Belok Kiri Festival: Membumikan yang terlupakan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Belok Kiri Festival: Membumikan yang terlupakan
Di buku 'Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula' diungkap hal-hal yang tabu untuk dibahas, seperti praktik-praktik pembantaian yang mirip seperti dituturkan Joshua Oppenheimer di filmnya 'Jagal' dan 'Senyap'

JAKARTA, Indonesia — Apa itu Belok Kiri Festival?

Salah seorang teman wartawan bertanya kepada saya sesaat sebelum menghadiri konferensi pers terkait pelarangan Belok Kiri Festival di Taman Ismail Marzuki, Sabtu sore, 27 Februari. 

Saya mencoba menjelaskan dengan runut, termasuk menjawab pertanyaan tentang apa itu Belok Kiri Festival berdasarkan observasi di lapangan dan informasi yang saya terima dari panitia. 

Intinya, kegiatan ini dilakukan dengan kesadaran bahwa meski pun Orde Baru sudah runtuh sejak 1998 yang lalu, namun praktik-praktik yang berbuah Orde Baru masih terus subur di Indonesia.

Praktik-praktik itu yakni pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan negara terhadap masyarakat, ketidakadilan sosial, diskriminasi, pembelokkan sejarah, dan lainnya.

Tujuan festival ini adalah membuka mata masyarakat akan betapa salahnya propaganda anti-sejarah dari Orde Baru yang menempatkan gerakan kiri — komunisme dan sosialisme — dalam arti tertentu sebagai momok yang menakutkan.

Terlebih dari itu, saya melanjutkan, acara ini bukan sekedar pesta bedah buku biasa. Tapi pengungkapan sejarah masa lalu lewat buku berjudul Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula yang perlu diketahui oleh generasi muda, generasi yang terputus dari momen bersejarah seperti pembantaian massal pada 1965. 

Bilven Sandalista, periset di balik terbitnya buku Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula, mengatakan bahwa banyak sejarah yang ditutup-tutupi oleh Orde Baru saat itu. Tentu saja salah satunya tentang sejarah 1965. 

Pembahasan mengenai sejarah 1965 memang tak ada habisnya dan semakin menghangat setelah International People Tribunal 1965 digelar di Den Haag, Belanda, pada November lalu.

Di pengadilan tersebut terungkaplah kesaksian-kesaksian dari penyintas yang menyebut bahwa para korban 1965 diadili tanpa dasar hukum yang jelas.

Dan ada sekitar 500.000 hingga satu juta nyawa melayang dalam peristiwa berdarah tersebut. 

Yang tabu untuk dibaca

TABU. Di buku Sejarah Gerakan Kiri untuk pemula diceritakan tentang hubungan Islam dan Komunisme. Foto oleh Febriana Firdaus.

Buku itu bukan hanya sekedar bunga rampai dari berbagai momen bersejarah, tapi juga data yang tak pernah ditampilkan di buku-buku sejarah di Orde Baru. 

Seperti sejarah masuknya kolonialisme Eropa dan lahirnya gerakan revolusioner awal. Di awal buku ini, penulis bertutur mengenai praktik penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh serikat dagang VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). 

Ada nama-nama tenar seperti Jan Pieterszoon Coen yang pada 1619 ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal  VOC hingga Daendels. 

Buku tersebut menggambarkan praktik pecah belah pribumi dengan membuat strata. Bangsa Eropa tentu saja berada di kasta tertinggi, dan inlander atau pribumi disamakan dengan anjing. Sehingga di mana-mana dapat ditemukan tulisan, “Anjing dan Inlander dilarang masuk.” 

Seiring dengan penerapan stratifikasi tersebut, muncullah borjuis-borjuis nasional. Dan seiring dengan situasi yang mulai timpang antara pedagang Eropa dan pribumi, muncullah untuk pertama kali kelas organisasi kelas buruh SS Bond tahun 1905 dan VSTP (Vereeninging van Spoor en Tramwegpersoneel) atau serikat buruh kereta api dan trem pada 1908. 

Seiring dengan lahirnya organisasi buruh, sosialisme atau marxisme mulai masuk ke nusantara, tepatnya sejak ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) didirikan pada 9 Mei 1914. 

Sejak saat itu perjuangan melawan penindasan kapitalisme di nusantara terus tumbuh subur, hingga pada 1920-an berdirilah Partai Komunis Indonesia. 

Kepingan yang menarik dari sejarah yang diungkap dalam buku ini adalah tentang Islam dan komunis. Salah satunya ditandai dengan bergabungnya tokoh intelektual muda Islam dengan golongan komunis saat itu, Haji Datuk Batuah dan kawan-kawannya. 

Kutipan keramat dari Haji Datuk Batuah antara lain, “Islam sebagai agama yang datang dari Allah untuk menyelamatkan manusia, yaitu sama dengan komunis yang bertujuan menyelamatkan umat manusia dair kelaliman dan penindasan.”

Datuk Batuah juga menekankan seorang komunis tidak anti Tuhan. “Saudara-saudara, komunisten itu masih tetap kuat Islamnya dan menjalankan suruhan Allah.” 

Kemudian partai tersebut berkembang hingga roda politik berjalan di nusantara. Kelompok-kelompok perjuangan sayap “kiri” yang diartikan dengan kritis ini makin terjepit. 

Agenda-agenda untuk meruntuhkan kedigdayaan kelompok ini bahkan melibatkan asing. Baca laporan Rappler tentang keterlibatan Australia dalam pembantaian massal 1965. 

Di bagian akhir buku ini juga diungkap praktik-praktik pembantaian yang mirip seperti dituturkan Joshua Oppenheimer di filmnya, Jagal dan Senyap. Sekumpulan data yang perlu ditelaah lebih lanjut oleh generasi saat ini untuk meluruskan sejarah. 

Indonesia rasa 1920-an 

//

Pembukaan Belok Kiri Festival di LBH Jakarta laporan untuk Rappler Indonesia

Posted by Febriana Firdaus on Saturday, February 27, 2016

Hal lain yang bisa dinikmati selain isi buku adalah pagelaran festival ini adalah pertunjukan kebudayaan. Untuk pertama kalinya, saya mendengarkan Yayak Yatmaka, salah seorang penggagas acara ini, menyanyikan Indonesia Raya versi lama. 

Yayak mengatakan sudah bosan menyanyikan lagu dengan sikap manis, tegap berdiri. Ia memilih merayakan nasionalismenya dengan irama riang. Indonesia Raya pun menggema di acara pembukaan festival ini Sabtu malam kemarin. 

Mengapa harus versi lama? Menurut Yayak, tak ada salahnya mendendangkan kembali lagu Indonesia Raya versi pertama yang diluncurkan pada 1928 saat Sumpah Pemuda diikrarkan. 

Selain itu juga ada penampilan Dialita, kelompok paduan suara yang beranggotakan para perempuan penyintas korban tragedi 1965, yang usianya kini lebih dari 50 tahun. 

Suasana 1920-an ini semakin terasa dengan kehadiran generasi-generasi terdahulu yang bebaur dengan generasi 90-an hingga 2000-an di festival ini. Lintas generasi yang berbaur dan siap membumikan yang terlupakan. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!