang brengsek berani ambil resiko, sedangkan orang baik cenderung perhitungan, dan pada akhirnya orang yang berhati-hati akan berjalan lebih lambat dan seringkali kesalip oleh yang berani ambil resiko dan agresif. 

Ibaratnya MotoGP, pebalap agresif punya dua pilihan, yaitu melaju jauh atau jatuh. Pebalap yang hati-hati cuma stabil aja, tidak jatuh sih tapi tidak jauh juga. Jadi 2-0 untuk si brengsek.

Contoh terakhir, banyak restoran all-you-can-eat yang menawarkan pengalaman lebih, yaitu di mana pelanggannya harus memasak makanannya sendiri. Repot memang, tapi seru bukan? 

Begitu juga dengan hubungan. Ada teman saya yang beranggapan bahwa orang baik itu bisa diibaratkan dengan fast food. Sekali bayar selesai kita dapat paket yang kita mau dan langsung kenyang seketika, sedangkan orang brengsek itu agak repot seperti restoran all-you-can-eat di atas, perlu diolah dulu, tapi lebih seru.

Jadi orang baik itu sudah “jadi” sedangkan orang brengsek itu masih “mentah” dan masih bisa dibentuk sesukanya. Orang baik sudah saklek dengan kebaikannya sedangkan orang brengsek masih bisa diarahkan baiknya apakah ke arah alim, dermawan, atau penyayang keluarga. Mereka masih bisa dibentuk.

Dari tiga contoh di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa memang dari cara pendekatannya orang brengsek jauh lebih unggul dibanding orang baik-baik. Mereka pun bisa jadi lebih menyenangkan. 

Lebih menantang? Sudah pasti. Jadi perlu diakui memang orang brengsek jauh lebih menarik dibanding orang baik.

Tapi perlu diingat. Orang brengsek itu, ya brengsek. Jangan salahkan siapa-siapa jika pilihan Anda memang jatuh kepada mereka dan pada akhirnya mereka menunjukkan sifat aslinya kepada Anda. Belajarlah dari kesalahan. Jangan setelah disakiti, cari penggantinya yang brengsek lagi. Terus disakitin lagi, begitu terus dan tetap berpegang pada pembenaran “semua laki-laki sama” seakan-akan tidak ada spesies cowok lain. 

Iya betul, spesies si baik yang tidak pernah Anda lirik itu, lho. —Rappler.com

Adelia, mantan reporter Rappler, kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di London, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!