Di balik pembubaran diskusi LGBT di ITB Bandung

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Di balik pembubaran diskusi LGBT di ITB Bandung
"Di kampus, keragaman itu harusnya dipelihara. Kalau di kampus keterbukaan pemikiran dibatasi, jadi kita melakukannya di mana?," kata salah satu narasumber diskusi.

BANDUNG, Indonesia—Merebaknya isu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) belakangan ini membuat pembahasan terkait isu tersebut menjadi sensitif. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebuah diskusi bertema Kampus dan LGBT terpaksa dibubarkan dengan alasan tidak mengantongi izin.

Semula, diskusi yang diselenggarakan unit Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), Majalah Ganesha—Kelompok Studi Sejarah Ekonomi Politik (MG-KSSEP) dan Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH TIBEN) akan dilaksanakan pada pukul 15:00, Jum’at, 26 Februari di Amphiteater ITB. Diskusi dijadwalkan digelar di Jalan Ganesha Bandung.

Namun, acara dibatalkan dengan alasan tidak mendapatkan izin dari Lembaga Kemahasiswaan (LK) ITB. LK ITB beralasan panitia belum mengantongi izin kegiatan diskusi walaupun mereka sudah memperoleh izin peminjaman tempat. 

Alasan lain, LK ITB belum bisa mengizinkan diskusi tersebut karena kedua pembicara yang cenderung berpihak pada komunitas LGBT dan menimbulkan propaganda. Selain itu, pihak ITB juga ingin menghindari isu-isu kontroversial.

Karena dilarang, panitia kemudian berupaya mencari tempat lain agar diskusi tetap terlaksana. Namun, pihak kampus tetap tidak mengizinkan, hingga berujung dengan pembubaran.

“Jadi memang pasca dilarangnya diskusi, kami memutuskan untuk membuat sharing tertutup dengan narasumber. Namun tiba-tiba pihak lembaga kemahasiswaan datang bersama satpam dan membubarkan acara kami,” tutur Durga Agni Maheswari, salah seorang panitia kepada Rappler, Sabtu 27 Februari.

Akhirnya panitia menggelar diskusi secara tertutup di sekretariat salah satu unit kemahasiswaan. Acara diskusi berlangsung hingga pukul 18:30. 

Tindakan pembubaran itu disesalkan oleh Pingkan Persitya, anggota Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia. Pingkan yang hadir sebagai salah satu narasumber kecewa dengan sikap kampus yang mengingatkannya pada zaman Orde Baru.

“Saya dan Pak Ari (Dosen Unpad, yang saat itu jadi pembicara juga) sampai tidak percaya bahwa hal ini terjadi kembali di lingkungan kampus. Seperti kembali ke jaman Orba saja,” kata Pingkan.

Saat dibubarkan, menurut Pingkan, tidak ada perlawanan dari pihak panitia. Namun Pingkan sendiri mengaku khawatir kepada panitia dan peserta diskusi yang kebebasannya untuk berdiskusi dibatasi.

“Saya pribadi cukup kecewa dengan sikap kampus karena secara tidak langsung ruang-ruang mahasiswa menjadi terbatas untuk berdiskusi, apalagi membahas isu sensitif, secara terbuka di kampus. Saya juga mengkhawatirkan pihak penyelenggara, ditakutkan ada keterbatasan bagi mereka untuk selanjutnya bergerak di dalam kampus sendiri,” ujarnya.

Pingkan menilai kekhawatiran pihak kampus tidak beralasan karena topik yang dibahas dalam diskusi tidak mengarah pada pro kontra LGBT, tetapi lebih kepada melihat kebebasan berdiskusi di kampus dalam membahas isu-isu sensitif seperti LGBT.

“Sebenarnya di diskusi itu pun kami tidak membahas pro dan kontra LGBT. Dalam diskusi kemarin, kami hanya menyampaikan kebebasan berdiskusi di kampus saat ini seperti apa, terutama ketika membahas isu sensitif, seperti LGBT. Namun, pro dan kontranya sendiri tidak dibahas dalam diskusi semalam, karena bukan bagian dari term of reference (TOR) yang dikirimkan pihak penyelenggara ke SGRC,” tutur Pingkan.

Pembicara lainnya Ari Adipurwawidjana menilai salah besar jika pihak kampus menganggap narasumber yang diundang cenderung berpihak dan menimbulkan propaganda. Menurutnya, peserta diskusi tidak mewakili pihak-pihak yang secara eksplisit menunjukkan pro ataupun kontra LGBT.

“Kalau judul (diskusinya) Kampus dan LGBT, jelas sekali saya berpihak pada kampus, karena saya orang kampus. Seharusnya di kampus itu tidak ada keengganan atau batasan sosial untuk membicarakan hal tertentu,” kata Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran itu.

“Di kampus, keragaman itu harusnya dipelihara. Kalau di kampus keterbukaan pemikiran dibatasi, jadi kita melakukannya di mana?” katanya. 

Sementara itu, pihak ITB menegaskan jika kegiatan diskusi tersebut belum berijin. Kepala Direktorat Humas dan Alumni ITB, Samitha Dewi Djajanti menjelaskan setiap kegiatan yang berlangsung di lingkungan ITB harus memiliki izin.

“Pelaksana kegiatan belum mengurus izin, jadi tidak berizin dan tidak boleh melaksanakan kegiatan,” tegasnya.

Samitha menjelaskan, aturan pelaksanaan kegiatan di ITB harus ada izin dari Lembaga Kemahasiswaan jika kegiatan dilakukan oleh unit kegiatan mahasiswa, atau Prodi dan Fakultas/Sekretariat kalau himpunan.

Selain itu, panitia juga harus mendapat izin tempat dari Sarana dan Prasarana, serta izin keamanan dan keselamatan kerja dan lingkungan dari K3L (Keamanan dan Keselamatan Kerja dan Lingkungan).

“Itu aturan umum ya, untuk detilnya ya masing-masing ada syaratnya. Jadi memang tidak boleh melakukan kegiatan tanpa izin,” tandasnya.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!