KontraS: Negara melakukan pembiaran terhadap polemik LGBT

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

KontraS: Negara melakukan pembiaran terhadap polemik LGBT

ANTARA FOTO

Istana menjamin perlindungan terhadap setiap LGBT tanpa terkecuali.

JAKARTA, Indonesia—Pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap wacana pro dan kontra keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sehingga berkembang menjadi ujaran kebencian, kata Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). 

“Wacana yang pada awalnya hanya berupa pernyataan ketidaksukaan pribadi terhadap kelompok LGBT, meningkat menjadi pernyataan diskriminatif hingga ujaran kebencian yang dapat menimbulkan kekerasan dan konflik sosial,” kata koordinator KontraS Haris Azhar, Kamis, 25 Februari. 

Ia mencontohkan, pada Selasa, 23 Februari, kelompok Solidaritas Perjuangan Demokrasi berencana mengadakan aksi di Tugu Yogja untuk menyuarakan pendapat mereka, termasuk menuntut hak-hak LGBT dan melawan ujaran kebencian terhadap kaum ini. 

Namun aksi tersebut tidak bisa dilaksanakan di Tugu Yogja karena dihadang polisi. Alasannya, massa intoleran yang diidentifikasi tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) sudah menduduki dan melakukan aksi di Tugu Yogja. 

Dalam aksinya, massa FUI menyebarkan rilis mengenai ancaman kekerasan, termasuk melakukan ‘bakar, rajam, atau hukuman penjatuhan dari tempat tinggi’ kepada kelompok LGBT. 

“Hal tersebut menjadi contoh bagaimana ujaran kebencian yang berkembang di masyarakat terhadap kelompok LGBT menimbulkan diskriminasi bagi masyarakat lainnya, yakni melanggar hak kebebasan berkumpul dan berpendapat kelompok-kelompok yang mendukung hak LGBT,” ujar Haris. 

Berkembangnya wacana anti-LGBT menjadi ujaran kebencian juga disponsori dan mendapat legitimasi dari aktor-aktor negara. Menurut catatan KontraS, terdapat 17 pejabat negara, baik eksekutif maupun legislatif, yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT. 

Beberapa dari mereka bahkan mengusulkan wacana anti-LGBT tersebut diadopsi menjadi kebijakan negara. “Sebut saja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang secara terbuka dan agresif melakukan ekspresi diskriminasi dengan mengatasnamakan undang-undang,” katanya. 

Berkaitan dengan fenomena di atas, menurut Haris, kerap terjadi salah tafsir terkait pernyataan-pernyataan anti-LGBT. Pernyataan tersebut dinilai sebagai salah satu penggunaan hak kebebasan berpendapat, sehingga negara tidak perlu turun tangan untuk meredam ujaran kebencian. 

Namun negara dan masyarakat, kata Haris perlu memahami dan membedakan pernyataan yang berupa pendapat pribadi, pernyataan diskriminatif, dan ujaran kebencian, baik yang beredar langsung dalam bentuk selebaran maupun yang saat ini telah gencar menggunakan media sosial. 

“Wacana anti-LGBT dapat dikategorikan hanya sebagai pendapat pribadi apabila hanya berupa ketidaksukaan personal terhadap perilaku LGBT. Pada jenis pernyataan ini, wacana anti-LGBT tidak menjadi ancaman konflik sosial dan diskriminasi di masyarakat,” ujar Haris. 

“Namun apabila pernyataan tersebut sudah berupa usulan atau larangan-larangan tertentu terhadap aktivitas kelompok LGBT maupun menyerang dan mentargetkan individu, maka pernyataan itu dapat dikategorikan sebagai pernyataan diskriminatif,” ujarnya lagi. 

Haris juga mengingatkan pemerintah sudah memiliki pasal Hate Speech untuk menjerat siapa saja yang melakukan ujaran kebencian. 

Bunyi pasal ujaran kebencian di Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Ujaran Kebencian) antara lain: 

“Bahwa ujaran kebencian … bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 11) orientasi seksual;”

“Maka dari itu, segala seruan provokatif yang mendiskriminasi kelompok LGBT dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian sebagaimana tercantum dalam SE Ujaran Kebencian,” ujarnya. 

Apa tanggapan istana? 

Johan Budi SP, juru bicara Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan negara melindungi setiap individu LGBT tanpa terkecuali. “Tapi kalau sebagai gerakan tidak boleh,” kata Johan pada Rappler siang ini.  

Gerakan apa yang dimaksud? “Misal mempengaruhi orang atau mengumpulkan orang untuk kampanye menganjurkan pernikahan sesama jenis, itu tidak boleh,” ujarnya. 

Bagaimana dengan kampanye HIV/AIDS? “Boleh dong,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!