Revolusi Mental terjadi di Kabupaten Bantaeng yang sempat tertinggal

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Revolusi Mental terjadi di Kabupaten Bantaeng yang sempat tertinggal
Wawancara dengan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah

Saya membayangkan Bantaeng ini akan mirip Singapura. Tidak memiliki sumber daya alam, tetapi jadi tempat sumber daya alam itu diproses. 

Anda tentu ingat, setiap hari kita mengimpor ratusan ribu barel minyak olahan dari Singapura, negeri yang kata Pak BJ Habibie “hanya titik merah di peta”, dan tidak memiliki tambang.

Bantaeng sebetulnya kabupaten yang tak punya tambang. Ini berbeda dengan kabupaten-kabupaten di Sulawesi Tenggara, seperti Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe, Kolaka, Bombana, dan Buton, yang berlimpah sumber tambangnya. Tapi untuk nikel, pengolahannya malah lari ke Bantaeng, bukan di kabupaten-kabupaten lain di Sulawesi Tenggara atau di Sulawesi Selatan. 

Ini karena berbagai terobosan yang dilakukan Bupati Bantaeng Prof DR HM Nurdin Abdullah, M.Agr. Bupati kelahiran Pare-Pare, 7 Februari 1963, itu memimpin Bantaeng untuk masa jabatan kedua, periode 2013-2018. 

Dalam hal penyediaan listrik, Pemerintah Kabupaten Bantaeng berperan aktif dalam mengundang PLN agar menambah daya listriknya untuk keperluan smelter. PLN sudah menyanggupi memasok listrik 60 MW untuk smelter PT Titan Mineral Utama, 35 MW untuk PT Cinta Jaya, dan 39 MW untuk smelter PT Cheng Feng Mining. Ketiganya dibangun di Bantaeng. 

Sebelumnya, PLN telah menandatangani tiga nota kesepahaman (MoU) untuk menyediakan listrik bagi tiga smelter lain di Bantaeng: PT Bhakti Bumi Sulawesi (120 MW), PT Eastone Mining and Mineral Mining (70 MW), dan PT Macro Link International Mining (300 MW). Listriknya akan lebih mahal daripada listrik untuk rumah tangga, tetapi dijamin tak pernah putus, dan voltasenya stabil. 

Sudah lama saya mendengar cerita tentang kiprah bupati di kabupaten kecil, 120 kilometer di selatan Makassar, ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu. Satu kali saya mendapat tugas menjadi moderator dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Majalah Tambang.

Nurdin Abdullah menjadi salah satu panelis. Itu pertama kali saya bertemu langsung dengan sosok yang pernah masuk kategori “Tokoh Perubahan” versi sebuah media di ibu kota. Bantaeng juga diganjar penghargaan Adipura.

Nurdin bicara dengan nada kalem soal bagaimana dia menarik investor ke daerahnya, yang berjarak sedikitnya 2.000 kilometer dari ibu kota Jakarta.  

“Investor saya perlakukan bagaikan Raja,” kata Nurdin. Dia khusus membeli mobil yang nyaman untuk menjemput investor dari bandara Sultan Hasanuddin di Makassar.  

Nurdin juga membeli sebuah mobil patroli pengawalan untuk disumbangkan ke kepolisian resor Bantaeng agar bisa digunakan mengawal perjalanan investor dari Makassar ke Bantaeng, melewati kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto.

Jarak 120 kilometer bisa ditempuh 2-3 jam tergantung kepadatan jalan, terutama di kawasan Kabupaten Gowa. Meskipun kualitas jalan poros lumayan, lebarnya hanya bisa untuk papasan satu mobil.

“Sampai di Bantaeng kami jamu makan siang di rumah jabatan, menginap di rumah jabatan bupati. Makan malam bahkan makan durian. Malam hari saat makan malam, izin prinsip investasi kami serahkan,” kata Nurdin.

Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah di rumah jabatan. Foto oleh Uni Lubis/Rappler.com

Nurdin dan jajaran Pemda Bantaeng turun-tangan membantu pengurusan izin ketenagakerjaan dan ijin lain yang diperlukan.  “Kalau perlu, saya yang antar bertemu gubernur, atau menteri di Jakarta. Pendek kata, investor tidak boleh kesulitan,” kata Nurdin. 

Hasilnya nyata. Banyak pengusaha memindahkan investasi smelter, atau pemurnian tambangnya, ke Bantaeng.

Pekan lalu, memanfaatkan momentum Hari Raya Nyepi, saya sengaja berkunjung ke Bantaeng. Selain ingin melihat langsung bagaimana bentuk faktual dari kabupaten yang banyak dipuji itu, saya tergoda wisata pantai di sana.  

Bulan lalu saya melihat foto Pantai Marina, kawasan wisata pantai yang baru dikembangkan Pemda Bantaeng. Kalau sekadar wawancara dengan Bupati Nurdin sudah beberapa kali saya lakukan, via telepon. Tapi, bonus menikmati keindahan pantai di Indonesia membuat saya tertarik memesan tiket pesawat untuk terbang ke Makassar dan menikmati perjalanan ke Bantaeng.

Saya juga memesan kamar di Pantai Marina Hotel, yang berjarak 15 kilometer ke selatan, ke arah perbatasan dengan Bulukumba. 

Saya menikmati perjalanan ke Bantaeng. Melewati jalan poros antar kabupaten, saya bisa melihat perbedaan nuansa pembangunan di sana.  

Memasuki Jeneponto, udara terasa kering. Saya melewati tambak garam rakyat. Jalan poros yang masuk wilayah Jeneponto cukup panjang, sekitar 60 kilometer, menurut informasi sopir yang membawa saya dari Makassar. Mata cukup lelah. Matahari bersinar terik.  

Kepenatan terobati manakala memasuki wilayah Bantaeng. Di kanan jalan, laut yang di pinggirnya ada tanaman kelapa yang meneduhkan. Di kiri jalan, terserak pohon mangrove. Tak lama kemudian saya bertemu dengan serba hijau dari sawah dan kebun yang ada di pinggiran jalan.

Rumah-rumah panggung khas lokal cukup banyak dipertahankan di sana. Ini beda dengan pemandangan rutin yang biasa saya temui di kota-kota lain: rumah toko alias ruko yang mendominasi.

Saya pernah merasakan sebuah transformasi kota menjadi lebih hijau dan sejuk ketika berkunjung ke Surabaya di era Wali Kota Tri Rismararini, dan menikmati rumah jabatan bupati yang didesain sejuk dan hijau juga di Banyuwangi yang dipimpin Bupati Abdullah Azwar Anas. Keduanya ada di Pulau Jawa.

Masuk ke dalam kota Bantaeng, saya benar-benar terkejut. Jalanan di pusat kota dilindungi pepohonan rindang. Teduh. Hijau. 

“Bantaeng itu kota panas. Kamu harus siap-siap,” kata Rusdian Lubis, senior saya di Institut Pertanian Bogor (IPB), seorang ahli lingkungan. Dia sudah lama tak ke Bantaeng. Kini di pusat kota, sinar terik matahari pun sulit menembus padatnya dedaunan di pohon yang ditanam di sana.

Selasa siang, 8 Maret, saat saya tiba di Bantaeng, kota itu nampak “adem”. Sebuah bus sekolah berwarna kuning berjalan di depan mobil yang saya tumpangi, berhenti di beberapa titik mengangkut anak sekolah.  

“Selain bus sekolah gratis, kami juga fungsikan angkutan bumdes yang berfungsi mengangkut hasil bumi dari semua desa yang ada, untuk mengangkut pulang anak sekolah juga,” kata Hartawan, Kepala Dinas Pariwisata Bantaeng, sore hari ketika kami bertemu di Pantai Marina.

Bus sekolah di Bantaeng. Gratis. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Saya mengajak sopir untuk mencari Pantai Seruni yang letaknya persis di tengah kota, dan ada bangunan megah: Rumah Sakit Umum Daerah. Fasilitas kesehatan ini dinamai RSUD Prof DR. Anwar Makkatutu. Tidak sulit mencarinya karena papan penunjuk jalan di Bantaeng tersedia cukup lengkap.

Tiba di kawasan Pantai Seruni, saya langsung tak sabar untuk mengabadikan lokasi itu. RSUD berdiri megah, dengan cat nuansa biru. Di depannya ada alun-alun luas, dengan rumput yang dipangkas rapi, lengkap dengan podium luas tempat acara. 

Di sisi kiri RSUD terhampar Pantai Seruni. Ditata sangat rapi dengan panggung dan plaza yang bisa digunakan untuk pertunjukan budaya termasuk musik. Penataan apik, dan yang paling saya kagum adalah kebersihan.  

Saya menyusuri Pantai Seruni, dan “blusukan” ke bebatuan yang difungsikan untuk memecah ombak agar tidak terjadi abrasi. Saya tidak menemukan sampah. Ada lima drum sampah ditempatkan di sana, dengan tanda khusus untuk membedakan jenis sampah.

Di bagian belakang podium di alun-alun, deretan kafe berjajar rapi, dengan ratusan kursi. Sentra Kuliner Pantai Seruni ditempatkan memanjang di pinggiran pantai dengan ratusan kursi. Rapi dan bersih. Mobil dan motor bisa parkir tanpa perlu tukang parkir. 

Pada akhir pekan, pengunjung datang dari kabupaten tetangga bahkan dari Makassar menikmati kenyamanan di Pantai Seruni.  “Mereka, para pemilik kafe, adalah anak-anak muda. Kami tak memungut retribusi. Mereka harus menjaga kebersihan, itu saja,” kata Nurdin.

RSUD dan alun-alun Pantai Seruni. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Saya sudah banyak berkeliling ke kota-kota di Indonesia. Saya belum pernah menemui pusat kota yang ditata begitu apik, di sebuah kabupaten kecil di Sulawesi Selatan. Kabupaten yang pernah masuk dalam deretan 199 kabupaten tertinggal di Indonesia saking miskinnya.  

Nurdin Abdullah menjabat bupati sejak pertengahan 2008 untuk lima tahun pertama. Pada 2011, Bantaeng keluar dari daftar kabupaten tertinggal. Nurdin terpilih lagi untuk periode jabatan yang kedua.  

Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, pada 2016, Bantaeng Industrial Park (BIP) ditargetkan menarik investasi senilai Rp 55 triliun. Wow!

BIP terletak di kecamatan Pajukukkang, satu dari delapan kecamatan di Bantaeng. Ini kecamatan yang paling miskin, ketika Nurdin baru mulai masa tugas di sana. Sepanjang tahun curah hujan hanya dua bulan turun di Pajukukkang. Di kecamatan paling miskin ini, Nurdin dan jajarannya memutuskan membangun Bantaeng Industrial Park dengan membebaskan lahan seluas 3.000 hektar.  

Saya sempat mengunjungi komplek smelter milik Huadi Nickel-Alloy dan Titan di kawasan Pajukukang, di pinggir jalan menuju Bulukumba. Tepat di seberang komplek, ada dermaga untuk kapal pengangkut bahan baku. Semua dipusatkan dalam lokasi berdekatan. Ini yang menarik bagi investor.

Di sini pula dibangun kawasan wisata terpadu Pantai Marina. Soal ini akan saya tulis dalam blog terpisah.

Selasa malam, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Nurdin. Dia baru tiba dari tugas di Makassar. Dia didampingi istrinya, Liestiaty Fachruddin, dan Sekretaris Daerah Abdul Wahab. Kadis Pariwisata Hartawan ada juga di dekat meja kami mengobrol di Sentra Kuliner Pantai Seruni. 

Udara laut sejuk. Lampu kota dipasang ratusan, dengan efek penerangan temaram.  Suasana asyik buat sekedar nongkrong, sambil berbincang santai. 

Berikut cuplikan wawancara saya dengan Nurdin:

Ketika Anda terpilih jadi Bupati untuk pertama kali pada 2008, apa yang Anda lakukan untuk mengubah Bantaeng menjadi seperti sekarang?

Mencari solusi banjir. Bantaeng saat itu kabupaten kecil dan miskin. Tiap tahun dilanda banjir. Kota terendam banjir setinggi satu meter. Bahkan rumah jabatan bupati pun terendam banjir. Banjir datang dari bukit-bukit yang mengepung kota ini. Air hujan mengalir melalui cekungan di bukit, ada tujuh cekungan, langsung “menyerang” kota. Tenggelam. 

Apalagi di tempat kita duduk sekarang ini, Pantai Seruni, dulunya masuk ke kota sampai 100 meter karena abrasi laut. Setiap tahun Pemda alokasikan dana untuk membangun pemecah gelombang. Mubazir. Dan di sini jadi WC raksasa. Tiap pagi dan sore rakyat buang air besar di sini. Benar-benar menyedihkan. Belum lagi sampah dan baunya. Kalau sekarang kita bisa duduk santai dan menikmati musik serta kuliner di sini, tidak terbayangkan delapan tahun lalu situasinya.

Jadi, sepekan sebelum pilkada, Bantaeng dilanda banjir besar. Saya dan wakil bupati lantas bertekad kalau kami menang pilkada, soal banjir adalah hal yang pertama kita tangani. Ini seperti petunjuk dari Allah SWT, apa yang harus kami kerjakan.

Saya kumpulkan ahli dari Universitas Hasanuddin tempat saya menjadi dosen sebelum masuk politik. Lalu saya putuskan membangun cek dam untuk mengontrol derasnya aliran air dari bukit ke kota. Konsentrasi kami pecah, dialirkan ke sungai-sungai, sehingga tidak menuju ke kota. Alhamdulillah, sejak 2009, Bantaeng bebas banjir.  

(Catatan: Rabu, 9 Maret, saya berkunjung ke cek dam Balang Sikuyu yang ada di kecamatan Bantaeng, masih di tengah kota.  Selain untuk mengontrol air, cek dam juga difungsikan untuk memelihara ikan)

Sesudah menangani banjir, lalu apa?

Membangun infrastruktur seraya membenahi tata ruang kota. Bantaeng yang luasnya kurang dari 400 kilometer persegi ini APBD-nya kecil. Saat saya mulai memimpin, sekitar Rp 280-an miliar. Saya mengusulkan ke berbagai pihak, dalam dan luar negeri, untuk ikut membangun Bantaeng.  

Anda tadi masuk ke Bantaeng terasa jalan poros dengan kualitas lebih baik? Mulus? Itu kerjasama dengan pemerintah Australia, senilai Rp 120 miliar. Kawasan Pantai Seruni ini, termasuk alun-alun dan plaza, dibangun dengan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR).  

Yang saya tangani adalah soal paling krusial, penyediaan lahan. Kalau urusan lahan beres, kementerian punya alokasi dana. Mbak Uni menginap di Hotel Pantai Marina? Bangunan di sana juga dibiayai APBN beberapa kementerian. Ada gedung pemberdayaan, itu dari Bu Susi (Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan).  

Di belakang ada bangunan untuk melatih tenaga kerja, dari Kemenaker. Kami melatih 3.500 tenaga kerja lokal yang tidak terserap di sektor yang ada di sini, untuk mampu bekerja di industri smelter. Taman di Hotel yang membangun BRI. Taman bermain anak yang membangun Bosowa.

Pendek kata, kami di sini membuat perencanaan, menyediakan lahan, lantas investor silakan langsung membangun. Saya sejak awal tidak mau berurusan dengan uang. Urusan uang dan administrasi dipimpin langsung Pak Sekda, nih. Investor silakan bangun langsung. Ketika Pantai Seruni ini dibangun sebagai kawasan wisata tengah kota, saya cuma pesan: Jangan tebang pohon.

Soal pohon. Memasuki kota memang sangat hijau. Ini program khusus juga?

Sejak awal, selain banjir dan infrastuktur, kami memulai program Jumat bersih dan Sabtu menanam. Ini bagian dari konservasi kota. Ini bisa disebut program revolusi mental, haha. 

Setelah delapan tahun, kami menikmati hasilnya. Seluruh kota dipenuhi pohon rindang dan bersih. Setiap pagi, mulai jam setengah enam sampai jam 10 pagi, saya menerima rakyat di rumah pribadi. Mereka boleh melaporkan apa saja, curhat apa saja. Solusi harus ada saat itu juga. Ada yang urusan pribadi, uang sekolah anak, ya harus ada solusi saat itu. Kalau soal infrastruktur dan fasilitas layanan untuk rakyat, hari itu juga mulai jam 10 pagi saya turun ke lokasi dengan pejabat SKPD terkait.  

Mengapa di rumah pribadi? Karena lebih santai. Rakyat juga lebih nyaman. Tidak ada jarak dengan kami. Rumah jabatan suasananya resmi, dan kami gunakan untuk menerima tamu-tamu.

Anda disebut sebagai bupati yang paling sukses menarik investasi ke lokasi yang jauh dari kota besar. Apa manfaat masuknya investasi, termasuk investasi asing, terhadap perbaikan taraf hidup penduduk?

Jadi yang kita syukuri bahwa bahwa bukan hanya investasi saja, tetapi kita juga ikut tergerak untuk membenahi infrastruktur  termasuk layanan publik. Alhamdulillah dengan masuknya investasi ke sini, menggerakkan pemerintah untuk benahi fasilitas umum termasuk Pantai Seruni ini.  

Boleh dikatakan saat ini mereka hidup di sebuah kabupaten, tetapi dia tidak merasa bahwa ini di kabupaten karena bisa menikmati fasilitas umum yang tersedia. Termasuk alun-alun. 

Di malam hari ada live music, berbagai kuliner. Alhamdulillah hotel milik Pemda juga sudah tersedia. Yang terasa sekali adalah, inovasi di kalangan masyarakat kini tumbuh. Tadinya inovasi mati. Dulu restoran terbatas, malam sudah sepi, tutup. Sekarang jam 2 malam pun kita masih bisa dapat restoran yang buka.

Rumah Sakit Umum Daerah bangunannya megah, delapan lantai dan jadi pusat perhatian di tengah kota ini. Di depan alun-alun Pantai Seruni. Ada misi khusus?

Soal layanan kesehatan, masyarakat itu semakin banyak pilihan. Misalnya, ketika mereka ada gangguan kesehatan, apakah dia ke Puskesmas ataukah ke RS? Atau memanfaatkan layanan call center 113, yaitu ambulance mobile, di luar RS dan Puskesmas? Layanan telepon 113 ini punya klinik sendiri, didukung oleh 20 dokter dan  26 perawat, 4 sopir, standby 24 jam 7 hari.  

Kalau sakit, call 113, response time 20 menit sudah sampai di rumah, dokter dan perawat. Jadi masyarakat yang sakit  punya rasa aman. Kami terus mengembangkan inovasi. Pusat klinik layanan call center 113 hanya di tengah kota. 

Kita bangun lagi 3 stasiun baru, satu di perbatasan di Bulukumba, perbatasan Jeneponto, satu lagi di puncak gunung di kecamatan Uluere. Mengapa kami bangun stasiun tambahan ini, dalam rangka lebih mempercepat layanan. Kami ingin mencapai response time 15 menit bahkan 10 menit sudah sampai rumah.

Jadinya RS tidak terlalu padat. Bahkan yang bikin padat RS Bantaeng ini adalah rujukan dari kabupaten tetangga. Kami punya rasa kemanusiaan, lah. Idenya bangun RS besar dan megah ini bukan hanya untuk Bantaeng, ini untuk melayani kawasan kabupaten yang ada di selatan Sulawesi.  

Bayangkan saja kalau ada pasien, ada di kabupaten berjarak 300 km harus dirujuk ke Makassar. Kalau penyakitnya kronis?   Kebetulan Bantaeng ini kan ada di tengah di antara kabupaten-kabupaten di selatan, makanya RS Bantaeng ini fasilitasnya kita jadikan tidak ada bedanya dengan RS di Makassar. Lengkapi peralatan. Bahkan kalau perlu, kita lengkapi seperti RS di  Singapura. 

Bahkan dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN,  kami jajaki kerjasama. Sejak awal sudah saya lakukan, kerjasama dengan RS Mount Elizabeth di Singapura, juga RS Melaka di Malaysia, dan beberapa RS di Jepang.

Layanan call center dan ambulans 113 ini di bawah koordinasi Brigade Siaga Bencana yang menempatkan pemadam kebakaran sebagai garda pertama, sedangkan ambulans 113 di garda kedua. Bagi Pemda Bantaeng, orang sakit jika tidak segera ditangani, bisa menjadi bencana, misalnya jika terjadi wabah penyakit.

(Catatan: Nurdin menempuh pendidikan pasca sarjana di bidang pertanian sampai doktoral di Universitas Kyushu, di Jepang.  Jejaring saat kuliah membuka peluang kerjasama termasuk investasi. Dia fasih berbahasa Jepang. Saya mengunjungi pusat layanan 113, dengan 10 ambulans yang semuanya didatangkan dari Jepang. Peralatan lengkap termasuk untuk anestesi sampai operasi ringan. 

“Kalau melahirkan dengan bantuan OK di ambulans ini sudah tidak terhitung jumlahnya,” kata dokter Rezy, lulusan Universitas Kristen Indonesia, yang sudah bekerja 11 tahun di Bantaeng. Menurut Rezy, semua layanan diberikan gratis. 

“Kalau yang meminta bantuan pasien dari kabupaten tetangga, kami hanya mengenakan biaya ganti bahan bakar. Obat-obatan yang standar pun kami berikan gratis, apalagi untuk warga Bantaeng. Semua gratis,” kata Rezy.)

Ambulans di Brigade Siaga Bencana Bantaeng. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Bagaimana menarik dokter-dokter terbaik mau bekerja di Bantaeng?

Kuncinya siapkan fasilitas. Kami baru bangun apartemen pegawai, dapat program dari Kementerian PU-PR, 53 kamar lengkap dengan perabot. Ini salah satu kesiapan daerah. Karena salah satu keluhan dokter, kalau ditugaskan ke daerah, mereka harus mondok di mana. Kami juga ada apartemen untuk pegawai di samping RS. Perlengkapan RS dilengkapi, tidak kalah dengan yang di Jakarta. Ini membuat mereka semangat bekerja.

Bantaeng menjadi tujuan investasi, terutama untuk smelter. Bagaimana dampak dari turunnya harga komoditas pertambangan terhadap minat investasi?

Iya, terasa, karena di seluruh dunia terjadi pelambatan ekononomi. Tapi teman-teman pengusaha smelter yang tengah membangun smelter ini tidak terpengaruh, karena yakin bahwa nanti harga nikel akan naik.   

Alasan lain, mereka bangun smelter di sini untuk kebutuhan industrinya. Jadi bukan memproduksi feronikel untuk dijual saja, tetapi untuk kebutuhan industrinya. Bahkan ada wacana industri pipa yang ada di Tiongkok, akan mereka relokasi ke sini. Mereka ke mana-mana ada harga dumping, kalau mereka produksi di sini, bagus untuk kita.  

Proporsi investasi asing dengan nasional fifty-fifty. Yang padat modal, biasanya dari investasi asing. Bakal ada investasi pembangunan silo, alat pengering pangan untuk menjaga kedaulatan pangan, terutama untuk jagung. Mereka akan bangun di sini, cukup besar. Sudah dua tahun kami memuliakan jagung dari Jepang. Yang manis rasanya dan garing. Setiap kali saya ke Jepang, pulang saya membawa jagung unggulan, sekoper penuh. Lalu kami muliakan untuk menghasilkan benih di sini.

Apa prioritas Anda dalam membangun Bantaeng saat ini?

Harus konsisten, Bantaeng ini nomor satu harus menjadi daerah pertumbuhan industri baru. Karena itu kami sangat konsisten untuk penyiapan lahan, 3.000 hektar ini kita harapkan akan dikuasai oleh pemerintah, supaya memberikan kemudahan kepada investor.  

Bantaeng menjadi pilot project, kebijakan baru yang disebut KLIK, Kemudahan Investasi Langsung KonstruksiJadi, cukup dapat izin investasi bisa langsung konstruksi.

Di luar Jawa, hanya Bantaeng yang jadi daerah percobaan. Ini kebijakan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), jadi siapapun yang mau investasi di Bantaeng saat ini cukup kantongi izin investasi, langsung konstruksi. Izin-izin lain bisa diselesaikan sambil jalan, yang penting sebelum industri itu berproduksi. Misalnya IMB, Amdal, dan izin lainnya. 

Kedua, Bantaeng harus menjadi pusat teknologi benih. Kita harus jadi kawasan penangkaran. Kenapa? Benih jadi salah satu penentu kedaulatan pangan kita. Ketahanan pangan. Karena Bantaeng ini wilayahnya kecil, kita harus punya nilai tambah. Kalau kita produksi jagung harganya cuma berapa, dibanding kita produksi benih. Dan harapan kita minimal pemerintah Indonesia kurangi impor benih. Karena jujur saya katakan impor benih datangkan penyakit, kita tidak tahu dari mana itu. Lebih baik produksi sendiri, bisa kita kontrol.

Saya delapan tahun di sini kerjasama dengan BPPT, Unhas, IPB, Biotrop, kita juga kerjasama dengan Kementerian Perindustrian. Dengan hamparan areal pertanian yang sempit, yang kita kembangkan komoditas dengan nilai ekonomi tinggi. Misalnya bibit padi, jagung, untuk hortikultur ada kentang dan talas.

Sekarang kita punya areal pertanaman coklat. Masyarakat kita edukasi, sekarang bisa masuk ke pertanian coklat. Bayangkan dulu kita drop benih, muncul hama-hama baru, susah kita kontrol. Sekarang dengan hadirnya teknologi di masyarakat, ada solusi

Bagaimana dengan pariwisata?

Ini sejak saya mulai memimpin pada 2008 sudah masuk dalam program pengembangan Bantaeng sebagai kota jasa. Prioritas pertama. Kita ingin Bantaeng jadi pusat pengembangan wisata. Bantaeng, karena merupakan simply city, kami ingin yang datang ke sini bahkan bukan cuma dari Makassar, bahkan dari luar yang ke Sulsel kami harapkan weekend-nya ke Bantaeng.  

Kita kembangkan wisata budaya, ada dua air terjun yang sangat bagus, pemandian alam, wisata laut di pantai di Marina, wisata agro di dataran tinggi. Kita tengah bangun greenhouse di Uluere untuk menampung luapan pengunjung yang ingin melihat kebun strawberry Bantaeng.

(Catatan: Istri Nurdin menceritakan bahwa awalnya ketika sang suami hendak terjun ke Bantaeng sebagai kepala daerah, dia tidak setuju. Sesudah lulus dari Jepang, hidup Nurdin dan keluarga sudah nyaman. Nurdin memimpin sebuah perusahaan Jepang dengan gaji lumayan, sebagai CEO. Untuk membujuk istrinya agar memberi izin, Nurdin mengajak Lies yang juga dosen di Universitas Hasanuddin, ke Bantaeng, tempat asal ayah Nurdin.  

“Saya terenyuh. Listrik minim, kota ini gelap, kumuh. Banyak yang miskin. Akhirnya saya relakan Bapak mencoba memimpin Bantaeng,” ujar Lies.  

Selama delapan tahun memimpin, tabungan saat bekerja di perusahaan Jepang terkikis cukup banyak. Tidak semua masalah solusinya bisa dari APBD yang minim. Nurdin tak segan merogoh kocek sendiri. Pada 2016, APBD Bantaeng adalah Rp 950 miliar, naik Rp 100 miliar dibandingkan tahun lalu.

Nurdin kini juga bergelar Karaeng, alias Raja Bantaeng, yang ke-37. Bantaeng adalah kota tertua di Sulawesi Selatan, yang pernah jadi pusat pemerintahan Belanda dan pusat perdagangan. Pada Desember 2016, kabupaten berjukuk Butta Toa, alias kota bersejarah, ini akan berusia 762 tahun.)

Dua periode memimpin, masih tiga tahun lagi. Tapi Anda tidak mungkin memimpin di sini lagi. Bagaimana kaderisasi kepemimpinan di Bantaeng?

Jadi kami itu dari awal, yang disiapkan itu sistem. Bukan membangun by actor. Seperti saya sampaikan tadi, fungsi sekretaris daerah itu adalah jabatan tertinggi di pemerintahan. Fungsi administrasi sepenuhnya diberikan ke sekda. SKPD atau satuan kerja perangkat daerah, bekerja dengan sistem. Bukan bekerja menggunakan perasaan, selalu taati aturan.  

Dan saya terus mendorong teman-teman meningkatkan kapasitas, membangun wawasan. Sekarang ini masih 3 tahun, teman-teman yang berminat, apakah itu wakil bupati, sekda, kadis, yang minat menjadi bupati, silahkan sosialisasikan ke masyarakat, nanti saatnya kita survei, yang tertinggi, kita dorong sama-sama, jadi kita tidak terkotak-kotak. Masyarakat Bantaeng tidak ingin kembali jadi susah. Kami ingin pembangunan berlanjut. Bahkan lebih baik lagi.

Dari sisi birokrasi, sejak awal memimpin, tahun 2008, saya sudah melakukan assessment kepada birokrat pemda. Ada tim yang mengecek, mereka pantasnya ditempatkan di posisi apa. Ada target, waktu. Kalau target tidak tercapai, istilah, ganti pemain. Jadi dari awal secara terbuka penilaian jabatan sudah ada. Semacam lelang jabatan. Itu sejak 2008.

Tadi kita singgung soal revolusi mental, termasuk soal budaya hijau dan bersih…

Jadi, sebenarnya revolusi mental tidak selesai hanya dengan ceramah. Lingkungan harus diperbaiki. Kita bangun Pantai Seruni, jangan bosan untuk bersihkan. Delapan tahun Jumat bersih, Sabtu menanam, tertanam, baik di petugas kebersihan maupun di antara masyarakat.  

Petugas kebersihan sudah tidak lagi merasa ini tugas saya, tetapi mereka sudah mencintai kebersihan. Malah mereka tungguin daun-daun jatuh, langsung disapu. 

Demikian juga masyarakat. Bisa dilihat, hampir semua asesoris kota terjaga dengan baik, enggak ada yang nulis-nulis, kalau ada yang menulisi dinding-dinding kota atau asesorisnya, dimarahi rakyat. Mobil yang lewat dan membuang sampah sembarangan, akan dikejar. Karena orang Bantaeng tidak mau kotanya dikotori. 

Masyarakat sudah  mencintai kotanya, merasa memiliki, dan menjaganya sebagai sebuah kebersamaan. Mental birokrat berubah, mental dan pola pikir masyarakat berubah. Saya optimis Bupati yang menggantikan saya akan lebih baik.

***

Tak terasa hampir dua jam kami berbincang malam itu. Bupati mengajak saya berjalan ke arah bangunan rumah penjaga pantai tak jauh dari sentra kuliner Pantai Seruni. Bangunan baru, cantik dan menjadi salah satu pemandangan di pinggir pantai. 

Dari teras di lantai dua kami menikmati Bantaeng di malam hari. Di bawah deretan mobil dan motor parkir di plaza. Pemiliknya duduk santai menikmati kuliner dari kafe yang ada di sepanjang pantai yang bersih.  

Tak ada tukang parkir, tak perlu petugas keamanan menjaga helm yang diletakkan begitu saja di atas ratusan motor yang ada.  Mereka mengatur diri sendiri.

Sebuah revolusi mental sudah terjadi di Bantaeng, 2.000 kilometer dari Jakarta. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!